Baru-baru ini saya mengirim sebuah esai untuk sayembara kritik sastra. Nggak menang sih. Hehehe. Dan sebagai manusia emosionil, saya butuh beberapa menit buat mewek, lalu minta dipuk-puk Bram dan Pepe. Udah sih, gitu aja ceritanya. Hehe. Tapi daripada tulisannya mubazir cuman dibaca dewan juri, lebih baik saya taruh di blog. Sebagai tambahan pengantar, esai ini berangkat dari sebuah pertanyaan dangkal “masa sik puisi Chairil semaskulin dan semacho itu?” yang jawaban akhirnya “iya memang semaskulin itu,” lalu ditambah gurauan panjang dengan Bram tentang menulis esai yang self-defeating. Maksudnya, saya ingin menulis esai yang memang tidak berniat untuk menghasilkan kebaruan gagasan atau pencerahan mengenai puisi Chairil tapi justru untuk menjatuhkan hasrat dan usaha awal untuk memunculkan argumen baru. Sialnya, saya tidak memiliki kemampuan dan gaya menulis untuk mewujudkan esai yang pantas memenuhi kriteria penilaian juri. Memang inilah kekalahan paripurna.

Sesungguhnya saya sendiri tidak punya banyak cara untuk menghibur diri. Karena terlepas dari nuansa penuh kekalahan, saya tetap merasa berbahagia di atas keimanan queer bahwa pembacaan saya terhadap puisi-puisi Chairil adalah wujud kecil untuk memikirkan proses re/produksi ekspresi gender dalam karya sastra. Jadi, silahkan unduh di sini kalau kamu tertarik membaca. (Esai ini sudah saya ganti fontnya dan sudah saya beri nama agar supaya). Kalau kamu menemukan hal berguna di dalamnya, puji Tuhan. Kalau menurut kalian tulisan saya sampah dan sok tahu, yowes mo gimana lagi. Kalau ada yang mau komen dan ngasih masukan, silahkan menghubungi saya.
