Bibliografi Beranotasi: Sejarah dan Historiografi Asia Tenggara

Bibliografi (sedikit) beranotasi ini adalah edisi kedua setelah beberapa waktu lalu saya membagikan daftar bacaan musim gugur. Di kwartal musim dingin, saya mengambil kelas sejarah dan historiografi Asia Tenggara yang diampu oleh pak bos pembimbing saya, Prof. Haydon Cherry. Kelas seminar ini memang sengaja dibuat supaya nak-nak grad baca karya-karya “klasik” studi Asia Tenggara (building to compre exam di tahun ketiga). Kalau pembaca terhormat memerhatikan daftar ini, nama penulis dan judul bukunya tentulah familiar.

Hamlelah kelas ini sangat membantu sang bocah cupu untuk bisa duduk diam dan membaca buku-buku itu secara dekat. Kami diajak untuk melihat dan menganalisis perdebatan historiografi lewat (a) membaca beberapa artikel ulasan buku yang dibaca per minggunya, dan (b) membahas biografi penulisnya. Sebagai contoh, di sesi membaca The Age of Commerce karya Anthony Reid, kami juga membaca ulasan Barbara Andaya dan Victor Lieberman terhadap buku itu, juga melihat perkembangan karir Reid sebagai sejarawan. Dari percakapan ini, kami bisa melihat permasalahan “metodologi” dan konseptual penulis dengan lebih jeli dan cermat. Kami juga jadi lebih sadar soal posisi sejarawan sebagai aktor sejarah, di mana konteks institusi dan zaman memengaruhi cara mereka bertanya dan mencari jawabannya. Tahun penerbitan buku/artikel dan siapa yang menerbitkan tidak lagi hanya persoalan faktual, tapi juga soal jejaring produksi pengetahuan sejarah. Struktur seminar yang seperti ini sangat membantu murid merancang dan menempatkan proyek risetnya dalam perkembangan disiplin sejarah.

Sebagai catatan tambahan, daftar ini hanya memasukkan major required readings. Saya tidak memasukkan beberapa artikel ulasan dan buku di daftar rekomendasi seperti karya Jane Drakard Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra; Robert Taylor The State in Myanmar; atau Benedict Kerkvliet The Power of Everyday Politics: How Vietnamese Peasants Transformed National Policy.

Oh ya, untuk final paper kelas ini, saya memilih topik soal Okupasi Jepang dengan alasan … supaya ada motivasi buat baca buku-buku tentang periode itu. (HAHAHA). Periode ini sebenarnya mayan asing buat saya, meskipun saya cukup tertarik dengan sejarah era Perang Dunia II. Ditambah lagi, literatur era Okupasi saat ini makin berkembang dan saya ingin mengikuti perjalanan dibukanya arsip-arsip baru maupun perspektif baru soal era yang relatif pendek namun sangat berpengaruh ini. Karena anaknya memang FOMOW, ya saya lumayan ngegas membaca karya-karya klasik soal Okupasi Jepang “mumpung baru satu kelas” (kalo kata rekan saya).

Semoga berguna ahoy!

000002130024.jpg
tyda estetik

MUSIM DINGIN 2019

Course: SE Asia History and Historiography

Benedict Anderson, A Life Beyond Boundaries: A Memoir (London: Verso, 2016).
Buku ini dibaca di minggu pengantar. Dengan gaya informal Ben yang familiar, buku ini jadi titik berangkat yang sangat baik untuk melihat perjalanan akademik Pak Ben, sekaligus perkembangan disiplin studi Asia Tenggara (khususnya di Amerika Serikat). Sekilas pembaca diajak mengenal para akademisi dan begawan yang karya-karyanya berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan kawasan. Konteks pasca PD II, Perang Dingin, dan jejaring intelektual lintas generasi mewarnai buku ini. Selain itu, pembaca juga jadi lumayan paham bagaimana Pak Ben dapat mengembangkan pendekatan politik perbandingan. Penelitian Pak Ben yang tidak hanya di Indonesia tapi juga di Filipina dan Thailand (thanks Orba!) berkontribusi terhadap kerangka dan metodologi riset politik.

Harry Benda, “The Structure of Southeast Asian History: Some Preliminary Observations” in Continuity and Change in Southeast Asia: Collected Journal Articles of Harry J. Benda (New Haven, Conn.: Yale Southeast Asia Studies, 1972), 121-153.
Salah satu artikel penting yang membahas bagaimana caranya mengidentifikasi koherensi Asia Tenggara dan pertanyaan soal perubahan maupun kontinuitas area ini sepanjang lintasan waktu. Benda menjabarkan gimana sih caranya mendekati area ini, termasuk menentukan periodisasi. Artikel ini ditulis tahun 1962, masa-masa di mana studi wilayah Asia Tenggara lagi hangat-hangatnya, jadi para akademiknya me”rasionalisasi” wilayah ini. Waktu baca halaman-halaman awal, saya melihat bahwa pertanyaan Benda soal change/continuity dijawab dengan ruang terbuka untuk sederet kemungkinan historis. Tapi di hampir bagian akhir, ketika dia mulai membahas periode Okupasi Jepang, sikap Benda sedikit berubah. (Setelah baca buku Benda yang The Crescent and the Rising Sun, perubahan sikap Benda ini buat saya jadi lebih masuk akal).

John Smail, “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia,” in Laurie Sears ed., Autonomous Histories, Particular Truth: Essays in Honor of John Smail (Madison, Wisc: University of Wisconsin Press, 1993), 39-70.
Artikel ini adalah kritik terhadap sejarah Asia Tenggara yang “Euro-sentris,” yang terwakili oleh van Leur (1930an) dan kemudian D.G.E. Hall (sekitar akhir 1940an-1955). Katanya, sejarah-sejarah ntu seperti orang ada di atas kapal lagi ngeliat ke bawah. Nah si Smail ini menawarkan konsep “sejarah otonom” yang, pertama, menggeser perspektif pendekatan sejarah, dan kedua, menjembatani jebakan antitesis Eropa versus non-Eropa sentris. Konsep ini mendorong pendekatan koheren terhadap struktur sosial, budaya, ekonomi, dan proses-proses kreatif di Asia Tenggara dari perspektif wilayah itu sendiri.

O. W. Wolters, History, Culture and Region in Southeast Asian Perspective (Ithaca: Cornell SEA Program, 1999).
Saya cukup susah merangkum buku ini sebenarnya, karena banyak kontribusi-kontribusi konseptual Wolters yang sering dirujuk dan sangat berguna untuk menjelaskan macam-macam hal. Wolters, menggunakan perspektif srukturalis, membaca bukti-bukti arkeologis sebagai teks untuk melihat pola sosial dan politik Asia Tenggara. Wolters menggunakan istilah-istilah seperti catchy “mandala,” “man of prowess,” “soul stuff,” dan “localization” untuk merangkum analisisnya.

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, Vol. 1: The Lands Below the Winds (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1988)
Menggunakan arsip-arsip perjalanan rang-rang Yurop, di volume pertama, Reid menulis panjang soal “the deep-seated structures [of SE Asia]” tahun 1450-1680. Dia membagi ceritanya menjadi empat cakupan besar kehidupan sehari-hari (physical well-being, material culture, social organizations, festival/amusements) yang menggambarkan kondisi, proses transformasi, dan restrukturisasi masyarakat.

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, Vol. 2: Expansion and Crisis (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1995).
Volume kedua ini kemudian menarik hal-hal di volume pertama ke konteks makronya: perdagangan internasional, kebangkitan kota-kota maritim (urbanisasi), juga keterkaitannya dengan agama/keyakinan. Tesis utama Reid soal perubahan-perubahan struktur ekonomi dan sosial ini kemudian berakhir pada apa yang dia sebut sebagai “the origins of Southeast Asian poverty” yang ditandai dengan ketidakberhasilan dalam kompetisi dagang dengan Eropa dan China, termasuk kedatangan VOC, permasalahan iklim, dan konflik politik. Reid dikritik karena membaca “kemiskinan” Asia Tenggara layaknya ia membaca “krisis abad ketujuhbelas Eropa”, dan juga terlalu memaksakan narasi Asia Tenggara kepulauan ke dalam konteks Asia Tenggara daratan (kritiknya Victor Lieberman ntaps, dan kalo tertarik bisa baca dua volume buku Strange Parallels yang ya gusti tebel bet).

Robert von Heine-Geldern, Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia (Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, Cornell University, 1956).
Kajian pendek nan ringkes tentang ideologi dan fondasi politik kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Karena dibaca bersamaa dengan Negara, paper pendek ini menjadi pengantar yang sangat berguna untuk mengintip “interior” dasar negara/polity. Penulisnya membahas macrocosm/microcosm, ibu kota sebagai “the magic center”, peran ritual/koronasi, layout istana, juga bagaimana tradisi bertahan.

Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980).
Dengan menggunakan pendekatan kultural dalam melihat kehidupan dan geografi Bali, Geertz berargumen mengenai sentralitas kingship. Dan tentu argumen super catchy di halaman tigabelas: “[the ceremonials] were the ends themselves, they were the state was for. Court ceremonialism was the driving force of court politics; and mass ritual was not a device to shore up the state, but rather the state, even in its final gasp, was a device for the enactment of mass ritual. Power served pomp, not pomp power”. Meskipun banyak sekali kritik terhadap buku ini termasuk dari Benedict Anderson dan Ricklef (reviewnya bitter bet) soal keakuratan data Geertz, saya pribadi menganggap buku ini sangat berguna. Harus diakui Geertz suka bet pakai frase-frase dan istilah-istilah yang quotable dan catchy, yang walopun memang vague artinya (huehue), mengajak pembaca untuk sedikit “berimajinasi” soal konsep politik.

J.S. Furnivall, The Fashioning of Leviathan: The Beginnings of British Rule in Burma (Canberra: Australian National University, 1991).
Begitu baca judul ada Leviathannya, pasti neh Hobbesian-ish, dan ya, Furnivall memulai esainya dengan humor soal Leviathannya Hobbes. Esai ini adalah observasi dan kritik Furnivall terhadap kolonialisme, yang versi lebih panjangnya ada di buku Colonial Policy and Practice. Menggunakan catatan administrasi provinsi Tennaserim di Burma dua dekade setelah aneksasi Perang Anglo-Burma I (1823-26), Furnivall menjelaskan bagaimana “mesin” empire bekerja. Waktu baca ini ku sempet nemu salah satu tulisan Danily Rutherford di buku kompilasi Southeast Asia Over Three Generation dengan judul “Laughing at Leviathan”. Di bab itu dia membahas buku ini dengan detail dan melihat bagaimana gaya humoris Furnivall di buku ini menunjukkan betapa jenakanya kolonialisme.

Lisandro Claudio, Liberalism and the Postcolony: Thinking the State in Twentieth-Century Philippines (Singapore: NUS Press, 2017).
Buku ini adalah biografi intelektuil pemikiran liberalisme Filipina. Dengan melihat beberapa tokoh liberal Filipina seperti Camilo Osias, Salvador Araneta, Carlos P. Romulo, dan S.P. Lopez, Claudio merunut bagaimana orang-orang ini pun turut berkontribusi dalam proses nation building Filipina. Tentu, Claudio paham betul kontradiksi pemikiran-pemikiran liberalisme Filipina, tapi di ssat yang sama, ia juga mengkritik bahwa langkah-langkah “revolusioner” sering kali hanyalah jalan pintas untuk menyelesaikan sesuatu.

J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands East Indies (New York: Oxford University Press, 1956).
Buku ini adalah buku yang lebih sering dikenal untuk melihat observasi Furnivall terhadap Burma dan Hindia Belanda, sebagai pegawai dan pengamat pemerintah kolonial. Cukup tebal, dan inti pembahasan Furnivall ada di konsep “plural society” yang sering kali digunakan untuk menjelaskan fitur masyarakat Asia Tenggara sebagai sebuah “medley … mix but do not combine” dan hanya berinteraksi di pasar. Tentu asumsi Furnivall soal interaksi etnis ini tidak sepenuhnya benar, tapi konsepnya sangat berguna sebagai model untuk menjelaskan fungsi kapitalisme kolonial dan tegangan rasial. (Dan lumayan juga untuk membaca buku ini berdebat sama Boeke soal faktor-faktor di balik dinamika ekonomi, khususnya Hindia Belanda).

Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1969).
Another Geertz yhaaw. Kayanya udah ga perlu banyak dijelasin soal buku ini sih. Gaya frase-frasenya juga yang demikianlah. Balik lagi, walopun secara data dan analisisi, banyak asumsi Geertz yang bermasalah (dan dikritik habis-habisan oleh Ben White), saya tetap menganggap buku ini penting karena style. Cara Geertz menyampaikan analisisnya begitu vivid dan elegan, seperti misalnya ketika ia sedang bicara tentang sistem produktif post-tradisional desa yang membentuk jejaring yang menyebar seperti “the reticulate veins of the hand”, membuat kita jadi lebih mudah membayangkan sistem produksi betul sebagai sesuatu yang menjalar menyebar (bukan mekanik insular).

James C. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1976).
Yaaaaw, ini juga neh salah satu buku 101 umat agraria. Dalam buku ini Scott menempatkan “subsistence ethic” sebagai pusat analisis politik para petani. Scott melihat kelompok petani sebagai risk-averse actors, yang keputusan-keputusan politiknya berlandaskan pada pertimbangan ekonomi. Scott menjelaskan konsep ini menggunakan metafora visual: “person who keep their neck above the water line”. Integrasi ekonomi pedesaan ke rantai ekonomi kolonial menciutkan margin subsistensi itu, membuat petani semakin terekspos pada risiko-risiko krisis baru dan lebih hebat. Muncul di konteks perang Vietnam, buku ini menantang teori pilihan rasional ekonomi klasik untuk menjelaskan pergerakan/perlawan petani. Tentu ya asumsi Scott ini mengabaikan banyak hal, termasuk pengabaian terhadap faktor-faktor keyakinan dan sosio-budaya, juga kemampuan entreprenurial kelompok petani. Nonetheless, still an important book it is.

James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1986).
Ini pun sudah banyak yang khatam lah ya. Lewat studi antropologi di Sedaka, Kedah Scott menjelaskan tentang resistensi sehari-hari, resistence without rebellion ceunah, yang nanti metodologi analisisnya di buku ini ia kembangkan dalam konsep “the hidden transcripts”. Saya sih suka poin visualnya dia: “Everyday forms of resistance make no headlines. Just as millions of anthozoan polyps create, willy-nilly, a coral reef, so do thousands upon thousands individual acts of insubordination and evasion create a political and economic barrier reef of their own. … Their safety lies in their anonymity” (hal. 36).

Reynaldo Illeto, Pasyon and Revolution: Popular Movements in the Philippines, 1840-1910 (Manila: Ateneo de Manila University Press, 1997).
Buku paporitku selama kelas ini. Buku ini menjelaskan soal peristiwa revolusi Filipina dengan melihat sejarah pergerakan orang-orang bawah Tagalog. Cem “history from below” dengan menggunakan literary evidence yang ada di rangkaian peristiwa seperti Cofradía 1841, perlawanan Katipunan 1896, dan Santa Iglesia. Dari peristiwa-peristiwa itu, Illeto melihat adanya kontinuitas, “the persistence of the pasyon” yang membentuk perspesi dan aksi populasi kelas rendah. Kalu Scott melihat aksi petani secara material, Illeto justru melihat ada hal immaterial yang signifikan: seperti nilai dan kepercayaan terhadap atribut agama Katolik yang membuat mereka “siapa secara kultural” untuk melakukan aksi. Illeto mengkritik sejarah revolusi Filipin yang mengkategorisasikan perilaku petani sebagai fanatis, irasional, atau feudal, dan menginterpretasikan ulang peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur. Saya suka buku ini mungkin karena punya attachment terhadap pisau analisis kritik sastra yang dipakai Illeto.

Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nations (London: Verso, 2006).
Yha.

Thongchai Winichakul, Siam Mapped: A History of the Geo-body of a Nation (Honolulu: University of Hawaii Press, 1997).
Naaaaah buku ini nih yang menantang konsep imagined communities-nya Benedict Anderson. Dengan menelusuri produksi pengetahuan spasial monarki Siam, alias peta, Thongchai mencoba mencari tahu sejarah Thailand mengidentifikasi nationhood-nya. Perubahan proses pemetaan ini, yang juga hasil dari konflik dan negosiasi dengan Prancis dan Inggris di tahun 1890-an, membuat otoritas Siam mengoperasikan “technology of territoriality”: usaha mengontrol masyarakat klasifikasi geografi dan perbatasan, yang kemudian terus diproduksi lewat peta untuk mengkonstruksi We-Self dan They-Other. Thongchai tidak hanya menambah sistem operasi pembentukan identitas nasional Ben, tapi juga menunjukkan proses negative identification, yaitu lewat otherness yang absen di Imagined Communities. Oh salah satu yang penting juga, buku ini sangat mengkritik narasi sejarah kerajaan Thailand. Thongchai sendiri aktif di gerakan mahasiswa tahun 1970an melawan militer dan langsung terlibat di peristiwa Thammasat University 1976. Jadi buku ini juga bagian dari dialog Thongchai dengan historiografi nasional Thailand.

James C. Scott, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (New Haven, Conn.: Yale University Press, 2009).
Zomia zomia apa yang …. Di buku ini Scott berfokus ke orang-orang yang lari ke dari “the oppressions of state-making projects in the valleys” ke area pegunungan atau yang dia sebut “shatter zones” atau “zones of refuge”. Secara konseptual, ruang-ruang pelarian yang diceritakan Scott sangat masuk akal jika kita sepakat dengan asumsi Scott soal state. Saya sendiri melihat buku ini sebagai season dua Seeing Like A State, Fleeing From The State. Wilayah fisik yang dia sebut sebagai Zomia, ia definisikan sebagai “efek negara” yang tidak dapat dihindari. Buku yang bagus banget untuk melihat budaya oral bukan hanya sebagai bagian dari budaya tapi juga tindakan politik yang deliberate.

1998CAM_2019_08_17_23_51_13_FN.jpg
ice bear menemaniku membaca ngoaaah

Historiographical Review of the Japanese Occupation in SE Asia

Review ini secara garis besar melihat perdebatan change and continuity.

Willard H. Elsbree, Japan’s Role in Southeast Asian Nationalist Movements 1940 to 1945 (New York: Institute of Pacific Relations, 1953).
Buku pertama yang mencoba menginterpretasikan signifikansi politik dari okupasi Jepang menuju pergerakan nasional di Asia Tenggara. Argumennya besarnya, era Okupasi Jepang adalah “katalis” gerakan nasionalisme. Sumber-sumber yang Elsbree pakai masih terbatas di sekitar dokumen Tribunal Perang, dan karena Elsbree lebih familiar dengan pengalaman Indonesia, dia tidak terlalu banyak menjelaskan wilayah Asia Tenggara lainnya.

Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945 (The Hague: Van Hoeve, 1958).
Argumen besarny Benda, era Jepang itu decisive factor yang membentuk perkembangan politik Indonesia tahun 1945, khususnya posisi dan pengaruh kelompok-kelompok elit. Dengan melihat relasi otoritas Jepang dengan para pemimpin Muslim, Benda menekankan strategi divide-and-rule. Apa yang dia sebut “the Japanese interregnum” yang berpengaruh terhadap para priyayi, pemimpin sekuler nasionalis, dan pemimpin Muslim akhirnya menggiring pada kebangkitan kelompok baru: pemimpin militer dan generasi pemuda. Tesis “perubahan” sangat kental di argumen Benda. Tapi karena fokusnya di Jawa, jadi ya ndak menjelaskan cerita-cerita berbeda dari region lain. Tapi kemudian Benda juga mendorong cerita ini untuk dapat diaplikasikan ke Asia Tenggara, di mana ia melihat “totalitas” era okupasi itu di Asia Tenggara.

Harry J. Benda, “The Japanese Interregnum in Southeast Asia,” in Imperial Japan and Asia: A Reassessment, ed. Grant K. Goodman (New York: East Asian Institute, Columbia University, 1967).
Di esai ini, Benda melebarkan analisisnya soal pengaruh Okupasi Jepang dari hanya Jawa ke wilayah Asia Tenggara yang lain. Dia berargumen bahwa penggunan bahasa “nasional” (Indonesia, Tagalog) juga disrupsi moda operasi ekonomi yang melahirkan “gaya” administrasi baru adalah signifier yang bisa dilihat dari era Jepang. Meskipun demikian, Benda sedikit berhati-hati untuk mengulangnya kesimpulannya di buku The Crescent. Ia justru mulai melihat ambivalensi dari hasrat otoritas Jepang yang menimbulkan banyak inkonsistensi.

Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972).
Buku ini sejatinya berbicara lebih detail soal pemuda di era revolusi. Tapi jika membacanya dalam rantai narasi Okupasi Jepang, buku ini memiliki dasar tesis yang mirip dengan Benda, dengan elemen latar belakang budaya sebaya aspek penting lainnya dalam perubahan Jawa pasca perang. Dalam hal ini perubahan yang terjadi tidak hanya karena Okupasi Jepang per se, tapi bentuk masyarakat dan kultural jugalah yang memungkinkan perubahan itu. Okupasi Jepang membantu mengkristalisasi kesadaran para pemuda, dengan akar Jawa tradisionalnya, selama mobilisasi.

Cheah Boon Kheng, Red Star over Malaya: Resistance and Social Conflict During and After the Japanese Occupation of Malaya, 1941-46, 4th ed. (Singapore: NUS Press, 2012).
Buku penting untuk melihat aspek lokal dari Okupasi Jepang dari sudut pandangan ketegangan rasial antara Melayu dan Cina di Malaya. Cheah tidak hanya melihat tahun-tahun 1942-1945, tapi juga rangkaian peristiwa setelahnya. Berfokus pada pergerakan Malayan People’s Anti-Japanese Army (MPAJA)/Malayan Communist Party (MCP) yang didominasi Cina, dan Kesatuan Melayu Muda (KMM), Cheah menjabarkan struktur sosial dan tegangan rasial yang sudah ada, dan meruncing selama perang, Cheah meragukan “kesengajaan” otoritas Jepang untuk membuat kebijakan pecah belah, tetapi ketegangan sosial menyeluruh yang diciptakan oleh kebijakan Jepang mengantar pada konflik antar-ras yang panjang di Malaya pasca-perang.

Alfred W. McCoy, ed., Southeast Asia under Japanese Occupation (New Haven: Yale University Southeast Asian Studies, 1980).
Buku ini berisi bab-bab yang menantang tesis transformasi; semacam proyek revisionis yang menawarkan tesis kontinuitas. McCoy dan sembilan kontributor lainnya (termasuk Anthony Reid, Yoji Akashi, dan Cheah Boon Kheng), mempertanyakan ulang totalitas perubahan di wiliyah Asia Tenggara. Bukti-bukti dari Filipina, Vietnam, dan Burma justru menunjukkan adanya pola kontinuitas elit politik. Dengan melebarkan kerangka periode ke 1930-an dan 1950-an, esai-esai ini menunjukan bahwa kelompok politik “baru” yang diasumsikan ini pada kenyataannya adalah respon berbeda kelompok sosial terhadap kondisi politik. Ada ambivalensi dalam disrupsi, dan tiap kelompok sosial yang berbeda memiliki dimanika kepentingannya masing-masing selama perang.

Bruce Reynolds, Thailand and Japan’s Southern Advance, 1940-1945 (New York: St. Martin’s, 1994).
Karena Thailand tidak pernah secara resmi dijajah oleh Eropa, buku ini menjadi penjelasan yang sangat bagus untuk melihat Okupasi Jepang yang tidak berelasi langsung dengan usaha-usaha pencapaian kemerdekaan sebagai koloni. Hubungan Thailan dan Jepang dibaca oleh Reynolds sebagai hubungan diplomasi, dan berargumen bahwa diplomasi “bambu fleksibel”-nya Thailand adalah bagian dari strategi dan respon terhadap perubahan balance of power selama perang. Maka itu kalau kita lihat periode kepemimpinan Phibun dengan Khuang dan Seni setelahnya, Thailand memiliki kebijakan yang berbeda terhadap Jepang dan Sekutu, yang berbasikan pada “pandangan realistis terhadap lingkungan yang rentan”.

David G. Marr, Vietnam 1945: The Quest for Power (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1995).
Nah buku ini ntap untuk menjelaskan tesis kontinuitas lewat serangkaian pergerakan yang beruntutan. Marr memulai analisisnya mundur ke akhir 1890-an sampai era Depresi Besar untuk menjelaskan kondisi sosio-ekonomi juga bagaimana perspesi tentang Jepang berkembang. Okupasi Jepang adalah bagian dari kondisi ekonomi Vietnam yang panjang ini, di mana pergerakan-pergerakan pra-perang, seperti Indochinese Communist Party (ICP) dan Việt Nam Quốc Dân Đảng (VNQDD) yang memulai debut di era 1920-30an, penting untuk dilihat. Marr juga menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri Prancis, Jepang, China, Amerika Serikat, dan Inggris, yang sering kali pardoks, membentuk kondisi Vietnam juga. “[W]ar and revolution feed upon each other. … In both war and revolution, opponents are constantly piecing together scraps information to form pictures, then testing them against preconceived theories of the demands of a particular strategy,” gitu katanya.

Aiko Kurasawa, “Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945” (Cornell University, 1988).
Aaaaaaa. Disertasi (dan buku) yang sangat ntap. Ah juara betlah pokoknya. Data-datanya yawlaaaaaa. Aaaaa sudahlah kelean harus baca buku ini yang dengan detail dan panjang menjabarkan implementasi kebijakan Jepang dan dampaknya. Sejarah sosial-ekonomi paripurna yang berhasil melihat di level akar rumput. Karena kebijakan Jepang kebanyakan dikenakan secara langsung ke massa urban, Kurasawa pun menggunakan serangkaian alat untuk mewujudkan kerjasama populer seperti alat-alat propaganda, pendidikan, dan mobilisasi politik. Detail-detail yang Kurasawa jabarkan mengkomplekskan argumen biner transformasi/kontinuitas. Perubahan yang ada di narasi Okupasi Jepang bukan soal transformasi total dan berkepanjangan tetapi “all aspects of the evolutionary process”. Kurasawa juga berargumen bahwa pemuda yang lahir dari era ini bukan hanya sekolompok radikal yang mendorong elit lebih tua di Jakarta tapi juga masyarakat rural yang menerima pendidikan dan termobilisasi di area urban untuk mencari pekerjaan.

Paul H. Kratoska, The Japanese Occupation of Malaya and Singapore, 1941-45: A Social and Economic History, Second ed. (Singapore: NUS Press, 2018).
Buku ini juga memiliki model yang mirip dengan Kurasawa: sejarah sosio-ekonomi yang sangat detail dan menyeluruh, di Malaya dan Singapura. Kratoska melihat secara detail pengeluaran dan arus komoditas, juga kajian kebijakan etnis dan budaya lewat pendidikan dan proaganda. Pembantaian komunitas Cina di Malaya setelah kejatuhan Singapura, juga organisasi berbasis etnis memang menimbulkan clash antara Melayu dan Cina, tetapi dengan menyorot lebih dekat penduduk Malaya, Kratoska justru melihat kebanyakan orang hanya mencoba untuk menjalani hidup mereka sebaik-baiknya. Menurut saya, sisi “non-politis” ini, juga yang coba diangkat oleh Kurasawa, mengembalikan narasi Okupasi ini kembali sebagai pengalaman manusia, dengan segala elemen materialnya (misal ketersediaan uang kertas, harga bus, harga barang), juga interaksi sosialnya (misal kisah para eks-romusha yang dicatat Kurasawa).

additional readings (not included in the paper) – capek uga euy nulisnya wkwkwk

Teodoro Agoncillo, The Fateful Years: Japan’s Adventure in the Philippines, 1941-45
Buku ini sejarah perang bet. Dijelaskan ceritanya satu per satu, menit per menit gimana Jepang mengokupasi Filipina termasuk paniknya militer Amerika Serikat. Karena sangat detail dan meticulous, buku ini menunjukkan ambiguitas dan kerumitan perang. People are not black and white, but the war makes them be.

Sato Shigeru, War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation, 1942-1945 (New York: M. E. Sharpe, 1994)
Ini buku yang baik untuk dibaca bersama dengan bukunya Aiko Kurasawa dan Paul Kratoska. Sama-sama sejarah ekonomi/sosial, dan data statistik sosialnya bagus sekali. Sato berargumen tentang proses pengambilan keputusan otoritas Jepang yang berantakan karena mereka tidak berpengalaman dan ignorance terhadap penduduk rural Jawa.

Ethan Mark, Japan’s Occupation of Java in the Second World War: A Transnational History (London: Bloomsbury Academic, 2018).
Buku ini melihat sejarah Okupasi Jepang sebagai sejarah transnasional di mana kekuatan-kekuatan pendorong perubahan sosial era perang bukan hanya top-down tapi juga bottom-up, di mana-mana anggota-anggota masyarakat sipil pun berambisi untuk menjadi partisipan aktif. Dengan melihat bagaimana kelompok masyarakat Jawa merengkuh propganda “Greater Asia”, studi Mark ini memberikan wawasan (juga pengingat) bahwa ide Greater Asia ini adalah produk bersama antara pertemuan transnasional yang ambivalen antara imperialisme Jepang dan nasionalisme anti-kolonial. Saya suka buku ini karena dengan jeli berhasil menjelaskan kompleksitas praktik-praktik turunan dari ide Co-Prosperity Sphere Jepang.

Satoshi Nakano, Japan’s Colonial Moment in Southeast Asia 1942-1945: the Occupiers’ Experience (London and New York: Routledge, 2019)
Buku ini menganalisis makna okupasi Jepang di Asia Tengara sebagai pengalaman historis yang menggerakan kondisi Jepang dan masyarakaynya pasca perang. Melalui analisis naratif, Satoshi merajut pengalaman-pengalamanpara aktor, dan melihat bahwa okupasi itu tidak hanya mempengaruhi Asia Tenggara tapi juga Jepang sendiri, di mana rentetan peristiwa itu adalah shock untuk fondasi Jepang, yang di dalam tubuh militer maupun pemerintah saling berdebat antara kebutuhan material untuk sumber daya militer atau usaha-usaha memenangkan “perang suci pembebasan Asia”.

One response to “Bibliografi Beranotasi: Sejarah dan Historiografi Asia Tenggara”

Leave a comment