A History of Reading – Alberto Manguel
Sebagai seseorang yang pernah dekat dengan membacakan buku-buku pada Borges, Alberto Manguel tentu memiliki pengalaman membaca yang tidak biasa, dan mungkin memang pengalaman itulah yang membuat Manguel memiliki kedekatan erat, tidak hanya dengan sastra, namun juga the act of reading. Buku ini cukup tebal dan berisi banyak sekali cerita tentang membaca dari zaman kuno hingga kontemporer, dari batu, codex, gulungan, hingga paperback, dari membaca bersuara ataupu diam. Semuanya itu ditumpuk oleh Manguel dalam bab-bab, yang ketimbang kronologis dan periodikal, lebih berupa sintesis dari sebuah ide yang ingin ia sampaikan. Dalam hal ini, saya cukup menikmati cara Manguel menceritakan banyak hal: tentang bagaimana bapak-ibu gereja di abad-abad mula, tentang para buruh pabrik rokok di Kuba yang berbagi bacaan, juga tentang cara Kafka membaca, bagaimana para perempuan abad pertengahan mencari akses untuk bacaan, penerjemahan, dan lain-lain seputar dunia literatur.
Saya pikir Manguel bukan cuman ingin sekedar memberikan semua fakta-fakta itu, tapi ingin memberikan wawasan soal bagaimana membaca bukan sesuatu yang terberi. Seiring dengan peradaban manusia, membaca bukanlah kemudian hal yang asing dari aktivitas sehari-hari. Ya, membaca bermula dari para elit, dan mereka yang memiliki akses terhadap sumber-sumber terdahulu (misal bapak-bapak gereja). Namun buku ini memnyajikan fitur spesifik soal dinamika yang terus berubah seiring dengan perjalanan budaya manusia. Saya pikir buku ini juga berhasil memberikan gambaran tentang apa itu membaca; bagaimana cara membaca pun menjadi perbincangan, mana yang lebih baik–bersuara atau diam, membaca kolektif atau sendirian, membaca dengan pengertian maupun adakah sebenarnya kesalahan membaca.
Membaca buku ini sebenarnya seperti melihat orang yang sedang terpesona dan tergila-gila dengan membaca. Manuel meromantisasi membaca, dan beberapa paragraf di mana ia menceritakan pengalaman membacanya dengan cukup puitis mengingatkan saya pada post-post tumblr tentang membaca. Tentu saya tidak keberatan. Sebagai orang yang cukup menyek dan terkadang emosionil soal membaca, banyak hal yang membuat saya mengangguk-angguk. Dan saya pikir pun Manuel cukup koheren dengan tidak mengabaikan hal yang struktural dari kegiatan membaca. Kalau mungkin sedikit curiga buku ini mengadiluhungkan membaca, saya pikir memang ada tendensi demikian. Cuman ini pun tergantung dari cara membacanya. Menyelesaikan buku ini justru bisa membuat tidak bersemangat untuk memuliakan membaca, karena intuisi membaca hanyalah satu kecil bagian untuk mempertanyakan urip yang lebih besar. Saya sepakat dengan Kafka, “A book cannot take the place of the world“, ia hadir sebagai medium bukan substitutsi. A History of Reading justru membuat saya tidak berfokus pada kemuliaan membaca, namun pada dunia di seputarnya yang lebih besar lagi, tentang pertemuan lintas waktu antar manusia lewat teks dan kenangan, tentang hidup dan esyelelenya yang ruwet itu. Ehehehe.

On Being Blue: A Philosophical Inquiry – William H. Gass
Biru. Biru. Biru. Biru. Biru. Hoaaaaam. Biru. Biru. Seks. Biru. Melihat. Biru. Fuck. Biru.
Mungkin jika bisa direduksi, itulah inti buku yang menurut saya cukup sulit ini. Saya pikir Gass memiliki cara yang sangat unik untuk berbicara Biru, sebagai sebuah warna, nuansa, simbol, alusi. Bahkan dengan tengilnya ia memainkan pengucapan kata blue dengan blow, bleau, dan menariknya ke bagaimana frase-frase makian menjadi enak untuk diucapkan sekaligus memiliki daya hina yang hamlelah. Saya juga menyukai bagian ketika ia membahasa tentang ilusi mata terhadap cahaya yang mampu membuat manusia menangkap warna biru, tapi–seperti di internet heboh soal baju hitam atau emas–mata kita pun menipu. Pertanyaannya, mana yang bisa dipercaya? Ta ta ta tapi, fragmen-fragmen buku ini mulai terbayang di bagian tengah buku. Bagian awal buku ini sulit sekali untuk diikuti, mungkin juga karena Gass memulai esainya dengan dengan referensi-referensi yang saya kurang familiar. Saya harus berkali-kali mencari tahu apa yang ia maksud, dan akhirnya malah kewalahan sendiri dan memutuskan untuk lanjut terus saja. Saya baru ngeh di bagian tengah akhir di mana Gass mulai lebih ringkas menjelaskan pemikirannya. Saya sarankan kalau mau membaca buku ini, persiapkanlah waktu dan energi lebih, karena meskipun pendek (hanya sekitar 80-an halaman), buku ini tidak dapat ditelan sekaligus. (Yang pasti ku makin yakin kalau komik Poputepipikku adalah panggilan uripku ehe)
3 responses to “Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 27”
Saya barangkali tidak akan bertemu dengan buku Alberto Manguel, atau mungkin perlu waktu lama sampai menemukannya. Sementara itu, boleh dijabarkan sedikit ‘cara Kafka membaca’? Saya penasaran sekali. Kafka adalah salah satu penulis favorit saya dan tetiba saya khawatir telah salah ‘membacanya’.
Terima kasih sebelumnya.
LikeLike
Halo halo. Di bukunya, Manguel membahas ‘cara membaca Kafka’ dengan mengambil beberapa kutipan dari bukunya Gustav Janouch, Conversation with Kafka, Walter Benjamin – Illuminations, dan Ernst Pawel – The Nightmare of Reason.
Kalau dari Janouch, Manguel melihat bahwa intuisi membaca Kafka prinsipnya adalah tidak mengurung kehidupan di dalam buku. Katanya, “A book cannot take the place of the world. That is impossible. In life, everything has its own meaning and its own purpose, for which there cannot be any permanent substitute. A man can’t, for instance, master his own experience through the medium of another personality. That is how the world is in relation to books. One tries to imprison life in a book, like a songbird in a cage, but it’s no good.” Lalu Benjamin membahas cara membaca Kafka menggunakan pembanding yaitu Grand Inquisitor yang ada di buku The Brothers Karamazov-nya Dostoevsky. Grand Inquisitor berbicara soal misteri, teka-teki: “And precisely because it is a mystery we have had the right to preach it, to teach the people that what matters is neither freedom nor love, but the riddle, the secret, the mystery to which they have to bow — without reflection and even without conscience.”
Manuel kemudian menyimpulkan bahwa menurut Kafka, bagi seorang pembaca, semua teks itu bukan hal yang selesai. Justru teks bisa dibaca karena ia tidak pernah selesai. Dan ini pun terlihat di karya-karyanya Kafka. Manuel memberi contoh K. dalam The Castle yang tidak pernah mencapai halaman akhir dan juga beberapa interpretasi pembaca Kafka terhadap Metamorphosis. ‘Cara membaca Kafka’ artinya adalah cara membaca yang terserah pembacanya. Tapi Kafka juga memiliki idealismenya sendiri soal membaca.
Di sebuah surat untuk kawannya, Oskar Pollak, Kafka pernah menulis:
“Altogether, I think we ought to read only books that bite and sting us. If the book we are reading doesn’t shake us awake like a blow on the skull, why bother reading it in the first place? So that it can make us happy, as you put it? Good God, we’d be just as happy if we had no books at all; books that make us happy we could, in a pinch, also write ourselves. What we need are books that hit us like a most painful misfortune, like the death of someone we loved more than we love ourselves, that make us feel as though we had been banished to the woods, far from any human presence, like a suicide. A book must be the axe for the frozen sea within us. That is what I believe.” Dan kutipan ini yang menutup pembahasan Manuel soal cara membaca Kafka.
Kurang lebih begitu~~ Maaf ya jadi panjang soalnya biar sekalian. Kalau mau cari tahu lebih lanjut mungkin bisa melihat referensi rujukan Manuel yang sudah ku sebutin. Ehehehe. Semoga berguna.
LikeLike
Terima kasih atas penjelasannya, sangat lengkap sekali. Membuat saya sungguh-sungguh ingin mencari buku aslinya dan rujukan-rujukan yang kamu tulis hehe. Setuju dengan kutipan-kutipannya, idealisme Kafka membaca tampaknya ditularkan betul ke karya-karyanya yang suram tapi mencengangkan.
Sukses terus ya untuk blog dan resensinya.
LikeLike