Semasa – Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang (Penerbit Oak 2018)
Saya awali dengan curcol dulu. Minggu ini sungguh minggu padat dan membuat jantung senam (belum tentu) sehat. Di awal minggu saya sempat berpikir apakah mungkin menulis Siapa Tahu, tapi ketika membaca novel Semasa, saya haqeul yaqin kalau harus menuliskannya meskipun sedikit terlambat.
Semasa bercerita tentang sepasang sepupu, Coro dan Sachi, novel ini mengangkat kisah keluarga kecil dan relasi-relasi di dalamnya. Rumah masa kecil mereka berdua akan dijual. Dan layaknya sebuah objek menyimpan kenangan, semua nostalgia itu muncul satu per satu lewat suara Coro dan percakapannya dengan Sachi juga Bapak, Paman, dan Bibinya, diikuti dengan kegelisahan lain tentang masa depan yang mengikuti. Semasa seperti sebuah kolase cerita panjang. Potongan-potongan masa kecil Coro-Sachi, hubungan kakak-beradik Bapak dan Bibi Sari, rencana-rencana hari tua, yang dipadukan dengan rasa-rasa sedih, mungkin juga gembira, soal keberanjakan dan menjadi dewasa.

Saya sudah menantikan novel Teddy dan Maesy sejak pertama kali mereka memberikan sneak peak di instagram tentang skrip yang mereka tulis. Sejak mengikuti tulisan-tulisan mereka di thedustysneakers (i once binge read their blog all night lol), juga beberapa kali main ke Post dan ngobrol, saya selalu merasa mereka sungguhlah panutan urip. Mereka berdua adalah pembaca yang teliti dan perseptif. Saya selalu suka tulisan Teddy yang runut dan rapi, dan ia mampu menangkap gestur kecil lalu menceritakannya dengan nuansa hangat, juga tulisan Maesy yang tegas, efektif, dan penuh keberanian untuk menilai permasalahan-permasalahan pelik yang bisa bikin sakit kepala kalau dicari solusinya. Maka ketika tahu keduanya berkolaborasi dalam fiksi, saya bertanya-tanya, sejauh apa mereka meletakkan gaya dan suara mereka.
Namun setelah menghabiskan Semasa, saya pikir pertanyaan itu tidak lagi relevan. Tentu, saya masih menebak-nebak mana tulisan Teddy, dan mana tulisan Maesy. Mungkin suara Maesy sedikit lebih lantang dalam percakapan Coro dan Sachi tentang imigrasi, ketegangan antara dunia aktivisme dan intelektualisme, juga usaha-usaha untuk memahami konflik sosial dan dunia. Suara Teddy jauh lebih terdengar di narasi Coro, tentang ia yang mengkhawatirkan Bapaknya, juga ketika menceritakan masa kecil Coro dan Sachi. Tapi di bagian-bagian akhir rasanya suara mereka melebur menjadi narasi yang hangat dingin. Gestur kecil tiap tokoh di dalamnya menenangkan, tidak jarang menjadi miris oleh narasi perpisahan dan kesepian, namun ia juga tegas dan bernas.
Pikiranku berkelana ke bagaimana hal-hal akan berjalan sesudah ini. Apa pun pilihan yang diambil, rumah akan hilang.
Di satu sisi, saya pikir ini salah satu keberhasilan Semasa. Teddy dan Maesy mampu mengombinasikan cara mereka berpikir dan bertutur untuk menampilkan konflik terdalam dalam sebuah relasi dekat tanpa harus meledak-ledak menunggu invasi alien. Ada yang berpendapat ini adalah dialektika antara keduanya. Ya mungkin, meskipun saya sendiri menganggap istilah itu kurang tepat. Semasa hadir tidak sepenuhnya untuk menginvestigasi kebenaran sebuah opini, ataupun menyelidiki kontradiksi dan mencari solusi. Ia hadir untuk bercerita dengan baik. Semasa adalah seperti percakapan tentang satu dua hal di dalam keluarga yang diceritakan ulang, di mana argumen, logika, dan alasan-alasan rasional pun membaur dengan kekecewaan dan sakit hati. Maka, jangan terkecoh oleh sinopsis di balik buku: “Kisah keluarga yang sederhana saja.” Percayalah, jika sesuatu atau seseorang mengklaim dirinya sederhana, ia tidak akan pernah sesederhana itu. Huehehe.
Di lain sisi, menulis sebuah cerita keluarga kelas menengah di Indonesia, beserta hal-hal kecil di dalamnya, menurut saya bukan perkara mudah. Antara cerita itu akan jadi sangat membosankan, karena toh kisaran relasi keluarga tidak akan jauh dari cerita-cerita yang biasa kita dengar (apalagi kalau kita juga kelas menengah), atau bisa jadi sangat menyenangkan, karena kita menjadi familiar dan merasa dekat dengan tokohnya. Novel Semasa bagi saya berada di antara keduanya. Mungkin ini komentar realistis saja, karena toh kita tidak bisa menghindari rasa bosan akan cerita yang sebenarnya tentang itu-itu saja. Sekolah, pekerjaan, urusan rumah, hubungan romantis, rencana pensiun. Rasa-rasanya kita sudah mendengar ribuan cerita serupa. Tapi tema sehari-hari yang mungkin gitu-gitu we, slice-of-life, tidak selalu buruk, bahkan bisa jadi sangat baik. Novel Burung-Burung Rantau karya Romo Mangun, misalnya, adalah salah satu contoh novel panutan untuk tema-tema semacam itu. Dan, membaca Semasa sedikit mengingatkan saya pada buku beliau itu. Apalagi keduanya sama-sama memilih tokoh yang menikah dengan orang Yunani. Saya mengakui bahwa tema novel Semasa (mungkin) membosankan, namun tulisan Teddy dan Maesy mampu menjadikan hal membosankan itu menjadi cerita yang dinamis dan bisa membuat kita berpikir lagi tentang orang-orang di rumah.