Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 18

Mereka yang Membuat Saya Terus Membaca

Mungkin pembaca sejawat sempat berpikir bahwa seseorang membaca karena pilihan pribadi. Sebagai penganut-konstruktivisime-belum-bisa-beranjak saya harus tidak sepakat dengan hal itu. Seseorang membaca karena, selain privilise, juga karena sejarah, baik itu yang individual, sistemik, maupun akumulasi dari beberapa krisis genting. Pilihan pribadi tetap ada (berhubungan dengan komitmen untuk terus melakukan aktivitas itu, misalnya) namun ia bukanlah penentu mutlak. Ketika saya menggunakan kata “mereka”, saya sebenarnya tidak hanya merujuk pada manusia/orang, tapi juga pada satu situasi dan keadaan di mana orang-orang tersebut melakukan sesuatu yang imbasnya kepada saya tidak selalu berintensi. Tentu dengan bertanya “mengapa kita membaca,” seperti ada usaha untuk menimbang faktor material (i.e. berhubungan dengan kelas ekonomi-sosial berikut akses-aksesnya) maupun yang non-material (i.e. kebiasaan, preferensi, alasan “filosofis”). Eh ya jadi ngablu. Intinya, saya ingin melanjutkan daftar minggu lalu, dan jika pembaca sejawat nan budiman belum jenuh, saya bocorkan lagi dulu mereka yang membuat saya terus membaca. Kalau ingin langsung ke ulasan, sekip-sekrol saja terus ke bawah uhuy~

Papap

Biasanya orang tua muncul karena biasanya mereka menjadi orang pertama yang memperkenalkan kita pada buku dan bacaan. Mam-Pap saya tidak terkecuali, dan tentu saja Alkitab ada di daftar buku pertama yang saya baca (walaupun tulisannya kecil-kecil dan kadang membosankan #jujur, dan sejujurnya saya jadi hapal cerita-cerita Alkitab adalah karena guru-guru Sekolah Minggu lincah bercerita). Tapi semakin saya besar, memang Papap sayalah yang lebih berpengaruh. Mungkin juga karena beliau akademisi jadi bacaan-bacaannya kadang bikin saya penasaran. Ketika saya mau kuliah di HI Unpar, papap membawakan saya buku Huntington Clash of Civilization dan buku populer tentang globalisasi, The World is Flat. Kalau ada ulasan buku bagus di koran Kompas, biasanya beliau menanyakan saya sudah baca atau belum. Atau kalau saya pulang ke rumah, kami sering bertukar referensi dan ngobrol ngalur ngadul. Sesekali mendengar komentar: “Ni lho, Nik. Papa punya ini, kamu belum baca to?” “Lho jangan ngece kamu, gini-gini koleksi bukune papa lumayan lho.” “Nik, papa nemu komik Kwik Flupkemu nih. Lucu ya ternyata.” Wqwqwq~

Kawan-kawan baik di ALF

ALF itu singkatan Analisa Literatur dan Film, salah satu divisi di kelompok studi (sok serius) HI Unpar. Waktu tahun pertama masuk sebenarnya biasa saja. Ya lumayanlah mendengarkan angkatan atas diskusi topik-topik HI. Tapi sebenarnya baru tahun ke dua, rasanya jadi lebih seru. Ketua divisinya waktu itu merekrut orang-orang yang sekarang masih jadi kawan-kawan baik saya, Randy dan Kyana. Saya sangat suka bacaan-bacaan Kyana, juga tulisan-tulisannya yang manis di kastubamani. Kalau dengan Randy, kami lebih sering diskusi soal buku non-fiksi khususnya sejarah dan kebijakan, atau soal propaganda dan film-film kelas B. Lalu tahun ketiga, karena saya merekrut pengurus baru, ketemulah saya dengan Day dan Mabella, juga mengajak bergabung kawan baik saya yang juga suka membaca dan menulis, Tegar. Lalu ketika Day pegang ALF tahun 2012, berjumpalah kami semua dengan Mechtildis. Dengan semua referensi akademik, kerja-kerja kebijakan maupun sosial, kesukaan mereka pada seni, saya jadi membaca banyak hal. Randy membuat saya membaca sejarah Perang Dingin; Kyana, Pramoedya selain tetralogi Pulau Buru; Day, novel fantasi dan distopia (saya membaca novel Jukstaposisi karya Calvin S juga hasil pinjam Day); Mabella, fiksi ilmiah; Tegar, tulisan-tulisan Soekarno; Mechtildis, seni tari. Ah, masa-masa menyenangkan.

* Saya, Kyana, Mabella, Day, dan Mechtildis pernah iseng bikin proyek kolektif riang gembira di bawah Atap Bumi gitu. Uehehehe~

Bramantya Basuki

Rasanya aneh juga bisa memasukkan nama ini di dalam daftar, karena mungkin dua tahun yang lalu, saya tak pernah tahu pasti apa pengaruh orang ini dalam proses saya membaca. Ya, namanya analisis post-factum dikombinasikan dengan bias kognitif jadi ya demikianlah. Pastinya saya berbincang lagi dengan blio karena kami sama-sama tertarik dengan problem artificial intelligence, baru kemudian jadi tahu bacaan-bacaan kesukaannya yang juga beragam: dari Multitude-nya Hardt-Negri, Pohon-Pohon Sesawi Romo Mangun, karya-karya Maurice Sendak, komik strip Charles M. Schulz, Peanuts, sampai 20th Century Boys-nya Naoki Urasawa. Keterbukaan Bram akan banyak bentuk bacaan (tak terkecuali zine, selebaran demo di jalanan, lirik lagu, percakapan/puisi dalam film) membuat ia punya kemampuan menarik abstraksi susah menjadi satu bentuk kesadaran sehari-hari. Ia adalah pembaca yang sabar, bertekun dalam konsep-konsep ekonomi-politik yang tidak mudah, dan sering kali memantik pertanyaan-pertanyaan tengil. Saya berhutang padanya karena menjadi pembaca yang tidak banyak bacot dan sotoy (walaupun masih); diam dan mendengarkan pun bisa jadi sangat menyenangkan. Selain itu, tiap habis berdiskusi dengannya setelah membaca, saya selalu terpikir hal-hal baru lain dan jadi semangat lagi untuk membuka buku selanjutnya. Oh iya, Bram bersama kawan baiknya juga punya kanal penerbitan (super) independen namanya Anjing Galak, isinya terjemahan tulisan yang bisa dicetak dan diperbanyak sendiri. (Sejenis ingin melihat si anjing galak ini menyalak kembali uhuk kode).

P_20180127_113550_vHDR_On

The Wave in the Mind – Ursula K. Le Guin

Beberapa hari lalu saya berduka bersama banyak orang yang kehilangan Ursula K. Le Guin. Rasanya sesak sekali waktu itu, karena saya sangat menyukai cerita-cerita fantasi dan fiksi ilmiahnya: seri EarthseaLeft Hand of Darkness, The Dispossesed, juga cerpen-cerpennya yang cukup banyak. (Sampai sekarang pun saya belum membaca semua karyanya). Tapi selain fiksinya, saya juga mendapati esai-esai Ursula sangat memikat. Ia sudah banyak menulis pengantar dan komentar untuk beberapa buku, dan kritiknya pun sering kali tajam dan pedas.

The Wave in the Mind adalah buku kumpulan esai Ursula yang pertama saya habiskan (selain membaca beberapa esai lain di internet). Buku ini berisi sekitar 30-an esai, dari yang personal, sampai yang berhubungan dengan membaca dan menulis. Lewat tulisan-tulisannya, saya jadi mengerti soal ritme dan ketukan dalam tulisan, bagaimana mengaturnya di dalam prosa agar kemudian tak jadi seperti puisi. Saya jadi tahu cara beliau membaca Tolkien, atau Mark Twain dan Borges, perhatiannya terhadap kebenaran dalam fiksi, gender dan kapitalisme, ekologi, dan nilai-nilai dalam Taoisme yang ia terapkan. Salah satu hal yang kemudian juga membuat saya kagum padanya adalah bagaimana ia berefleksi terhadap proses menjadi tua; apakah orang-orang seusianya mendapatkan tempat, suara dan representasi dalam cerita. Membaca esai-esainya seperti mendapatkan macam-macam kebijaksanaan yang disampaikan seperti potongan kisah-kisah hidupnya. “The writer tells stories, the stories, over, and over, and over.” Selamat beristirahat, Ursula K. Le Guin.

Voices from the Other World – Naguib Mahfouz (Penerjemah Raymond Stock, Anchor Books 2002)

Kumcer ini saya baca setelah melihat rekomendasinya di instastory sebuah akun bookstagram. Awalnya saya tertarik dengan sampul bukunya yang bagus, lalu barulah saya mencari tahu tentang Naguib Mahfouz. Beliau adalah penulis dari Mesir, terkenal dengan The Cairo Trilogy yang berlatar sejarah Mesir di Perang Dunia I sampai tahun 1950an, dan juga pernah memenangkan Nobel Sastra. Sama seperti Ursula, beliau sudah menulis banyak buku dan cerpen, dan awalnya saya ragu, apakah memulai dari kumcernya–yang mungkin tidak sepopuler karya lainnya–adalah pilihan tepat. Eh ya tapi waktu baca Tayeb Salih, saya juga mulai dari kumcernya sih ketimbang novelnya wqwqwq~

Kumcer ini berisi lima cerita pendek yang semuanya berlatarkan sejarah Mesir Kuno. Di bagian awal buku bahkan ada garis waktu, kronologi kerajaan Mesir Kuno, dan penerjemahnya pun memberikan catatan mengenai proses pengalihan bahasa di mana banyak istilah yang merujuk pada obyek-obyek Mesir Kuno. Maka di bagian akhir buku pun ada glossary untuk membantu pembaca. Melihat teknis penyusunan buku ini, ada pikiran curiga, apakah kumcer Mahfouz ini akan jadi cerita berbeban data yang sering ditemukan pada novel-novel sejarah. Ternyata kecurigaan saya ini termentahkan langsung dari cerita pertama.

Semua cerita dalam kumcer ini sesungguhnya adalah kritik sosial. “Evil Adored” misalnya adalah sebuah satir tentang moralitas, “Manufacturers of Virtue“, tentang Khnum yang moralnya berdinamika namun berakhir dengan, “the devilish life came back to quiet Khnum, blowing away the serenity that had prevailed in its part.” Di cerita “King Userkaf’s Forgiveness”, Mahfouz menceritakan tentang kebaikan hati seorang raja, namun di saat yang sama juga tentang kesendiriannya (hanya anjingnya Zay yang setia padanya). “The Mummy Awakens” menceritakan tentang kekecewaan terpendam seorang raja yang dibawa sampai mati–bahkan jika bisa bangkit lagi pun ingin rasanya memaki-maki rekannya itu. Lalu “The Return of Sinuhe” berkisah soal keterasingan, kepulangan dan tanah lahir. “Could it be that the agony of our long-ago love still toys with this ancient heart, so close to its demise?” Dan cerita terakhir, yang menurut saya paling juara, “A Voice from the Other World.” Sejenis cerita krisis eksistensial seorang Firaun yang meninggal dan melihat dirinya dimumikan. “What could not be doubted is that Death is neither painful nor terrifying, as mortals imagine.”

Pertanyaannya kemudian, apakah tanpa latar Mesir Kuno sebenarnya Mahfouz bisa bercerita dengan tema-tema yang sama? Mungkin bisa. Cara Mahfouz bercerita tentang Mesir Kuno sangat ramah bagi para pembaca modern, dan rasanya jika latar itu diganti Mesir modern atau belahan dunia yang lain, pembaca awam (yang tidak terlalu paham detail mengenai sejarah Mesir Kuno) bisa jadi tidak bisa membedakan. Saya harus kembali pada catatan penerjemah di mana cara Mahfouz menceritakan latar periode dan sejarah itu adalah melalui pendeskripsian makam dan istana. Detail-detail semacam itu bisa terlewat melintas saja karena akhirnya pembaca, saya paling tidak, lebih terayun pada gaya bercerita Mahfouz yang baik sekali: liris, tenang, klimaksnya memberikan kejutan untuk kemudian pelan-pelan ditenangkan kembali. Ketimbang melihat kumcer ini sebagai cerita Mesir Kuno, saya melihatnya sebagai cerita eksistensialis lintas waktu; bahwa para firaun dan elitis Mesir Kuno mungkin pun memiliki pikiran dan perasaan tentang eksistensi diri yang serupa dengan manusia modern. Yang kuno dan yang modern akhirnya menjadi cair dan tidak dapat dibedakan.

 

Leave a comment