Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 15

Sejenis Pendahuluan Sedikit

Yaaas! Saya-si-pemalas bisa melewati tiga bulan pertama menjadi rutin menulis rubrik ini. Saya sempat kepikiran, apakah di awal tahun harus membuat target-target baru, atau merumuskan hal yang baru. Tapi jujur saya nggak kepikiran apa-apa sih. Jadi ya dilanjutkan saja seperti biasa. Tidak ada target membaca secara khusus, juga tidak ada obsesi harus menyelesaikan buku apa (meskipun saya tergoda membaca Don Quixote secara perlahan uhuk). Saya cuman berharap masih bisa punya energi untuk terus menulis Siapa Tahu. Semoga pembaca sejawat sekalian juga masih bisa terus membaca. Tabik.


makramé oleh Dias Novita Wuri (PT GPU 2017) 

Saya pernah membaca cerpen Dias yang berjudul “Com a Luz de Dia (Dalam Cahaya Siang Hari)” dan saya tak terlalu suka. Saya pikir cerpen itu biasa saja. Teknik, plot, maupun temanya tidak buruk, namun juga tidak ada yang terlalu spesial. Cuman karena manusia sotoy cem demikian biasanya salah, saya pun ingin membuktikan kalau saya salah dengan membaca kumcer ini. Dan hasilnya …. ya gusti senangnya mengetahaui bahwa ternyata saya memang salah; cerpen-cerpennya Dias di buku ini sungguh bagus. Uehehe~

Saya mulai mengernyitkan dahi dan menggumam, “ih bagus amat” pada cerpen kedua yang berjudul “Duiven”. Cerpen itu berkisah tentang kehidupan para orang tua di rumah lansia; satu per satu rasa dan nuansa dihadirkan. Tentang candaan mengenang masa muda, juga tentang anak-anak mereka dan kesepian. Bagus sekali. Dari sana saya sangat menikmati sekali cara Dias bercerita. Puncak apresiasi jatuh khususnya pada cerpen berjudul “Dapur Yang Bersih dan Lapang”. Cara Dias menarasikan seorang suami yang mengenang istrinya lewat masakan sangatlah sabar, perlahan, tapi juga tidak bertele-tele. Tidak ada hal yang terlalu besar, tidak ada premis-premis yang juga terlalu minor, semuanya seperti dimasak oleh Dias dengan seimbang. Saya membayangkan bahwa memang cerpen ini seperti hidangan udang kung pao yang terlihat nikmat itu. Menu utama ini dihidangkan bersama dengan masakan-masakan cerita yang tak kalah enaknya.

Cerpen “Malam Pertama”, misalnya, menurut saya salah satu yang cukup brilian. Satu premis sederhana tentang pasangan yang baru menikah, dan melalui kejadian semalam saja, kebosanan sebuah pernikahan (yang baru dapat muncul bertahun-tahun) sudah dapat dirasakan. Sang pria yang terobsesi pada pikirannya sendiri, apakah istrinya perawan atau tidak, membuat ia tidak dapat menikmati momen-momen pernikahan baru yang seharusnya menggairahkan. Dan dimulailah konflik rumah tangga baru uwouwo. Cara penceritaan Dias yang rapi juga struktur alurnya yang strategis dengan repetisi efektif, bisa membuat cerita ini sangat pas. Cerpen “Keanu Reeves”, misalnya, juga menjadi salah satu cerpen yang saya sukai. Temanya seperti fan-fic yang biasa saya baca: percintaan dengan artis besar, narasinya pendek, tapi mengesankan. Bahwa pertemuan dengan orangtua sang pacar (narator), entah kamu orang biasa atau seorang Keanu Reeves, sepertinya memang selalu berpotensi menjadi tidak nyaman (apalagi ada peran media di situ).

Mungkin kalau boleh sotoy (dikit), kelemahan kumcer ini hanya satu: beberapa cerita mengalami kedangkalan lensa penceritaan. Misal dalam cerpen “Papa Gulali”, saya pikir mengambilnya dari sudut pandang sang perempuan (narator), termasuk apa-apa yang ia pikirkan, sangatlah menarik. Apalagi Dias menokohkan perempuan itu sebagai seseorang yang sepertinya memang menyukai (fetishsugar daddy. Ini perspektif yang menarik, tapi emosinya tidak digali secara utuh; tidak ada kedalaman hasrat dalam pikiran-pikiran narator. Contoh lain lagi yang secara emosi lumayan dangkal juga adalah pada cerita “Her”. Cerita yang berpotensi mengeksplorasi rasa tenang dalam kejutan tidak terduga rasanya kurang berhasil disampaikan. Nuansa sepi jadi seperti nuansa sepi saja, padahal alurnya sudah sangat menjajikan. Justru malah di gaya penceritaan seperti “Kartun dan Luka Makramé”, yang memanfaatkan jejak-jejak komunikasi, lebih berhasil menghadirkan kedalaman emosi.

Intinya, kumcer ini sangat bagus, para pembaca sejawat. Bacalah.

20180101_225343.jpg

Pekan Fiksi Vice: Indonesia 2038

Jika ada hal yang membuat saya (terlalu) bersemangat di awal tahun, maka hal itu adalah pekan fiksi Vice ini, yaitu kolaborasi beberapa penulis untuk menulis cerpen-cerpen fiksi sains! BOOM! Saya pikir ini adalah sebuah ide yang brilian. Nama-nama seperti Norman Erikson Pasaribu, Cyntha Hariadi, Mikael Johani, Rio Johan, Sabda Armandio, Ziggy Z, Andina Dwifatma, Madina Malahayati, dll. Sampai postingan ini ditulis, sudah ada 11 cerpen yang saya baca, dan sungguh menyenangkan sekali bisa menemukan ragam premis, teknik, dan gaya bercerita. Sebagai pembaca, saya harus tepuk tangan kepada tim redaksi dan editornya, terutama juga untuk para penulisnya. Kalian warbiyasah! ❤

Cerpen-cerpen dalam Pekan Fiksi mencakup banyak hal. Mungkin salah satu yang diadaptasi beberapa kali adalah apa yang saya sebut pasca-Jakarta: termasuk kehancurannya atau perpindahan ibukota negara. Tidak semuanya berlandaskan latar itu secara eksklusif, tapi paling tidak nuansa yang dibangun oleh sebagian besar cerita adalah (pasca)apokaliptik. Ada tentang pemulung masa depan dalam “Abadi” oleh Ratri Ninditya, juga cerpen Metaxu oleh Norman E. Pasaribu tentang kehidupan skorer di tempat karaoke ketika Jakarta mulai ditinggalkan. Mikael Johani lewat cerpen “BRAM” (dengan teknik menulis yang sangat Mas Mike sekali :””) bercerita tentang penghilangan paksa yang dilakukan oleh artificial intelligence, Madina Malahayati bercerita tentang tenggelamnya Jakarta (dan masih jadi komodifikasi/tontonan) dalam “churning waters”, Cyntha Hariadi lewat “Softie” membayangkan jika revolusi dimulai dengan sebuah pembalut yang berdarah, atau oleh seorang anak yang berlari seperti dalam “Heels of Apocalyptic End” karya Ziggy Z. Tapi tentu saja ada cerita-cerita tidak terlalu kental nuansa-nuansa politik kiamat. Cerpen “Linus Damono” karya Andina Dwifatma bercerita tentang robot kritik yang menjadi religius. Cerita tentang kehidupan sehari-hari di Mars karya Rizaldy Yusuf berjudul “Profesor T” dan pertemuan tubuh antara manusia dan alien karya Leopold Adi Surya berjudul “Ambang” juga diceritakan dengan nuansa yang sangat puitis. Dengan gaya yang menyenangkan, “Keributan di Kamar Sebelah” karya Sabda Armandio menceritakan nuansa futuristik yang lebih sehari-hari dan cerpen “Buyan” (favorit saya) karya Falissa Putri justru memberikan humor dan kejenakaan yang familiar ditemukan ketika berhadapan dengan teknologi (juga bencana).

Sebagai penyuka fiksi ilmiah, saya sangat puas dan senang dengan cerpen-cerpen yang sejauh ini muncul. Saya mendapati beberapa referensi tema atau mungkin juga bentuk maupun teknik penulisan yang memang beberapa kali dipakai oleh penulis fiksi ilmiah favorit saya, namun rasa-rasa Indonesia (bahkan beberapa daerah khusus) yang dihadirkan justru menjadikan cerita-cerita itu makin kaya: unik dalam mempermainkan kompleksitas dan bahasa. Meskipun saya sempat bertanya-tanya tentang beberapa logika cerita, cuman karena secara utuh cara bernarasinya rapi, jadinya irelevan. Mungkin juga karena saking semangatnya saya jadi tyda kritikel uhuk.

Minggu ini sungguh puas sekali membaca cerita-cerita bagus!

 

Leave a comment