Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 08

Pengantar Ndak Penting

I never loved to read. One does not love breathing,” kata Harper Lee. Pernyataan ini sebenarnya sedikit take-for-granted terhadap paru-paru yang bekerja normal (membaca) dan akses terhadap oksigen (buku/artikel). Tapi harus saya akui, memang demikianlah kondisi membaca tanpa romantisasi berlebih. Konten yang masuk ke dalam tubuh menjadi energi, yang keluar ya jadi karbondioksida, bisa berguna untuk makhluk hidup lain dan berputar terus demikian sambil bernyanyi circle of lyfeeeee kencang-kencang. Tapi karbondioksida kalau dikeluarkan lewat mulut kencang-kencang jadinya adalah abab. Ehe~ Sebenarnya saya ingin kasih konteks singkat saja sih soal seri ulasan ini. Ceritanya mau bagi-bagi hasil bernapas saja alias abab. Maap-maap aja kalau ternyata bau, kalau nggak bau ya bagus. Jika tertarik, bisa langsung menuju ke sumber oksigennya biar tidak cuman terima abab doang ehe. Kalau kesulitan, terutama untuk buku, beberapa bisa dipinjam melalui saya atau bisa saya bantu carikan.

Terakhir, saya berharap kalau rubrik ini bisa jadi ruang bagi-bagi bacaan bersama. Beberapa bacaan kawan baik saya, yang mulia bosque PP, bahkan sudah akan hadir di episode kali ini dan minggu depan (tanda bintang). Kalau para pembaca blog budiman juga ingin ikutan boleh lho~


Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 – Gani A. Jaelani (Syabas Books 2013)

Membicarakan sejarah penyakit kelamin tentu bukan cuman untuk menertawakan atau mengutuki para tentara Belanda yang membawanya. Penulisnya sendiri berkata bahwa membicarakan penyakit kelamin adalah membicarakan teror dan ketakutan yang dihadapi manusia (xiii). Berangkat dari munculnya penyakit ini, Gani membawa kita pada pemahaman soal bagaimana para tenaga medis melakukan “pencarian” juga pemahaman soal penyakit yang melanda sebagian besar tentara militer Belanda dan para pekerja perkebunan. Data yang disajikan pun menunjukkan bahwa penderita penyakit kelamin adalah lebih banyak orang Eropa ketimbang pribumi. Pemerintah kolonial kalang kabut, panik, karena keduanya adalah sumber kekuatan Belanda. Asumsi-asumsi mengenai penyakit ini pun tidak hanya berkaitan dengan kebahayaan tubuh baik itu secara fisik maupun mental (25-36) tapi juga ancaman terhadap tatanan sosial. Untuk bagian tatanan, Gani memaparkan soal asumsi moral juga teror yang membuat takut masyarakat. Cara penyampaian informasi oleh para dokter pun menjadi penting dalam usaha menenangkan masyarakat.

Bab berikutnya kemudian membahas ikhtiar-ikhtiar pencegahan. Betul, pembaca yang budiman, Anda tidak salah. Penyakit ini ada kaitannya dengan aktivitas pelacuran. Salah satu upaya yang gencar dilakukan oleh pemerintah adalah mengawasi para pelacur. Dengan memisahkan pelacur sehat dengan sakit menggunakan kartu, pemerintah di satu sisi melegalkan pelacuran namun dapat mengawasi aktivitas dan membatasi ruang gerak para pelacur. Cara lain juga dengan melakukan karantina penderita dan peraturan higienitas rumah bordil. Di samping itu, Gani juga memaparkan beberapa wacana lain dalam mengatasi penyakitu tersebut, seperti penertiban tangsi militer. Dalam hal ini pemerintah melakukan intensifikasi pemeriksaan kesehatan dan pengawasan terhadap gundik para serdadu. Upaya lainnya adalah perawatan berkala dan cara hidup higienis. Lalu juga penyebaran moral puritan. Yang menarik sebenarnya adalah sudah ada wacana yang muncul bahwa penyakit kelamin adalah karena kolonialisme. Maka jika ingin penyakit ini hilang, praktik kolonialisme harus dihapuskan. Tentunya argumen ini bukan yang terlalu dominan, karena argumen moralitaslah yang lebih banyak diterima termasuk himbauan untuk berpantang. Selain itu ada juga wacana untuk melakukan pemeriksaan pranikah di mana pasangan diharapkan dapat memeriksakan kesehatannya.

Dari semua wacana upaya itu, Gani memberikan satu bab khusus yang membahas simbol dan representasi yang muncul dari penyakit kelamin itu sendiri termasuk diskursus-diskursus yang muncul. cara pandang kolonialisme tentang masyarakat cabul, juga asosisasinya dengan perempuan, degenerasi keluarga, dan bahwa penyakit ini bukan penyakit pribumi. Gani juga memberikan analisis juga dari teks fiksi seperti Mait Idoep karya Kwe Tek Hoay dan Neraka Dunia karya Nur St. Iskandar yang memberikan gambaran tentang mengerikannya penyakit ini, termasuk bagaimana diskriminasi terhadap perempuan, pribumi khususnya, terjadi.

Secara keseluruhan, saya menikmati pemaparan Gani. Bukan cuman karena topiknya yang ternyata mampu menarik banyak dimensi tentang politik tubuh dan isu gender, tapi juga karena cara menyampaikannya pun terstruktur dalam wacana-wacana penting. Meskipun kita akan mendapati satu bagian beberapa kali terus ditekankan di beberapa bagian sehingga ada sedikit kesan pengulangan, saya pikir buku ini berhasil memberikan wawasan-wawasan padat soal masyarakat dan relasinya dengan pemerintah juga militer di era kolonial.

20171118_110022

Stairs and Whispers: D/deaf and Disabled Poets Write Back – Sandra Alland, Khairani Barokka and Daniel Sluman (Eds) (Nine Arches Press 2017)*

Saya membeli buku ini karena saya merasa taka da yang banyak berbicara mengenai seni orang-orang difabel. Inklusi dan keragaman adalah dua kata paling seksi di circa 2010, tapi seringkali wacananya tetap meninggalkan orang-orang yang memiliki kebutuhan tambahan untuk mental dan fisik. Saya tahu salah seorang perempuan Indonesia yang terus mendorong inklusi dan akses untuk masyarakat difabel adalah Khairani Barokka (a.k.a Kak Okka – sok kenal via temanku Hanna dan Kitkut huhuhu #fangirling). Dan ketika bukunya sampai, saya juga membaca tanpa bisa berhenti. Akhirnya. Pikir saya. Dan bukan hanya soal kualitas puisi, buku ini benar-benar soal akses. Mereka menyediakan audio untuk pembacaan puisi, hingga tautan video-video. Ini adalah proyek multimedia yang bisa diakses orang-orang difabel. Di bagian terakhir buku ada keterangan tentang kategori puisi, sehingga jika ada tema tertentu yang membuat trauma/membangkitkan PTSD, bisa dihindari. Kudos. Kudos. Kudos.

Puisi favorit saya antara lain Abi Palmer “Doublespeak”, Holy Magill “What Can You See?”, Markie Burnhope “On the Final Days Before Your Transformations”, dan dari semuanya, Catherine Edmunds “Careering Down the Hillside”.

The Alchemy of November – Nina MacLaughlin (The Paris Review 2017)

Waktu membaca esai pendek ini, saya sejujurnya tidak bisa merasa dekat. Tentu karena di negara tropis, bulan November tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan lain. Mungkin curah hujan jadi lebih tinggi, atau saya bisa menemukan lebih banyak duren (dan mereka yang pamer soal makan duren). Tapi saya tidak merasakan warna maupun bau dalam lukisan-lukisan yang dijelaskan oleh Nina. Baru sampai pada akhir artikel, saya mendapati Nina memberikan perspektif tentang kerja melalui sebuah ilustrasi yang menggambarkan pekerjaan menebang pohon dan penjagalan babi. Para petani dan peternaklah yang melakukan kerja-kerja di bulan November ini. Saya jadi membayangkan, apakah dalam kehidupan kerja sekarang ini ada perbedaan pola kerja macam apa yang hanya ditemukan di bulan November? Kalau kata Nina: Pay attention, pay attention, pay attention. Hmmmmm.

My Uncle NapoleonIraj Pezeshkzad (Modern Library 2006)*

Ceritanya sederhana, satu klan keluarga turunan kerajaan Qajar di Iran harus berhadapan dengan serangkaian tragedi mendebarkan (yang juga konyol), dipimpin oleh si anak sulung keluarga bernama Paman Napoleon. Dinamika keluarganya begitu intens, sering kali saya dilupakan dengan fokus utama cerita; si narrator (keponakan Paman) ingin menikah dengan anak Paman Napoleon, Layli. Kapan kalian terakhir kali membaca fiksi yang begitu menyenangkan, sehingga serasa ingin menembak tokoh paling menyebalkan dengan senapan angin tepat di mukanya? Saya selalu merasa seperti itu tiap kali Paman Napoleon muncul. Dan kemudian kembali getir karena kekonyolan “menurut pada anak sulung” yang membuat repot seluruh hidup keluarga lain amat familiar dalam kehidupan pribadi. My Uncle Napoleon membuat saya terkekeh dan tidak bisa berhenti. Walaupun bagian akhir bukunya jauh lebih sendu ketimbang tujuh bab pertama.

Ini buku yang akan memaksamu terus membacanya dalam sekali buka. Dan tidak akan menyesal! Tokoh favorit saya di buku ini adalah Mash Qasem – pelayan setia Paman Napoleon yang sederhana, tapi cerdik dengan caranya untuk membantu keluarga lain yang kesusahan karena Paman degil nan delusional. Dan tentu saja, paman aneh yang sering mengatakan “Pergi ke San Francisco” sebagai eufimisme hubungan seksual, Asadollah Mirza. Oh, dan marilah kita memberi kredit kepada siapapun yang melakukan suntingan terjemahan dan penerjemah novel dari Iran ini. Dick Davis luar biasa. Terjemahannya halus sekali, dan mempertahankan gaya liris Persia yang digunakan Pezeshkzad.

4311

Leave a comment