Ibu Susu oleh Rio Johan (Penerbit KPG 2017)
Perkenalan mula saya tentang peradaban Mesir kuno tidak lain dan tidak bukan adalah cerita di Perjanjian Lama. Tentu buku bergambar dan film Prince of Egypt menjadi alat utama untuk saya, waktu masih bocah, agar bisa sedikit membayangkan seperti apa rupa Putri Firaun. Semakin tumbuh besar, tentu semakin paham bahwa penggambaran visualisasi cerita sekolah minggu itu tidak selalu diikuti dengan latar belakang peradaban Mesir kuno itu sendiri. termasuk cerita tentang sang ibu susu. Maka buat saya, novel Rio ini seperti menarik saya kembali ke masa kecil dan ingatan tentang Mesir kuno, tentang ibu susu yang sedikit berbeda tapi tak kalah serunya.
Novel ini bercerita tentang Firaun Theb dan Meth, istrinya yang mendapati putranya sakit keras dan membutuhkan susu dari seorang perempuan untuk menyembuhkannya. Lewat mimpi Firaun Theb mendapatkan penglihatan tentang susu yang tercurah deras membasahai negeri, tanda bahwa nanti akan ada kantung susu yang akan menyembuhkan anakanya. Mimpi itu nyata dengan munculnya Perempuan Iksa dengan payudara subur yang berkhasiat menyembuhkan pangeran. Namun ceritanya tidak berhenti di situ. Perempuan Iksa punya permintaan yang harus dipenuhi, dan berujung pada nasib hidupnya (yak bagian ini silahkan dibaca di novelnya uehehe).
Selama membaca, saya terkagum-kagum dengan cara Rio menarasikan premis sederhana menjadi luar biasa kaya. Baik itu dari pemilihan kata, pergulatan hati dan pikiran para tokoh, dialog yang disajikan dalam doa dan syair, juga cara memotong-motong cerita. Ada tiga tema besar yang dipotong menjadi 14 bagian: (a) “Mimpi Susu Firaun Theb” sebanyak 6 bab, (b) “Susu Ibu dan Ibu Susu” sebanyak 4 bab, dan (c) “Permintaan Perempuan Iksa” sebanyak 4 bab. Sialnya ketika acara bincang buku minggu lalu saya tidak menanyakan soal ini karena belum selesai membaca, tapi biarlah saya coba menebak-nebak.
Enam bagian tentang Firaun menampilkan bentuk frustrasi seorang bapak sekaligus kekejian seorang raja terhadap siapa pun yang tidak berhasil memenuhi keinginannya. Tidak mengherankan memang karena demikianlah cara Firaun bertindak. Seperti mengukuhkan ulang bahwa memang ada relasi kuasa yang sulit ditantang dan dibongkar. Namun ketika sisi kebapakan ini muncul, rasanya kita diajak bergulat juga dengan kekhawatirannya. Permasalahan anak ini ternyata bukan cuman urusan keluarga, tapi urusan satu negeri. Cuman jika diperhatikan, bab-bab “Permintaan Perempuan Iksa” adalah bab-bab yang lebih kritis, bab-bab heroik, di mana seorang perempuan berbicara atas dirinya sendiri di hadapan raja meminta sesuatu sebelum dirinya diperas habis-habisan untuk pangeran. Jika pun Perempuan Iksa dilihat sebagai keculasan (saya lebih suka kecerdasan), saya pikir caranya merepresentasikan diri sendiri termasuk orang-orang maupun leluhurnya menandakan bentuk pengangkatan diri yang kuat. Rio membuat “pidato” Perempuan Iksa dengan sangat apik, jika berlebihan untuk dikatakan megah dan gagah. Selain itu hal yang saya dapati menarik lagi adalah pergulatan emosi antara Meth, sang permaisuri dengan Perempuan Iksa yang berada di bab-bab “Susu Ibu dan Ibu Susu”. Bagian ini seperti interlude dalam lagu, tidak terlalu dominan, mengalun perlahan di tengah-tengah cerita. Ada kegundahan, kecemburuan seorang ibu, sakit hati melihat anaknya sakit namun dirinya pun terbatas secara fisik dan di sisi lain ia “mengasihi” Perempuan Iksa yang menjadi penyelamat sang pangeran. Ini pergulatan yang tidak mudah. Entahlah jika dimasukkan dalam konteks Mesir Kuno apakah akan jadi sedramatis di kepala saya. Cuman saya menaruh simpati (juga rasa hormat) pada Meth. Rio menyampaikan ketiga rangkaian tema ini dalam satu kisah utuh dan lengkap.
Di balik semua kekaguman saya akan novel ini, saya sebenarnya sedikit terganggu dengan plot yang tidak linear itu. Saya beberapa kali membolak-balik bab untuk tahu sebenarnya sudah sampai di mana cerita yang saya baca. Minimya dialog dan kalimat panjang bersyair tidak menjadi masalah, tapi ketika ditambah dengan garis waktu plot yang dibongkar pasang, rasanya membaca ini jadi rumit sekali. Selain itu, untuk penelitian dengan jangka waktu lumayan panjang saya tidak terlalu mendapati banyak konteks masyarakat. Bukan tidak ada, tapi minim. Jadi jika ada wacana bahwa kehidupan istana itu membosankan, saya pikir Rio berhasil membuat pembaca sedikit “bosan” dengan apa-apa saja yang terjadi di istana. Eh ya tapi memang mungkin ini yang namanya pembatasan cerita hehehe.
Terlepas itu, menurut sata Rio berhasil. Ia berhasil menenggelamkan diri bersama dengan tradisi literatur Mesir kuno tanpa harus melepaskan jati diri menulisnya, sekaligus mengajak kita ikut membayangakan hujan susu, hujan rahmat, hujan ketahiran.

Alkebu-Lan 1260 AH oleh Nikolaj Cyon
Apa jadinya Nusantara jika Portugis, Inggris, bahkan Belanda tidak pernah datang? Pertanyaan spekulatif ini sepertinya sudah ada beberapa jawabannya di beberapa forum, dan pertanyaan yang sama berlaku untuk negara-negara benua Afrika. Pertanyaan tentang Eropa yang tidak menjajah Afrika ini kemudian divisualisasikan oleh seniman Swedia dalam bentuk peta. Cyon mempelajari secara mendalam sejarah pra-kolonialisme Afrika, memahami kelompok-kelompok suku juga persebaran bioma, sungai, dan bahasa. Peta ini benar-benar jauh berbeda dengan apa yang kita kenal dari Afrika khususnya nama-nama negara yang dibongkar sedemikian rupa. Mungkin kita bisa berdebat sejauh apa peta alternatif ini memberi pemahaman soal Afrika, namun usaha ini harus diapresiasi sebagai bentuk lain memahami Konferensi Berlin dan Scramble of Africa termasuk trauma kolonial.
Herbs and Verbs: How to Do Witchcraft for Real oleh Hillary Waterman (JSTOR Daily 2017)
Apakah pernah ingin mencoba menjadi tukang jampi-jampi? Jika jawabannya ya, mungkin artikel ini akan membantu. JIka jawabannya tidak, ya buat tahu-tahu aja nggak jadi masalah. Hehehe. Artikel ini memberikan sedikit “resep” mantra jika kamu ingin melakukan jampi-jampi. Berdasarkan beberapa penelitian sejarah abad pertengahan dan antropologi linguistik, sihir adalah teknologi untuk mengakses ranah tak tersentuh dengan memanfaatkan bahasa. Ini tentu tidak hanya terjadi di Eropa, tapi juga digunakan di banyak tempat lain contohnya Papua Nugini. Tumbuh-tumbuhan dan kata-kata memang sungguh berkuasa.
Letters oleh Mekong Review (2017)
Salah satu yang saya cukup suka dari membaca sebuah majalah/koran adalah surat pembaca. Mungkin terdengar membosankan, cuman sering kali saya mendapati beberapa tulisan itu menarik, bergizi, dan tidak jarang juga lucu. Salah satu kompilasi surat/komentar pembaca yang baru-baru ini saya baca adalah surat pembaca untuk majalah literatur, Mekong Review (cakupannya negara-negara Asia Tenggara: Kamboja, Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos). Surat-surat itu ditujukan untuk sebuah ulasan mengenai film dokumenter Perang Vietnam yang beberapa waktu lalu sempat bebas baca tanpa membayar. Mekong Review tidak mengunggah semua surat, namun membacanya sedikit memberikan gambaran singkat mengenai pemahaman masyarakat saat ini, khusunya Amerika Serikat, tentang perang Vietnam.