Ilham Rukiah

Saya menulis bagian pendek ini ketika saya sedang melakukan studi kecil-kecilan tentang penyair perempuan “Angkatan ’45” dan berpikir tentang laku puitik penyair perempuan. Hasil akhir studi itu adalah tulisan di situs Tengara tentang sajak-sajak Siti Nuraini yang sejauh ini tersebar di berbagai antologi puisi. Namun, ketika saya berpikir tentang Nuraini, saya sekaligus melihat kembali beberapa sajak S. Rukiah. Bahasan di tulisan ini secara khusus menyorot empat judul puisi “Ilham,” Keluhku,” “Buntu Kejaran,” dan “Ilham 2” yang diterbitkan pada tahun 1946, 1948, dan 1950. Dengan melihat keempat sajak itu, saya menawarkan pembacaan untuk kita melihat keberlanjutan dan perubahan gagasan Rukiah tentang inspirasi mencipta.


Siti Rukiah mendengungkan timbangannya soal laku puitik melalui dua puisi mulanya yang terbit pada tahun 1946. Secara spesifik, ia menangkap satu unit abstrak dalam proses penciptaan, yaitu ilham, untuk diwacanakan dan diintervensi bentuknya. Dalam sajak “Ilham,” sang narator memulai dengan sebuah kondisi dan suasana, yang kemudian diikuti dengan sebuah peristiwa kedatangan:

     Kalbu rusuh, 
Jiwa gelisah,
Rindukan cahaya,
Membunga rona . . . . . . .

Ilham datang,
Riang membayang,
Menepi hati,
Menguat dada . . . . . .

Rukiah mengartikulasikan konsep ilham melalui sebuah sosok yang datang pada sebuah kondisi kalut suram di mana jiwa mendamba terang dan kegembiraan. Ilham seketika datang, dengan sayapnya, entah dari mana, kemungkinan besar dari langit, membawa isyarat keriangan. Tubuh aku merespon lewat lonjakan, jiwanya kemudian bertanya: “Kuatkah sayapmu,  membawa daku, ke alam Maya . . . . . . .?” Ilham kemudian tersenyum, menjawab, “Kuat, kuat sayapku, marilah serta, biar membadai mencapai bintang.” Sang ilham akan mengantarnya pergi jauh mencapai ketinggian langit.

Beberapa bulan kemudian, Rukiah menulis “Keluhku” dengan menggunakan rangkaian serupa: ada sebuah kondisi yang berubah ketika sesuatu di luar dirinya datang mendekat, mengisi hidupnya. Jika “Ilham” dimulai dengan mendung dan kekalutan, Rukiah memulai “Keluhku” dengan sepi dan kekakuan:

     Sepi di luar,
tiada kudengar,
Pohon dan daun,
Kaku . . . . . .!!
Tiada bergerak

Aku termangu dipeluk pilu,
tiada bayu menyejuk lalu,
tiada swara menggetar daya,
Sunyi dan sunyi sekelilingku . . . . . .!

Kehampaan dan kesunyian seperti diteriakkan, dan yang “aku” inginkan adalah sesuatu di luar dirinya – sang engkau – yang “penuh mengisi hatiku sunyi, memberi gaya jiwaku layu.” Dirinya dan sekelilingnya akan jadi berarti dan penuh oleh kehadiran sesosok inspirasi. Ada kebahagian atas persatuan antara aku dan ilham.

Dalam studinya tentang Rukiah, Annabel Gallop melihat ilham dalam sajak-sajak itu sebagai inspirasi puitis – sebuah kekuatan yang mendorong penyair untuk mengisi kekosongan diri dan sekitarnya. Namun, Gallop berhenti pada kesimpulan bahwa kedua pusisi itu adalah “puisi remaja” (adolescent poem) dan “puisi belum matang” (immature poem) yang menggunakan rima normatif seperti kebanyakan puisi pada dekade 1940-an. Tanpa mengesampingkan kesimpulan itu, saya justru menggarisbawahi cara Rukiah mewujudkan ilham sebagai sebuah sosok di luar sang “aku.” Konsekuensinya, ilham yang terasumsikan sebagai konsep abstrak atau kekuatan yang menggerakkan kini memiliki wujud yang termateri, mendaging, sekaligus fantastis. Ia datang, mendekat, mengundang; melalui tubuhnya, ilham mampu berbuat sesuatu. Pada “Ilham,” inspirasi menubuh – ia memiliki sayap, bisa tersenyum, terbang, dan membawa; sedangkan “Keluhku” adalah kerinduan narator akan sesuatu di luar dirinya, sang “engkau,” yang hadir, kemudian tinggal dekat dan bersatu dengannya.

Pada tahun 1948, wujud ilham mengalami perubahan bentuk dan karakter. Dalam “Buntu Kejaran,” Rukiah tidak memulai puisinya dengan sebuah kondisi murung atau sepi, namun sebuah pertemuan: sang aku bertemu kembali dengan ilham. Namun, kali ini, ilham bukanlah sosok makhluk manis bersayap yang mampu membawanya pergi jauh. Ia seperti peri tengil dan nakal:

     Dia ketawa tergila-gila 
Mulut kuat enak mengejek
Cepat kukejar
Ia lari seperti binatang liar

Tak ada romantisme mendayu dalam pertemuannya dengan ilham kali ini. Yang ada justru adegan kejar-kejaran tom-and-jerry yang berujung pada jalan buntu. Ilham tertangkap tetapi ia berhasil menyelinap lepas:

     Di jalan buntu
Tertangakap ia kupegang erat
Menjerat
Terkejut telinga pekak.
Kubanting kembali
Lepas melancar lagi
Menari mengawang tinggi.

Lalu Rukiah menutup sajaknya dengan kemarahan dan kefrustrasian, tanpa kebencian juga tanpa keputusasaan. Mungkin satu kali nanti, sang aku akan berhasil menangkap ilham:

     Di jalan buntu
Buntu lagi kejaranku
Darah panas melonjak kepala
Dan jiwa menghardik:
Aku belum bisa mengalahkan dia.

Seperti sebuah film kartun, puisi ini hidup secara visual dalam adegannya yang main-main. Melalui gambar bergerak dalam puisinya, Rukiah meruntuhkan sebuah asumsi ideal tentang inspirasi puitis: dari satu kekuatan yang mampu membawa dan mengisi hati, menjadi sebuah gangguan yang mengusik dan tak mudah ditundukkan. Kejar daku kau takkan menangkap. Akan tetapi, meskipun Rukiah sedang melakukan perombakan besar terhadap karakter ilham, Rukiah tetap mempertahankan caranya mewujudkan ilham bahkan ke bentuk yang lebih tegas. Bait terakhirnya melakukan penekanan dengan selintas repetisi ditambah suasana tegang yang dimunculkan melalui himpunan kata “darah panas,” “panas melonjak,” “melonjak kepala,” dan “jiwa menghardik.” Nuansa puisinya berbeda dibandingkan “Ilham,” namun prosedur personifikasinya berlanjut dan dikukuhkan oleh ritme baris dan imaji yang muncul dari himpunan kata.

Pergeseran wujud ilham dalam sajak Rukiah mengalami puncaknya pada “Ilham II” yang pertama kali muncul dalam kumpulan puisinya Tandus (1950), Rukiah memulai puisi dengan sebuah pertemuan di tepi jurang, di mana ilham dan sang aku bertemu. Prosedur yang sama: tak ada situasi ataupun kondisi yang memperjelas figur di penghujung lubang tanah yang terbuka itu, karena keutamaannya adalah tindakan. Kali ini bukan aku yang mengejar dan berhasil menangkap ilham. Justru sebaliknya:

     Bagai kilat
Sekejap kautangkap Aku
Kaubawa aku berlari
di atas kuda citamu yang liar.

Ilham tidak mendekat manis, tapi juga tak lagi lari dari sang aku. Malah, ia menangkap aku dalam kecepatan. Tidak ada lagi sosok aku yang merasa terhina, atau yang mengejar ilham. Sang aku justru dibawa berlari di atas “kuda cita liar”- romantis, menyentuh erotis. Ia tidak lagi terengah-engah mengejar ilham lalu marah karena tak berhasil menangkapnya. Ia justru membiarkan dirinya terbawa:

     Biar—
Biarlah kita terbang mengawang
menari ketawa di ujung jiwa.
Biarlah kita tenggelam di dalam jurang
menjerit mengerang di dasar cita.

Pada bait di atas, Rukiah menggabungkan kerja ilham dalam puisi “Ilham” dan “Buntu Jalan”: terbang dan tertawa. Namun, bukan cuma ilham yang terbang kuat dengan sayapnya dan tertawa mengejek, mereka kini terbang tertawa bersama. Kemudian, Rukiah menambah gerak orientasi untuk memperdalam relasi sang aku dan ilham – mereka tenggelam di dalam jurang, menjerit dan mengerang. Gambaran Rukiah tentang inspirasi puitik sebagai gairah memungkinkan emosi dan ekspresi terus-menerus meluap. Dan Rukiah tidak berhenti di situ:

     Asal saja
Kau dan Aku
tetap bersama berpacu Cita,
tegak berdiri,
meskipun di antara runtuhan mati!

Bait terakhirnya adalah sebuah syarat. Sang aku menuntut kebersamaan, kesetiaan, keteguhan ilham. Ilham kini tak diizinkan hadir sebagai figur penyelamat dari langit, atau setan kecil yang suka menghina. Ia adalah hasrat yang melesat cepat dan menyelam dalam bersama dengan sang aku. Rukiah mematerialkan konsep ilham yang abstrak melalui sosok “engkau” yang bertemu, terbang mengawang, dan tenggelam bersama “aku.” Ilham – inspirasi, gagasan – menubuh menjadi daging yang berjumpa dan berinteraksi secara fisik bersama dengan tubuh aku.


Keempat sajak Rukiah membuka ruang untuk bertanya tentang apa itu “pemikiran” bagi seorang perempuan, juga bagaimana sang “perempuan” mewujudkan pikirannya. Bagi Rukiah, ilham selalu ada di luar dirinya, bersatu jika ia datang. Rukiah tidak mengklaim ilham sebagai milik kepunyaan atau sesuatu yang ia lahirkan dari dalam tubuhnya sendiri. Ilham seperti sebuah keinsyafan akan kekayaan di luar tubuh “aku” yang sering kali datang tanpa diundang meski didamba, sering juga ia lari melesat dari genggaman karena ia pun bebas dan tak bisa dikurung, dan pada akhirnya ia sendiri datang dalam kelembutan menjaga kehidupan bersama tubuh fana. Kerendahan hati sang aku, juga keterbukaan dan kejujurannya memampukan ilham mewujud dan berdinamika. Kekuatan untuk mencipta, sang ilham itu, bertemu dengan sang aku, yang diilhami, dalam relasi. Perempuan berdinamika dengan pemikirannya, bergerak untuk mencipta dan mencita.

Cara Rukiah mempersonifikasi ilham mengingatkan saya pada dewi-dewi Musai (Muses) dalam mitologi Yunani, sebagai lambang penubuhan inspirasi seni, musik, dan sastra. Saya membayangkan wujud ilham dalam Rukiah adalah layaknya para Dewi Tanah Sunda yang hadir, bukan untuk melayani imajinasi dan hasrat seksual laki-laki, tetapi untuk membawa pergi sang aku perempuan yang mendambakannya. Mereka bercengkrama, kejar-mengejar, saling menangkap, dan berdiri bersama di atas reruntuhan. Kuat dan indah sekali gambaran itu. Akan tetapi, betulkah sumber dan kekuatan mencipta ini memiliki seks dan tubuh? Wujud seperti apa dan siapa yang sebenarnya sedang dibayangkan Rukiah ketika ia menulis “Biarlah kita terbang mengawang / menari ketawa di ujung jiwa”? Seperti apa makhluk berwajah dan bersuara pemilik sayap, lari seperti binatang liar, dan juga duduk di atas kuda cita itu? Lalu, jika ilham ditubuhkan dan dimaterialkan dalam relasi yang terbaca dan bergerak, sejauh mana kita dapat memahami sisi misterius dan spiritual dari ilham itu sendiri? Apa konsekuensi ilham-yang-menubuh dalam puisi Rukiah terhadap caranya memahami penciptaan karya dan mengartikulasikan gagasan?

Pertanyaan-pertanyaan itu saya rasa akan banyak bersinggungan dengan bagaimana Rukiah memahami dunia materialnya. Dan mungkin para penulis biografi Rukiah bisa menjelaskan dengan lebih detail. Untuk sekarang, saya berhenti dulu di sini. Jika pembaca menemukan tulisan ini dan merasa hendak melanjutkannya, silahkan ya. Usaha menempatkan puisi-puisi Rukiah juga penyair perempuan sezamannya sebagai sumber untuk mengolah ide dan pemikiran belum selesai. Nanti kita lanjutkan lagi.


Bacaan lebih lanjut:

     Annabel Teh Gallop, "The Works of Siti Rukiah" (1985)
Yerry Wirawan, "Independent Woman in Postcolonial Indonesia: Rereading the Works of Rukiah" (2018)
Eunike G. "Membaca S. Rukiah" (2018)
Giovanni Dessy Austriningrum, "Mengukur Kesunyian: Kehidupan dan Kekaryaan S. Rukiah" (2021)
Mirat Kolektif

Leave a comment