unmanifested

You know: our writing ain’t shit, and we take pride in every cloud we replicate as we refuse rain and storm. Fretting with frat boys of literature, tobacco blowjobs until our whole view is smokey shadow. No shit we can’t write good. We have no clarity. We need to leave friendships. A circle of bad grammarians with bad politics say yeses to each other, occasionally nos only if one of us is not commissioned with a government project. Are you still sure we the shit? Deranging morale. Better go to the street, denouncing empire without art.

Sayang, dompetmu jangan lupa di tasku.

Kita sebenernya lagi main kekerabatan apa sih? Kompleksitas yang kita tawarkan semu. Dari banyak buku dan hidup yang udah kita baca, kita masih nggak ngerti caranya diam dan berandai soal pembebasan. Our pen and laptop keyboards stink, sticky of our cum. We give up womanhood, trying to make our kind anew. But rainbows don’t arrive for us in full. We keep swimming in the puddle of our verbal excrement, glorifying penises in pants because we suffer from womanhood.

Please dear, not now, put down the strap-on, we’re talking first.

Listen, I don’t blame mothers for their violence to their daughters. Mothers are mostly born from patriarchal fluid thrust. Their bodies break so much they might turn into handmaiden. If women were extinct out of femicide, we would not fight each other. We would fuck each other’s brain out. Making poems around our tolerable ngab. We know: their tolerance won’t fucking save us.

Kamu pernah bilang dalam mimpi: kita akan meninggalkan kalimat-kalimat indah jemu dan semu, jadi berandalan tanda baca, pindah bahasa lalu kembali lagi pada gerak lidah kita yang pertama. Ada banyak cerita yang ingin kamu sampaikan, gagasan yang hendak kamu lampiaskan, tokoh-tokoh gemilang yang kamu benci sekaligus sayang. Dalam sajakmu ada hasrat untuk hadir dan bersuara, merayakan hidup, bertarung melawan maut. Kita tak pernah ingin diktat kakak pembina atau kuliah orang tua. Lewat barisan rima dan suara, kita ingin merampas kedirian yang pernah direnggut. Lekuk-lekuk rumah lama yang kita tinggalkan dapat kamu gambar dalam rentetan sintaks dingin penuh keindahan. Fantasi katarsismu dengan anggun tersemat pada paragraf pendek soal jendela kelas yang tercekat pada kerangka tembok sekolah. Aku di sampingmu, membaca segala mimpimu soal cerita dan sastra; dan kamu makin menjauh.

Inget nggak sih kita ketemu karena kartu ATM-ku jatuh di jalan?

I know: we don’t have each other again. Words don’t come true through us anymore. We lie about what we love. Staying in the anarchic corner, I lose your greetings. Grab that, I see myself pretending as someone who loves us. But not really. I can’t write about our brights, you can’t even spell “us”! Losing the plot? We don’t even make one since the very start. In the beginning was a failed vendetta. My anger is not yours, nor does your love of mediocrity. We devour the mortality of our desire as we commit to the sins of our oppressors. I follow the trail of bitterness, and you make a bouquet out of flowers of wealth and greed.

Mungkin memang harus sekarang, sebelum kita . . .

Aku sudah menjadi setan kecil yang bermain api di atas nada hinamu. Kita berontak pada keasingan yang terus menerus diujarkan oleh para pendoa syafaat. Kita cuma sepasang pemalas yang sedang mencari-cari alasan untuk kabur ke dunia lain yang ingin kita miliki. Sudah–jangan bohong, jangan bela kita di hadapan lingkar baca berasap itu, jangan banggakan kita pada pidato-pidato raya. Kita sudah tidak menulis, pun tidak bermimpi, juga tidak mendamba.

Mulai besok aku cari kos-kosan baru ya.

Leave a comment