Confession of a Mask: Yukio Mishima menulis tentang topeng seorang laki-laki berbicara tentang dirinya sendiri, meliuk ke dalam, ke luar, berbalik, berputar, melalui, ke dalam tubuh. Pecahan memori yang tidak selalu bisa diandalkan berubah menjadi gerlap fiksi memoar. Topeng itu meminta kisah hasrat, nafsu, seksualitas, dan raga erotis, merajuk pada jiwa libido yang meronta hendak merdeka. Ia mengingat hari-hari membosankan di rumah, titik balik ekstasinya setelah bertemu dengan Santo Sebastian versi Guido Reni, obsesinya pada lekuk laki-laki, ketiak dan lipatan berbayang rambut-rambut halus, meracap masturbasi, cinta dan iri hati pada supremasi tubuh, kasih pada keindahan yang menubuh pada perempuan, geliat intelektual dan hasrat untuk menipu diri sendiri.

“Pengakuan,” sebagai padanan kata “confession,” bersandar pada kata “aku.” Jika kita ganti imbuhan depannya, kita sudah mendapatkan kata benda yang berbeda: “keakuan.” Keduanya menempel pada lema “diri” membentuk subjek kompleks jasmani rohani. Lalu kita menarik rujuk ke laku membuka diri kepada sesuatu di dalam maupun luar “aku.” Sang “aku” adalah narator yang tidak dapat kita interupsi kehendaknya untuk menceritakan diri, berbagi kesunyian dan keriuhan dalam kepala, juga desir darah, syaraf, dan syahwatnya. Akan tetapi, ada sesuatu yang lebih halus dan ringkih dari cara Mishima melantunkan proses pengakuan ini. Mishima bertalu dengan esensi “kokuhaku” (告白): sebuah pengakuan cinta, sejenis pernyataan suka dan segala perasaan menggebu pada yang lain. Ada subjek di luar diri yang memungkinkan pengakuan ini. Hasrat mengaku timbul bukan sepenuhnya dari dalam, namun dari relasi romantis dan erotis bersama figur tubuh yang berhasil memikat indrawi. Estetika maskulin mewujud pada gelombang gelora, melebur, memadat, mencair kembali bersama pencobaan, pencarian gairah hidup.
Sepanjang novel, Mishima menciptakan suara seorang narator–Kochan–yang berkontradiksi dan melawan dirinya sendiri. Suara itu ia keruk dan olah dari dalam pengalamannya tumbuh besar pada dunia yang mengglorifikasi superioritas jasmani: tubuh-tubuh mampu yang dipaksa dan rela untuk bekerja dan berperang dalam skala raksasa. Tubuh industrial, tubuh imperial. Memori sensorial aroma tentara menyeruak sebagai ingatan pertama dan kontemplasi nanti soal kematian prajurit:
The soldiers’ odor of sweat—that odor like a sea breeze, like the air, burned to gold, above the seashore—struck my nostrils and intoxicated me. […] it did gradually and tenaciously arouse within me a sensuous craving for such things as the destiny of soldiers, the tragic nature of their calling, the distant countries they would see, the ways they would die. . . .
Tubuh “aku” ringkih, terdomestifikasi dan dimanja oleh keluarga kelas menengah, terkondisikan oleh penyakit pernah anemia juga tuberkolusis. Ia terisolasi dari dunia maskulinitas militer tumpah ruah, dan terus mendambakannya. Laki-laki dan maskulinitas adalah hasratnya. Hidup di dalam dan teralienasi oleh fasisme, ia mendambakan kegairahan ragawi. Keagungan lekuk Santo Sebastian yang mati terpanah layak martir sorgawi mendengung sepanjang masa pubernya.
I was being tempted, not by the desire for possession, but simply by unadorned temptation itself.
Tubuh Kochan bereaksi merespon idealisme keindahan fisik dan bahasa yang muncul bersama dengan seni lukis dan sastra. Namun, ia tidak selalu mengamini dan meromantisasi hasratnya; perasaan-perasaan ganjil terus bermunculan. Ia tidak selalu nyaman dengan keberadaannya dan kerap mengoreksi dirinya sendiri. Tidakkah ia menyukai laki-laki? Tidakkah ia menyukai perempuan? Perhatian badaniahnya terhadap Omi dan sudut raganya bertarung dengan keintimannya dengan Sonoko. Pada Omi adalah dukana dan hawa nafsu untuk hidup, pada Sonoko adalah kenyamanan sehari-hari yang tak pernah bisa ia identifikasi sebagai birahi seksual.
Mungkinkah cinta tanpa syahwat? Kochan sang narator terus-menerus bertanya, termasuk soal kesadarannya sendiri: apakah ia berpikir terlalu banyak soal apa yang ia inginkan, apa yang ia dambakan?
The vague uneasiness surrounding my sexual feelings had practically made the carnal world an obsession with me. My curiosity was actually purely intellectual, not far removed from the desire for knowledge, but I became skillful at convincing myself that it was carnal desire incarnate.
Ia ingin mati layaknya prajurit. Ia tidak memenuhi syarat menjadi prajurit. Ia berbohong—ia tidak ingin mati menjadi prajurit. Ia ingin hidup. Ia ingin mati dalam kehampaan. Ia ingin merasakan kegairahan. Ia berharap ada kekuatan lain di luar sana yang akan membunuh dirinya. Sepanjang novel, sang “aku” bergeliat dalam kesadarannya yang terus menerus ia kontraskan dengan bentuk kesadaran lain pada dirinya. Birahi “abnormal”-nya ia pertarungkan dengan absurditas dunia: pernikahan di tengah kematian perang, hal-hal banal kehidupan sehari-hari di tengah suara sirene udara terus-menerus. Kemunafikan dunia: fasisme dan perang yang mengglorifikasi kematian, membatasi imajinasi mereka yang masih hidup.
Saya membaca novel ini berdasar pengetahuan umum soal perjalanan politik dan akhir hidup Mishima: konservatisme tradisional, gerak batin militeristis, teater seppuku—estetika sayap kanan yang menarik perhatian banyak pembaca dan pengamat kontemporer. Confession of a Mask, pada satu lapisan, adalah narasi kesadaran homoerotis, sejenis sexual coming-of-age yang bersandar pada ingatan masa kecil menuju dewasa dan dikisahkan secara kronologis oleh narator otobiografis yang berusaha memahami sekaligus menekan dan menyembunyikan hasratnya. Lapisan berikutnya adalah disorientasi politik. Kedambaan untuk melihat dan bersama dengan laki-laki menggugah sanubari keprajuritan. Kegundahan seksualitas tidak dapat lepas dari perang imperialisme dan krisis eksistensial pasca kekalahan perang.
Novel ini adalah pergulatan mula Mishima dengan zamannya. Ditulis pada tahun 1949 ketika ia berumur 24 tahun, Confessions of a Mask bukanlah sebuah deklarasi manifesto seperti Patriotism (1961) yang menjadi salah satu kristalisasi laku dan pemikiran Mishima sebagai laki-laki estetik pemuja kaisar dan militer. Namun, kita melihat jejak-jejak idealismenya soal kejantanan, tubuh maskulin, dan keperkasaan perwira. Sonoko—figur feminin jelita—hadir menjadi anti-tesis gairah dan intelektualisme jantan ini. Ia memungkinkan kehidupan sehari-hari di tengah perang tetap berjalan. Ia memberikan ruang bagi gairah tak tersampaikan. Masturbasi tidak pernah soal objektifikasi tubuh perempuan, namun berdinamika dalam kehampaan badaniah homoerotis dan kepenuhan afeksi feminin. Pada ambang kesadaran:
It was a feeling like that felt at the borderline between sleeping and walking, when one’s impatient efforts to go back to sleep without awakening from a happy dream only make the recapture of the dream all the more impossible. I discovered how our hearts, as though infected with some malignant virus, were being eaten away by the uneasy awakening that was brazenly intruding upon our dream, by the futile pleasure of our dream seen at the threshold of consciousness.
Perang menghancurkan nyawa dan kehalusan jiwa. Frustrasi seksual menghimpit raga. Politik bukanlah perjuangan kelas, tidak juga seksualitas; pada Mishima, politik adalah perjuangan kenikmatan estetik pada imajinasinya yang liar. Kita memuja novel ini (jika kita memujanya) bukan karena kebajikan maupun kejernihan politik Mishima, tetapi karena ambiguitasnya. Kekerasan terbalut dalam pemujaan simbol dan tanda-tanda keindahan. Sang topeng itu, dalam pengakuannya, terus hidup dalam sandiwara yang ia mainkan setengah hati dalam kontradiksi.
