Menepi

Boulder karya Eva Baltasar (tr. Julia Sanches) bercerita tentang konflik batin seorang perempuan yang awalnya bekerja sebagai tukang masak kapal, sebelum kemudian bertemu dengan seorang perempuan bernama Samsa dan memutuskan untuk menetap di Islandia. Tidak ada yang terlalu rumit dan panjang dari novel pendek ini, termasuk konflik rumah tangga yang cukup tipikal: sejauh mana seseorang betah dengan rutinitas domestik?

Sang narator, yang pembaca tahu sebagai Boulder, merasa kehidupan domestik yang stabil dan repetitif bersama Samsa bukan untuknya.

Despite the hours, the low wages, and the repetitive work, I feel good. My bosses at the Chinese restaurant don’t take notice of me. To them I’m just a fellow work-denizen, a machine that sucks up stuff that’s dirty and makes it clean and dry in a set amount of time. The demanding rhythm isolates me from my colleagues, myself, my past and all my deep-seated memories. From everything.

Konflik terjadi di tengah kondisi kehamilan Samsa. Susana dingin di rumah dan seks yang menyedihkan akhirnya membuat mereka berpisah dan terus bernegosiasi dengan jadwal asuh anak merea.

Secara keseluruhan, cerita di novel ini memang sangat kilat. Baltasar tidak mengulur cerita cinta-cintaan Boulder dan Samsa. Ia justru dengan segera menciptakan nuansa dingin dengan monolog Boulder yang tidak puas dengan kehidupannya, meskipun ia terus berusaha menyenangkan Samsa. Rasa-rasanya kita pembaca tidak diberi kesempatan untuk menyayangkan mereka sebagai sebuah pasangan lesbian. Kita tidak diberi waktu untuk merayakan cinta mereka. Namun, Baltasar mampu menyeret monolog Boulder dengan sangat lambat melalui tempo kalimat dan figurasi Samsa dari perspektif Boulder. Pada level kalimat, saya seperti menyaksikan adegan seseorang jatuh dari pohon melalui fitur slow motion. Ada rasa nyeri.

Everything around me looks calm, and yet there are no open passages. I am under the thumb of a live, proliferating force that prevents me from leaving and threatens to sever my body, which wants to escape, from my head, which was made to stay.

Di saat yang bersamaan, novel ini juga membuat saya menimbang lagi tentang proses menjadi ibu, baik itu bagi Samsa dan Boulder, dan bagaimana caranya menjadi keluarga.

The love she feels for Tinna is both loose and binding; she lives it as if it were prewritten and obeys it as if it were the stuff of legend. To me it’s more like a parasite that has usurped her and now rides her in victory. I wonder where it is mothers go, once they stop following the rules.

Hingga akhir cerita, tidak ada yang sepenuhnya meyakinkan. Apakah Boulder menikmati kebebasannya sekali lagi, atau apakah kesedihannya terlunta-lunta, toh ia memilih menarik diri dari “keluarga”nya? Benarkah Tinna, anak mereka, akan jadi pelayaran terakhirnya?

A future just within reach.

Leave a comment