Membicarakan Seni Rupa

Saya membaca kumpulan esai seni Chabib Duta Hapsari ini karena penasaran dan tidak banyak tahu tentang medan pembicaraan seni rupa, meskipun saya memiliki antusiasme terhadap kerja seni rupa (tapi saya makin yakin lukisan bukanlah obsesi saya; saya lebih suka ilustrasi dan sketsa). Judul bukunya mengambil dari salah satu esai Chabib, Alam Terkembang Hilang Berganti yang membaurkan gaya menulis catatan perjalanan dengan kajian seni lukis “mooi Indie.” Esai ini diletakkan di tengah buku sebagai nukleus buku, didahului dengan lima esai, lalu dilanjutkan dengan tujuh esai. (Struktur ini agak tipikal dan kurang menarik sebenarnya hehehe.)

Kesan pertama saya sebenarnya cuma satu, wah tulisannya rapih dan asik dibaca. Saya berkomentar seperti itu karena beberapa bulan sebelumnya, entah kapan tepatnya, saya pernah marah-marah kecil di instastory tentang betapa membosankannya tulisan-tulisan esai dalam Bahasa Indonesia. Ya, bukan berarti tidak ada yang saya suka. Saya suka esai-esai Anindita S. Thayf di koran tentang buku dan sastra yang dulu seringa ia bagikan di Facebook. Seri blog Eka Kurniawan ketika dia aktif menulis esai pendek tentang buku yang ia baca juga enak dibaca dan menginspirasi saya juga buat nulis blog tentang buku (walaupun esai berbau politiknya agak meh). Esai-esai Bahasa Indonesia sahabat saya sendiri, Perdana Roswaldy, juga punya struktur, alur, dan gaya yang saya kuat. Saya juga cukup menikmati esai pop-culture-nya Budi Warsito, dan kisah slice-of-life Teddy Kusuma dan Maesy Ang di The Dusty Sneakers. Kumpulan esai personal I Am My Own and Other Essays karya Isyana Artharini juga asik banget (meskipun mungkin agak kurang pas dibandingkan dengan yang lain, karena buku ini ditulis dalam Bahasa Inggris). Intinya, marah-marah kecil itu sebenarnya sedikit frustrasi karena saya ingin sekali membaca lebih banyak esai yang bukan model reportase atau tumpah-tumpah ego/narsisme sastrabro.

Nah, Alam Terkembang Hilang Berganti ini buat saya lumayan asik dibaca karena Chabib memosisikan dirinya sebagai seorang pengamat dekat yang sedang bercerita tentang teman-teman senimannya, mayoritas laki-laki, yang memiliki tingkah laku artistik dan personal cukup menarik. Sepertin mendengar celetukan orang lagi nongkrong, “Eh masak ya gue punya temen nih terus dia XYZABC.” Di tulisan berjudul “Tata Alam dan Benda di Bawah Rezim Tatapan,” misalnya, Chabib bercerita tentang Nasrul dan praktik fotografinya dengan cara yang formal (ada analisis serius terhadap cara dan laku menatap) sekaligus kasual (kutipan perbincangan dengan Nasrul). Praktik fotografi mencuat dalam relasi pertemanan dan kegelisahan sehari-hari tentang berkarya.

Lucunya, esai utama Chabib yang menjadi judul buku ini tidak seseru yang lain. Mungkin karena saya selalu punya kecurigaan tentang kisah perjalanan sebagai alat bantu membahas seni atau kehidupan secara umum. Meskipun betul ada kemelekatan antara lukisan alam pemandangan, sisa-sisa tatapan kolonial, dan posisi tubuh pascakolonial pelukis (Wakidi) dan pengamat lukisan (Chabib), saya bertanya-tanya, sejauh mana catatan perjalanan mampu menghentak permasalahan artistik yang berangkat dari pertanyaan ekologis dan logika ekstraktif? Mungkin Chabib tidak hendak mengarahkan esai itu menuju ke arah sana, namun saya hampir yakin Chabib punya perhatian akut tentang itu.

Sampul buku berwarna pink ini juga menarik perhatian saya. Di sampul depan, Deborah Tasia Sugiyanti, menggambar sebuah sudut ruang pameran dengan garis tiga dimensi. Di tembok ruang itu ada lukisan alam, dan di sebelah kanan gambar ada sebuah sofa yang menempel pada tembok. Tidak ada objek dan subjek lain selain lukisan dan sofa di ruangan itu. Sedangkan, di sampul belakang adalah kolase karya Feransis yang memadukan gambar alam pantai dan gunung dengan riuh orang berkegiatan. Alam hadir secara visual sebagai tema, objek pertunjukan, tapi juga sebagai sebuah ruang sosial.

Ya, mungkin itulah seni rupa dalam buku ini: tema, objek, ruang.

Leave a comment