dari meja pembaca

Tahun ini hampir selesai, dan saya ingin merangkum beberapa buku yang saya baca setahun ini. Rangkuman ini sama pentingnya seperti usaha melanjutkan tidur siang yang terpotong. Dan sama tidak pentingnya seperti empat jam tidur siang yang membuat sakit kepala. Berterimakasihlah pada suara adzan maghrib yang akhirnya membangunkan dan mengingatkan untuk berdoa. Namanya juga rangkuman, jadi tidak semua buku saya tulis. Kalau mau lihat daftar semua bukunya bisa cek page ini.Tanpa bermuram gembira lebih jauh lagi, saya mulai saja. 

Saya membuka tahun ini dengan kumpulan cerita pendek Toni Cade Bambara, Gorilla, My Love dan saya merasa beruntung memiliki peluang membaca sensibilitasnya yang cerdik dan cerdas. Bambara menciptakan dinamika hubungan antar karakter-karakternya, juga bayang-bayang di setiap latar belakang cerita sebagai percakapan tentang misi sastra Afrika-Amerika. Realisme, sebagai sebuah genre, menyimpan kebohongan beralasan milik penulisnya. Lalu, saya juga bertemu dengan kumcer Haifa Zangana, Packaged Lives, yang diterjemahkan oleh Wen-Chin Ouyang. Cerita-cerita Zangana terkonsep dalam karakter dan tindak tanduk anak, ibu, perempuan, suami, bapak yang hidup dalam reruntuhan dan kebangkitan jam-jam kota. Beberapa sendok makan ironi sehari-hari cukuplah untuk hati yang patah dan berduka. Pada ketika saya memulai membaca puisi dan prosa Dionne Brand, saya tidak dapat berhenti. Karyanya mencabik sejarah. Saya juga mencoba tagar #JanuaryinJapan tapi saya tidak terlalu menikmatinya. Dua judul yang melekat buat saya adalah kumcer Akiyuki Nosaka, The Cake Tree in Ruins terjemahan Ginny Tapley Takamori; dan novel Natsuko Imamura, The Woman in the Purple Skirt yang diterjemahkan oleh Lucy North. Nosaka mengalami dan menyaksikan salah satu tragedi manusia modern terbesar dan ia tahu bagaimana cara mengarungi, mengitari, dan melampauinya. Sedangkan novel Imamura membuat saya kedinginan. Batin saya sedikit meriang setelah membacanya.

Saya kembali ke rumah di bulan Februari dan akhirnya membaca kumcer Norman Erikson Pasaribu, Cerita-Cerita Bahagia Hampir Seluruhnya yang membuat saya bahagia sekaligus tidak juga, dan saya masih merenungi cara  Norman menjahit perasaan di dalam dan sekitar karakter-karakternya. Saya juga membaca dua judul manga yang apik sekali: Ikoku Nikki oleh Yamashita Tomoko dan Boys Run the Riot karya Keito Gaku yang diterjemahkan oleh Leo McDonagh. Ikoku Nikki bercerita tentang hubungan dinamis seorang anak perempuan dengan bibinya setelah mereka kehilangan seorang perempuan di keluarga mereka yang mengemban dua peran, ibu dan kakak. Sedangkan, Boys Run the Riot adalah kisah seorang transpria remaja menavigasikan dirinya di sekolah dan pergaulan queer metropolitan. Plot, dinamika karakter, dan gaya seni kedua manga ini membuat saya memikirkan keajaiban genre slice-of-life yang menunda asumsi kita tentang yang sehari-hari.

Kumpulan puisi/prosa Claudia Rankine, Citizen, menandai Maret. Ketajaman kata-katanya membesarkan antagonisme saya terhadap rasisme kulit putih. Cursed Bunny karya Bora Chung yang diterjemahkan oleh Anton Hur sungguh mendebarkan. Kumpulan cerpen itu menegangkan namun tak sepenuhnya mistis, sejenis gotik Allan Poe versi Korea. Kumcer lain yang juga meninggalkan jejak besar adalah Afterparties karya Anthony Vesna So. Tiap ceritanya melaju dalam tabrakan temporalitas. Ingatan tidak membebaskan; ia justru menangkap pemiliknya dalam sebuah penjara. Kalau kalian memutuskan untuk membaca kumcer ini, percayalah pada keberanian penulisnya dan kelincahan menulisnya.

April dan Mei, bulan-bulan rusuh. Saya hanya membaca buku puisi terbaru Ocean Vuong, Time is Mother. Selebrasi besar-besaran mengaburkan pandangan saya, jadi saya membacanya sepotong-potong. Di bulan Mei saya perlahan membaca buku puisi José Watanabe Natural History terjemahan Michelle Har Kim. Saya selalu membaca dalam posisi setengah sadar. (Kesadaran lainnya terhempas oleh persiapan-persiapan ujian). Lalu ada kata “formaldehyde” di tengah puisi.

Bernafas lega di awal Juni, lalu menyambut novel Dana Spiotta dengan semangat musim panas awal. Stone Arabia adalah novel yang direkomendasikan Vesna So di salah satu wawancaranya. Cara mereka mendekati keluarga dan ingatan mirip meskipun lika liku dan latarnya jauh berbeda. Mereka berbagi cerita tentang gema dan gaung waktu yang dibunyikan lewat rekaman, entah itu yang menubuh maupun melekat pada objek. Lalu saya membaca Written on the Body karya Jeanette Winterson, dan impresi akhir yang saya tuliskan di memori adalah “what a pulpy read”, apapun itu maksudnya. Bagian pertama novelnya menggelitik geli, lalu bagian keduanya sentimental, dan transisi dua bagian itu tidak cair juga tidak menghentak. Ada ganjalan janggal. Saya kemudian membaca All Lovers in the Night karya Mieko Kawakami terjemahan Sam Bett dan David Boyd. Novel ini tidak kaku seperti Heaven, tapi juga tidak sedinamis Breasts and Eggs. Suara karakternya tercekat mencoba mencari otentitas. Kawakami tidak sedang menciptakan isu lewat novel ini seperti dua novel lainnya; ia sedang mencari pertanyaan untuk dijawab.

Saya memasuki bulan Juli dengan manga, Blood on the Tracks oleh Shuzo Oshimi terjemahan Daniel Komen. Cerita besarnya adalah seputar hubungan rapuh antara ibu dan anak laki-lakinya, yang membuatmu bertanya-tanya soal apa itu kebergantungan dan kekerasan. Membacanya justru membuat saya memikirkan penelitian saya sendiri dan hal-hal seputar pengabaian dan asuhan maternal. Manga ini sebenarnya sangat sulit dan menganggu pikiran normatif tentang bagaimana seorang ibu seharusnya merawat anak. Presentasi horor tentang seorang ibu dan depresi pasca melahirkan yang tidak disampaikan dalam bahasa klinis dapat menguatkan dua hal yang jauh berbeda. Pertama, ia memadatkan nilai ideal dan moralitas tentang ibu dan keibuan. Kedua, ia justru membawa persoalan reproduksi dan kerja merawat dengan lebih serius dan sistemik. Sejauh saya membaca ulasan manga ini, poin pertama jauh lebih mudah ditemukan (bandingkan dengan percakapan novel Kawakami, Breasts and Eggs). A Strange Woman karya Leylâ Erbil terjemahan Amy Spangler & Nermin Menemencioğlu adalah novel yang kuat sekaligus sendu tentang gerakan sosial kekirian dan tegangan antar generasi. Novel ini menggambarkan politik abang-abangan kiri pada konteks Turki era 70-80an, juga konflik diam dan terbatinkan seorang ayah yang melihat politik dan gairah anak perempuannya sembari meratapi kawan lamanya yang dulu meninggal dibunuh dalam pergerakan. Satu adegan di novel ini yang menggambarkan distorsi politik/keluarga adalah ketika ayah-anak ini beradu mulut. Sang anak menuduh ayahnya mengkhianati jiwa pergerakan, dan sang ayah menyalahkan anak atas ketidakpahamannya melihat alasan di balik ia dulu bergerak dan berevolusi. Gerakan itu untuk apa, siapa, dan masa depan yang mana?

Kumpulan kolom Alejandro Zambra Not to Read yang diterjemahkan oleh Megan McDowell adalah favorit saya di bulan Agustus. Alasannya sederhana: esainya membicarakan buku-buku yang ia baca, dan perasaan iri muncul. (Apakah mungkin suatu hari nanti saya bisa menulis tentang buku saja tanpa harus menjadi penulis fiksi?) Lalu saya mengambil satu judul buku dari sekian banyak fiksi yang dibahas oleh Zambra: The Museum of Eterna’s Novel oleh Macedoni Fernandéz terjemahan Margaret Schwartz. Membaca novel meta itu membuat kepala saya mengembang seperti balon; lalu melayang terbang. Saya tidak yakin dapat memenuhi ekspektasi Fernandéz untuk menjadi pembaca yang nyeni dan artistik. Pun demikian, novel avant-garde memang menggoda. Saya juga membaca esai Namwali Serpell, Stranger Faces, dan melihat cara analisisnya yang seperti memutar dan berseri. Percakapannya dengan Anastasia Nikolis di LARB membuat saya paham lebih baik proses pikirnya.

Theresa Hak Kyung Cha’s Dictee adalah perpaduan kata dan gambar, laku imperialisme dan ketercerabutan atas ruang, kekerasan dan kehilangan. Tiap bagiannya melantunkan langkah meditasi yang terdengar seperti desakan, jika bukan sepenuhnya sebuah dikte/diktat. Ada bahasa yang lari dari lidah, tertangkap sebagian, kabur lagi, dan yang terdengar adalah bisik-bisik dari dalam menuju ke dalam. Mengklaim kembali suara setelah kematian bukan proyek yang sudah mati tapi yang masih hidup. Shifting the Silence karya Etel Adnan mengambil sebagian proyek itu. Menua, menunggu, tidak ada lagi ramalan tentang masa depan. Kata-kata tidak lagi menjadi ahli nujum, ia berubah menjadi juru kunci. Monica Huerta dan Magical Habits-nya adalah keajaiban menulis sejarah keluarga. Dari restoran keluarga Meksiko di Chicago, kepadatan hidup hadir dalam lapisan-lapisan kebiasaan sehari-hari yang ditanam, dijaga, dan dirawat. Arsip yang intim tidak melulu romantis dan nostalgik–malah dalam familiaritas, ada ketegangan yang membutuhkan kontekstualisasi ulang.

Nomenclature oleh Dionne Brand adalah sebuah koleksi. Dibuka dengan puisi baru tentang yang lama dan berakar, dan dilanjutkan dengan perjalanan panjang Brand selama tiga dekade merangkai puisi: ritme langkahnya maju dan mundur, juga gerak geliatnya sebagai pujangga dan aktivis dalam politik menamai dan menamakan ulang. Di bulan Oktober ini, saya juga menyelesaikan buku W. G. Sebald, Vertigo dengan tertatih-tatih karena, meskipun saya cukup percaya diri dengan kemampuan Bahasa Inggris saya, buku itu bukan fiksi yang mudah. Tata bahasanya sangat tebal, padat, dan kompleks; dan imaji yang diciptakan Sebald, yang lalu disandingkan dengan foto atau gambar visual, meruntuhkan orientasi linear tentang apa itu narasi dan deskripsi. Vertigo.

November. Cocoon oleh Zhang Yueran terjemahan Jeremy Tiang adalah narasi tentang bekas luka Revolusi Kebudayaan China yang tersembul pada tekstur hidup sehari-hari: seorang patriark yang menua dan anak perempuan yang ingin melepas sisa kejayaan ayahnya. Saya kembali membuku The Book of Disquiet karya Fernando Pessoa (Jerónimo Pizzaro, editor; Margaret Jull Costa, penerjemah). Pertama kali saya memulai buku ini di awal pandemi. Tapi aphorism nihilis Pessoa dan struktur bukunya membuat saya menutupnya segera mungkin. Waktu itu saya belum siap. Dan ketika membukanya lagi dalam kondisi yang tidak terlalu katarsis, saya ikut tertawa bersama gimmick ironisnya. Aphorism Pessoa memang tidak cocok dialih-bahasakan sebagai “kata-kata mutiara”. Setelah Pessoa, saya juga baru sadar kalau tahun ini ada buku Natalia Ginzburg yang belum saya selesaikan: The Little Virtues terjemahan Dick Davis. Buku ini adalah kumpulan esainya tentang membaca, menjadi penulis dan ibu, dan segala kebajikan-kebajikan kecil yang hadir dalam perjalanan hidupnya dari tahun 1942 sampai 1962. Membaca buku ini seperti mendengarkan kisah bijak tetua tentang kota, pertemanan, sastra, pendidikan, termasuk kecemasan dan otoritasnya sebagai penulis.

Tough Enough oleh Deborah Nelson membantu saya meneguhkan pilihan analitis saya soal menulis sejarah pemikiran. Saya melihat cara Nelson menulis tentang proposisi, tawaran teoretis, dan langkah estetis para protagonisnya, yaitu Simone Weil, Hannah Arendt, Mary McCarthy, Susan Sontag, Diane Arbus, dan Joan Didion; dan ada semangat tersendiri untuk menulis dalam kejelasan dan ketenangan. Saya hendak mengakhiri tahun ini dengan membaca ulang Alberto Manguel, A History of Reading dan memikirkan kembali kesenangan juga kefrustrasian membaca. Hari-hari berdiam diri tanpa mengeluarkan banyak kata-kata membuka satu pintu menuju dunia yang lain dan secara bersamaan, menutup satu pintu lain menuju diri. Satu kedirian ditanggalkan, jika bukan sepenuhnya ditinggalkan. Maka, jika membaca masih memiliki kekuatan, betapapun sedikitnya itu, betapapun hanya sisa dan residu, saya ingin terus menggantungkan diri pada kerja itu. Nafas seorang pembaca tak lebih pendek maupun lebih panjang dari nafas buku dan penulisnya. Mereka hidup bersama mengarung dalam sejarah, sesekali sekarat hampir mati, lalu bergeliat lagi menelusur ruang waktu.

Kalau ada tahun depan, temui saya di meja pembaca.

Leave a comment