Pada Dada

Pada satu waktu, kamu berkata pada ibumu, “Aku tidak pakai beha lagi.” Ibumu tidak bertanya kenapa. Ia hanya melihatmu menunjuk binder yang kamu beli sendiri untuk menutupi dadamu yang besar. Dada yang tampak menyembul dan mengundang komentar orang asing di jalan, “Anjir toketnya gede banget.” Dada yang membuatmu menangis di tengah jalan karena mata yang melihat, tangan yang mencoba meraih. Ibumu tidak bertanya kenapa kamu tidak memakai beha lagi. Ia mengambil tas belanja, dan mengajakmu pergi ke pasar, “Ambil baju kesukaanmu, cari ukuran besar.”

Dulu kamu tidak terlalu peduli. Kamu tidak pernah merasa dadamu sebesar itu. Kamu tidak peduli dengan dadamu. Sampai kamu melihat teman-teman perempuanmu bergelak tawa memegang dada satu sama lain di ruang ganti baju. Salah satu dari mereka memegangmu. Kamu memukul tangan mereka kecil dengan wajah gusar. Mereka berhenti tertawa. Dan kamu meninggalkan ruangan itu.

“Jangan dekat-dekat M. Dia naksir cewek.” Suara-suara itu bukan soal kamu. Tetapi soal teman sekelasmu yang berambut sangat pendek dan anggota tim basket. Beberapa orang menghindarinya. Kamu diam. Kamu diam-diam menyukai M. Di lapangan basket, dia bersinar. Tapi kamu takut. “Hei, katanya M suka kamu ya?” kata teman sebangkuku. Tanganmu dingin. Panik. Kamu ketakutan dan hanya menjawab, “Eh iya gitu? Hih, geli ah.” Dan kamu melihat wajah M. Dia melihatmu sedih. Malam itu, kamu menangis sendirian di kamar. Dadamu sakit.

Pacarmu tidak pernah suka padamu. Dia hanya menyukai dirinya sendiri. “Coba kamu pakai baju feminin sedikit,” katanya suatu hari sepulang dari gereja. Kamu bilang kamu nyaman dengan bajumu sekarang. Tapi dia tidak pernah peduli. Dia menarikmu ke mall dan memaksamu membeli baju-baju itu, “biar terlihat seperti cewek.” Kamu ingin menangis dan berteriak saat itu juga. Di tengah semua orang. Tapi kamu menahan diri. Dia tidak segan-segan memukulmu kalau kamu mengeluarkan semua emosimu. Kamu merasa sangat kesepian. Dadamu sesak.

Dan kamu terus menerus bertanya tanpa henti mengapa kamu harus selalu memilih antara yang feminin dan maskulin. “Jangan kelaki-lakian ah.” “Ih kamu cewek banget sih.” “Lanangan.” “Wedokan.” “Kurang-kurangin.” Yang mana? Yang kelakian atau keperempuan? Lalu kamu ingin menjadi laki-laki. Lalu kamu ingin menjadi perempuan. Apa yang harus kamu lakukan dengan dadamu? Mengapa mereka menamakan payudara, buah dada? Terkadang kamu ingin jadi tanah saja. Tiarap. Agar tidak perlu dikatakan bulat, ranum, manis. Kamu menekan, dan menekan terus dadamu, tapi ia tetap di situ, menggelantung. Kamu ingin melepaskannya. Kamu tak punya cukup banyak uang untuk itu. Kamu hanya bisa terus mengikat dan mengikat. Sesekali membiarkannya agar tulang dan parumu masih bernafas.

Lalu kamu membayangkan mereka. Orang-orang yang sangat kamu suka. Kamu mencintai kelakianmu. Pun sayang pada keperempuananmu. Meskipun bukan dadamu. Lalu kamu membayangkan kehidupan lain tempat kalian bisa berbahagia. Sebagai perempuan. Sebagai laki-laki. Sebagai keduanya. Sebagai bunga. Rumput. Tanah. Pohon. Buah. Sebagai kamu.

Leave a comment