Di postingan ini, saya ingin berbagi satu bagian dari makalah riset saya tahun lalu yang mencoba melihat bagaimana para intelektual Minahasa, Jawa, dan Tionghoa di dekade 1920-30an secara serentak berpikir tentang “pembangunan” dan “kemajuan.” Historiografi sejarah pemikiran Indonesia abad duapuluh seringkali berkutat dengan kategori dan analisis mengenai “tradisi” dan “modernitas”: apakah transisi dari yang tradisional menuju ke yang modern? Atau, apakah para intelektual itu kembali pada yang tradisional namun dalam bentuk yang modern? Atau, apakah ini “tradisi modernitas”? Pembahasan ini sangat marak dan telah membuka berbagai pemahaman yang sesungguhnya menantang teori modernisasi sebagai laju linear kemajuan ala Barat di mana dikotomi tradisi/modernitas terjadi karena adanya retakan ekonomi dan budaya yang dimungkinkan oleh teknologi dan kapitalisme. Dalam konteks sejarah Indonesia, pembahasan ini diwarnai oleh percakapan mengenai “aliran” para intelektual atau aktivis dalam menjalankan proyek modernisasinya. Sebagian berpikir dan bergerak melalui ajaran Islam; sebagian lagi, sekularisme liberal; yang lain mengembangkan Marxisme; dan para perempuan pun terlibat dalam perkembangan feminisme global.
Corak aliran dalam penulisan sejarah modernisasi Indonesia ini cukup dominan. Dan saya sepakat dengan argumen Sony Karsono dalam disertasinya bahwa kita memerlukan analisis sejarah yang melihat keragaman bukan sebagai tendensi perbedaan tetapi justru sebagai keserentakan; bahwa para intelektual menjalani dan memiliki ide dan proses pikir yang serupa yaitu “menjadi modern” melalui cara-cara yang terkondisikan oleh konteks kehidupan sehari-hari mereka. Argumen ini penting bagi saya yang tidak terlalu sepakat dengan istilah “modernitas alternatif” sebagai antitesis umum terhadap modernitas Eropa Barat. Alasan utamanya, yang mana adalah hasil pembacaan historiografi Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara: kategori “alternatif” seringkali didasarkan pada asumsi soal posisi subversif dari tabrakan budaya yang dimenangkan oleh Barat. Dan penelitian Sony Karsono mendukung kecurigaan saya: “Bagaimana jika, melalui pembacaan lebih dekat, para penyokong dan pendorong modernitas Indonesia ini–entah mereka komunis, Islamis, sosial-demokrat, atau sinkretis–mengatakan dan merengkuh hal mendasar yang sama? […] Jika mengesampingkan ideologi, bagaimana jika pada tingkat yang lebih mendalam, gagasan para intelektual mengenai modernitas Indonesia adalah gagasan pragamatis umum ala era Viktoria? Sebagai contoh, tidakkah signifikan bahwa meskipun ada orientasi ideologis yang berbeda, kelompok kelas menengah di Surabaya pada tahun 1920-an meyakini bahwa hidup yang teratur, ada makanan di waktu yang sama setiap hari, anak-anak punya waktu tidur dan pergi sekolah di waktu yang telah ditentukan adalah [menjadi] modern?” (177).
Pertanyaan Sony Karsono membuat saya berpikir keras tentang bagaimana kehidupan sehari-hari merupakan bagian dan proyeksi gerak historis menjadi “modern” ini. Dan dalam proses memikirkan pertanyaan beliau, saya justru perlahan menanggalkan kategori modernitas sebagai tujuan utama. Bagi saya, “menjadi modern” tidak lagi terlihat sebagai proses menuju modernitas namun sebagai alat pikir atau analisis para intelektual untuk memahami dan bergulat dengan kondisi dan lingkungan mereka. Maka, hasil dari proses ini bukanlah “modernitas” itu sendiri (atau dengan eufemisme lain, “tradisi modernis”) tetapi proses perhitungan tak henti-henti terhadap yang sehari-hari itu. Saya sempat berpikir apakah gagasan saya soal proses historis ini terlalu banal, seperti mengiyakan pepatah Pengkhotbah “dari tanah akan kembali menjadi tanah” dan hanya menggantinya saja dengan “dari yang sehari-hari akan kembali menjadi yang sehari-hari” (from the everyday to the everyday). Apakah ini “too obvious”? Saya tidak tahu pasti. Yang saya pahami sekarang kebanalan ini justru membuka ruang besar khususnya bagi kerja para sejarawan pemikiran untuk mundur satu langkah, melihat “gagasan dari yang sehari-hari” (ideas from the everyday), dan meragukan kembali kategori “pemikiran” (thought) dan “kerja intelektual”, termasuk siapa yang mendapat privilese untuk disebut sebagai “pemikir”.
Maka, tulisan saya (dan mungkin proyek disertasi yang panjang ini) sesungguhnya adalah usaha menguji sejauh mana sejarawan dapat menjadikan “kehidupan sehari-hari” bukan semata-mata sebagai obyek penelitian sejarah tetapi juga sebagai metode penulisan sejarah. Buku Rudolf Mrazék, Engineers of Happy Land dan A Certain Age adalah panduan saya, karena samapai saat ini saya belum menemukan sejarawan Indonesia yang bentuk formal dan gaya penulisannya seperti beliau. Saya paham tidak semua sejarawan harus menulis sesukar dan “semenyebalkan” itu. Tetapi kedua buku itu menawarkan metodologi pembacaan dan penulisan yang saya pikir berguna untuk melihat gerak sejarah sebagai nebula kesadaran dan pengalaman material, ketubuhan, rasa, nalar, dan batin. Dan dari sinilah saya mulai menulis pemikiran intelektual Indonesia sebagai geliat gelisah mereka dalam memahami dan menjalani hidup sehari-hari. (Ucapan klise “berangkat dari kegelisahan” ternyata bisa berguna sebagai alat berpikir hahaha). Hasil akhir makalahnya sendiri tidak terlalu memuaskan buat saya karena keterbatasan riset di tengah pandemi dan keahlian menulis yang belum mumpuni. Namun jika penelitian adalah kerja untuk memahami alih-alih sekedar memproduksi, saya menganggap makalah itu sebagai usaha mengembangkan cara memahami dan menulis sejarah.
Makalahnya sendiri terdiri dari tiga bagian masing-masing bercerita tentang sekolompok orang yang melakukan kerja-kerja intelektual dan emosional memikirkan bentuk masyarakat dan organisasi sosial yang mereka idamkan ketika sedang menavigasikan diri di bawah rezim kolonialisme dan ketegangan rasial, sosio-ekonomi, dan gender. Di tulisan ini, saya berbagi bagian kedua makalah saya, yaitu tentang Ki Hajar dan Nyi Hajar Dewantara. Keputusan ini bukan karena saya ingin mengutamakan intelektual Jawa tetapi karena saya ingin sedikit berpartisipasi dalam perbincangan seabad Taman Siswa, meskipun Taman Siswa tentu saja bukan hanya soal keluarga Dewantara. Bagian makalah ini meracik sumber-sumber sekunder, termasuk dua biografi yang ditulis oleh Bambang Sokawati Dewantara, dan sumber-sumber primer, yaitu tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara (yang kerja digitalisasinya dilakukan oleh Berto Tukan). Saya perlu mengingatkan bahwa kerja penulisan sejarah adalah kerja menyeleksi, menyortir, dan merajut fragmen. Saya tidak mendaku tulisan ini sebagai narasi komprehensif dan komplit tentang Dewantara, juga tidak sedang meromantisasi kedua figur ini. Kembali pada tujuan awal saya, tulisan ini soal metode menulis sejarah pemikiran. Jadi, kalau mau memberi masukan dan kritik, silahkan ditujukan pada poin itu. Tabik.
Post-edit: Saya menghapus tulisan makalah ini untuk kepentingan penulisan disertasi S3.
