Ceritanya Lagi Bosan

Menyelesaikan tahun ketiga dengan hasil yang tidak buruk ternyata cukup melegakan. Tidak buruk di sini terdengar ambigu ya? Hehehe. Maksud saya, di tahun ketiga kemarin saya berhasil menyelesaikan ujian, sidang proposal, dan mendapatkan dana riset tambahan tetapi di saat yang sama juga mendapat berbagai penolakan dan hambatan fisik yang cukup mengganggu (halo covid, migrain, dan vertigo). Namanya juga hidup di tengah pandemi dan bencana, sekaligus terus bertambah usia, maka segala rasa senang dan kecewa ya dijalani seadanya kecuali soal manga dan anime.

Saya ingin mencatat hari-hari kerja riset ke depan yang sebenarnya akan sangat repetitif. Membaca. Duduk. Berpikir. Berdiri sebentar sambil makan es krim boba. Duduk lagi. Menulis. Membaca. Berhenti sebentar. Membantu Bram memasak. Makan. Duduk lagi. Mengantuk sedikit. Tidur siang sebentar. Bangun. Berpikir lagi. Membaca. Menulis. Berdiri. Ambil air minum. Duduk kembali. Menulis. Membaca. Begitu seterusnya. Percayalah, saya tidak sedang mengeluh. Saya hanya sedang mencoba mengingatkan diri saya bahwa kerja penelitian memang lebih banyak sisi “membosankannya”. Tidak semua sumber sejarah yang saya baca menarik. Tidak semua tulisan menggugah. Bagi saya yang menyukai kerja ini, apalagi dengan topik penelitian saya soal kehidupan sehari-hari, memang ada kegairahan tersendiri ketika melewati jam-jam suntuk itu. Tapi kalau memang bosan dan jenuh, ya bosan saja. Dan sebenarnya, kerja membaca dan menulis ini membantu saya berpikir soal bagaimana rutinitas dipahami. Bagaimana bisa sesuatu yang sangat praktis dan tidak selalu hadir dalam kesadaran intelektual ini kemudian menjadi abstraksi dan menarik perhatian para pemikir, seniman, juga sejarawan (ehem saya salah satunya)?

Tidak. Saya tidak sedang ingin membacot soal sejarah teori kehidupan sehari-hari sebagai salah satu produk dari geliat dan gelagat para modernis. Saya cuma mau kembali melihat keriuhan dan keheningan ketika sedang membaca, mendengarkan, dan juga menulis sejarah yang mana irama kerjanya sesekali teratur dan sering kali semrawut. Tapi sebelum bercerita tentang hari ini, mari mundur sedikit ke bulan Juni 2019.

Uhuk!

Setelah saya membereskan program pra-doktoral di tengah tahun 2019, saya berdiskusi dengan pembimbing saya tentang riset tahun pertama. “Coy [bukan nama sebenarnya], daku sepertinya ingin menulis tentang sejarah intelektuil slash kulturil krisis ekonomi tahun 1920/30an. Kepikirannya sih tentang periode setelah zaman bergeraknya Takashi Shiraishi yang mana buku dia berhenti pada tahun 1926.” Pembimbing saya menyepakati ide itu. Jadi, ketika kembali ke Indonesia, saya mulai mencoba mencari-cari sumber apa yang ingin dan perlu saya lihat.

Mulanya saya pikir saya akan bergeser ke sejarah sosial karena pembimbing saya dan mazhab departemen sejarah Northwestern demikianlah. Tetapi karena saya mulai berdamai dengan kenyataan bahwa saya tidak bisa dan tidak tahan belajar data kuantitatif atau mengumpulkannya (memang pantasnya membakar kredensial master studi pembangunan), saya memantapkan diri untuk mengkaji sejarah ide dan intelektuil. (Paling tidak, sub-genre ini sedikit banyak menangkap hasrat terpendam saya menjadi kritikus sastra dan seni lololol). Lalu, sumber apa yang kira-kira bisa digunakan? Saya mulai melihat memoir dan otobiografi para intelektual.

Pencarian tidak displin itu mempertemukan saya dengan Tjamboek Berdoeri, yang tentu saja saya baru mendengar namanya. (Ya namanya juga nggak pernah belajar dan baca buku sejarah wg). Saya segera memesan buku Indonesia Dalam Api dan Bara dan Menjadi Tjamboek Berdoeri, dan membaca habis dua buku itu selama sebulan. Dari situ, dimulailah penelitian saya yang baru, yaitu soal Kwee Thiam Tjing.

Penelitian tahun pertama saya itu sangat singkat: hanya kurang dari sembilan bulan diselingi aktivitas kelas dan seminar. Dan hari-hari saya selama musim gugur dan musim dingin di Evanston adalah meminjam lusinan mikrofilm via inter-library loan dan duduk di ruang baca selama berjam-jam memindai kolom-kolom dengan nama Tjamboek Berdoeri. Waktu yang sangat nyaman untuk bekerja tentu saja di bulan Desember-Januari ketika transisi musim dan sudah tidak ada kelas. Bram membantu saya memindai dan sesekali kami meringkuk kedinginan ketika pemanas ruangan sedang tidak pas suhunya. Bosan dan melelahkan. Maka, kami berusaha menghibur diri dengan membahas tulisan-tulisan lucu di koran itu.

Saya sudah mendengar puluhan cerita tentang kerja penelitian sejarah atau arsip. Dan saya selalu mengangguk, bersimpati, sembari mencatat apa yang harus saya lakukan dan tidak lakukan. Tetapi segala tips dan trik melakukan riset yang sangat membantu itu tidak selalu pas dengan kondisi dan moda saya berpikir dan bekerja. Teman saya, yang seorang Virgo, selalu punya catatan sistematis tentang teori dan penelitian etnografinya. Saya pernah mengikuti sarannya dan mencoba membuat sebuah sistem kerja yang agak rapi dan teratur hanya untuk membiarkannya begitu saja dan kembali ke kenyamanan saya bekerja secara acak dan melompat-lompat.

Sebagai swa-pembelaan, penelitian saya soal Kwee sebenarnya sedikit rapi karena saya membangun database sederhana di Zotero dan Excel agar tidak kehilangan arah. Tapi hal yang saya pelajari dalam praktik adalah: kerapian data memang membantu mengorganisir beberapa ide tetapi tidak menjamin kekuatan argumen historisnya. Draft pertama saya dibantai habis-habisan oleh pembimbing utama dan sekunder saya, karena bagi mereka permasalahan utamanya bukan di sumber dan data itu sendiri tetapi di cara saya membingkai argumen. Argumen saya ragu-ragu, mengambang, dan tidak jernih. Mereka meminta saya mundur satu langkah dan menganjurkan saya berpikir ulang alias bertanya “memang betul ini ya argumennya?” Maka sebagai manusia submisif wg, jadilah semua saran mereka saya serap dan saya gunakan untuk membetulkan draft itu.

Penelitian Kwee, paling tidak per bulan Juli 2020, berakhir dengan gembira (lumayan dapat apresiasi). Dan setelah itu, saya mendapat banyak masukan, kritik, dan pembetulan yang membantu saya berpikir keras tentang proyek disertasi saya yang topiknya terus berubah-ubah selama dua tahun terakhir. Proses berpikir ini termasuk momen penolakan saya terhadap tulisan tahun kedua saya. Saya bahkan berkata ke pembimbing saya, “Coy, daku nggak suka sama tulisan ini. Nggak jelas nulis apaan,” meskipun peserta dan pengampu workshop menulis musim semi 2021 memuji tulisan saya. Kata pembimbing, “Ya, gue bisa lihat lo nggak suka. Nggak papa. Namanya juga latihan. Sekarang lo tahu apa yang nggak mau lo lakukan.” Saya mengangguk. Memang saya beneran sudah tahu?

Kembali ke hari ini

Entahlah ya. Sesungguhnya ada kekhawatiran yang sangat tinggi karena kebiasaan buruk saya yang suka berubah pikiran dan kurang tekun memahami satu hal. Saya bisa menjawab dengan mudah bahwa penelitian saya adalah soal sejarah rawat-merawat, tetapi saya sendiri tidak tahu akan seperti apa bentuk akhirnya. Agak ambisius memang mengingat penelitiannya saja baru akan dimulai. Tetapi proses menulis dan merangkai narasi sejarah sepanjang disertasi tidak bisa menunggu hingga semua sumber terkumpul dan dibaca. Salah satu saran yang sering dilontarkan oleh sejarawan akademik adalah untuk memulai menulis sedini mungkin dan jangan menunggu di akhir tahun riset. Proses timbal-balik dan swa-revisi dalam praktik menulis di tengah membaca, membantu kita menuangkan ide-ide mentah yang sewaktu-waktu dapat dikunjungi dan diinterpretasi ulang.

Hari ini, saya menulis di catatan baca saya: “Tulisan Kartini memang se-emo ini ya?”

Leave a comment