Bibliografi Beranotasi: Sejarah Naratif

Ini adalah salah satu kelas yang menurut saya sangat menyenangkan. Diampu oleh sejarawan Amerika Serikat, Prof. Kevin Boyle, kami membaca narasi-narasi sejarah baik yang ditulis oleh sejarawan maupun jurnalis. Meskipun sebagian besar buku yang dibaca adalah sejarah AS, kami juga membaca beberapa buku sejarah wilayah lain. Di kelas ini kami mendiskusikan tentang bagaimana narasi membantu proses analitis sejarawan dan menantang genre tulisan-tulisan sejarah akadamik. Kelasnya seperti kelas workshop. Kami membedah buku untuk mengkaji proses bercerita: setting, karakter, plot, juga melihat pembentukan kalimat, struktur cerita, kecepatannya, dan lengkungan tema cerita. Dan kami menulis! Ada tiga writing workshop–tempat, karakter, peristiwa–dan tiap orang di kelas akan membaca satu sama lain dan memberi masukan. Saya senang sekali karena di workshop ini kami bisa bereksperimen soal tulis menulis. Dan kalau kata Prof. Boyle, “because the only way you really learn a craft is by getting your hands dirty.” Ya!


MENULIS TEMPAT

Donald Worster, Dust Bowl: The Southern Plains in the 1930s (New York: Oxford University Press, 1979).

Di pertengahan dekade 1930-an, wilayah Great Plains di Amerika Utara menghadapi salah satu bencana lingkungan akibat manusia terburuk yang disebut dust bowl (badai debu). Buku ini adalah buku sejarah klasik yang menceritakan satu dekade keterpurukan ekologis dan antropologis (1929-39) itu. Worster mengaitkan wilayah Great Plains dalam keterkaitannya dengan relasi tanah, eksploitasi industri peternakan, proses penggurunan, juga terkait dengan insitiatif-inisiatif kebijakan di level negara bagian dan federal. Kami menelaah bagaimana Worster memulai dan menyusun narasinya, termasuk bagaimana ia menekankan narasinya pada tanah.

Timothy Egan, The Worst Hard Times: The Untold Story of Those Who Survived the Great American Dust Bowl (Boston and New York: Houghton Mifflin Company, 2006)

Buku ini juga menceritakan tentang wilayah yang sama, namun ditulis orang seorang jurnalis dengan narasi lebih populer. Berbeda dengan cara Donald Worster menceritakan daerah Great Plains, Egan memilih untuk menceritakannya secara kronologis dengan plot puncaknya adalah badai debu itu. Buku ini juga lebih berfokus pada saksi mata dan mereka yang selamat dari bencana itu. Dibandingkan dengan buku Worster yang lebih “akademik” (dalam artian buku itu lebih punya analisis dan argumen), tulisan Egan lebih bisa dilihat sebagai rekam suara dan saksi dengan cara penyampaian yang lebih detail dan atentif terhadap hal-hal yang sehari-hari.

Podcast This American Life

Salah satu material diskusi berikutnya adalah podcast This American Life. Kami diminta mendengarkan tiga cerita yang sama sekali berbeda, lalu mendiskusikan sudut pandang narasi juga bagaimana script ditulis. Berbeda dengan format monograf dan tulisan jurnalis, podcast tentu memberikan pengalaman mendengarkan naratif yang berbeda. Faktor pembacaan, latar belakang musik, dan dinamika wawancara memberikan sensasi yang sedikit berbeda, dan semua elemen ini membantu kami untuk memikirkan bagaimana menarasikan sejarah dalam berbagai format media selain media tulis.

Workshop Menulis 1

Setelah membaca kedua buku itu, tugas pertama menulis kami adalah menulis sejarah pendek (hanya 1,200-1,500 kata) tentang sebuah tempat: Ford Rouge Plant di Dearborn, Michigan. Kami dibebaskan menulis apapun, dari sudut pandang apapun, selama ceritanya tentang pabrik itu. Kami juga bebas memilih sumber yang akan kami gunakan. Prof. Boyle juga memberikan beberapa referensi buku sejarah yang membahas detail tentang pabrik raksasa itu. Saya memilih cerita tentang arsitektur pembangunan komplek pabrik itu, kecanggihan ide tentang membangun komplek produksi modern yang efisien. Namun saya mengakhiri cerita dengan pertanyaan “siapa yang membangunnya?” Ketiadaan cerita buruh bangunan pabrik inilah yang ingin saya tampilkan, mangkanya judulnya “The Unseen Rouge” huehuehue.

MENULIS KARAKTER

Deborah Baker, The Convert: A Tale of Exile and Extremism (Graywolf Press: Minnesota, 2011)

Buku ini bercerita tentang Margaret Marcus, seorang perempuan Yahudi kelas menengah dari Westchester yang di awal dekade 1960an mengubah namanya menjadi Maryam Jameelah, pindah ke Pakistan, dan menjadi salah satu tokoh penting Islam. Diskusi kami cukup “panas” karena beberapa melihat cara penceritaan Baker berawal dari asumsi keliru tentang Islam radikal dan termasuk caranya melihat Mawlana Abul Ala Mawdudi, seorang tokoh intelektual Islam penting yang memengaruhi Maryam. Baker sendiri memang mengambil peran sebagai narator yang tidak dapat dipercaya. Pembaca akan dibawa bertanya-tanya soal posisi narator, caranya melihat dan merespon material dan sumber yang dia baca dan dengar. Jika pembaca menginginkan satu cerita koheren dan utuh tentang Margaret/Maryam, maka saya pikir buku ini bukan bertujuan untuk itu. Justru menariknya buku ini, buat saya, bukan soal apakah Baker melihat Islam dan radikalisme agama dengan akurat atau tidak, tapi soal pengalaman perempuan yang mengubah hidupnya secara radikal, termasuk mistifikasi dan pandangan publik soal dirinya. Baker mengkooptasi peran “publik” itu dan menuangkannya dalam bentuk narator si “aku” yang “kebingungan” untuk memahami keputusan-keputusan Maryam.

Isabel Wilkerson, The Warmth of Other Suns (Random House: New York, 2010)

Buku ini bercerita tentang sejarah Migrasi Besar orang-orang kulit hitam di selatan Amerika Serika ke arah timur laut, barat, dan barat-tengah sepanjang tahun 1917-1970an yang mengubah negara ini. Isabel Wilkerson mewawancarai ribuan orang kulit hitam, dan menuliskan rekam jejak dan kesaksian mereka melalui tiga tokoh utama: Ida Mae Gladney yang pergi dari Mississippi ke Chicago tahun 1937; George Starling yang bermigrasi ke Harlem dari Florida di tahun 1945; dan Robert Foster yang meninggalkan Louisiana di tahun 1953. Dengan mengambil judul dari kutipan puisi Richard Wright, Black Boy, Isabel Wilkerson menarasikan kehidupan mereka di selatan, perbudakan, segregasi ras, Jim Crow, yang diikuti oleh gerakan politik sipil, resistensi, yang semuanya terikat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Hasrat untuk hidup yang lebih baik, untuk hidup yang lebih setara, termasuk konflik di dalam tubuh komunitas dan perbedaan kelas, ditulis oleh Wilkerson dengan penuh keharuan. Sebagai pembaca saya tidak terlalu sadar bahwa buku ini bertebal lima ratus halaman lebih karena tulisan Wilkerson dan cerita-cerita di dalamnya hadir dalam kemawasan dan tentunya sangat enak untuk dibaca. Kami membahas pilihan-pilihan Wilkerson dalam memilih ceritanya, juga dalam menyusun struktur bukunya, juga bagaimana biografi kolektif berperan sebagai jendela untuk narasi sosial dan politik.

Worksop Menulis 2

Tugas kedua adalah cerita pendek tentang tokoh sejarah. Di workshop ini, variasi cerita makin beragam karena tiap orang boleh memilih sendiri tokoh mereka. Saya sendiri, karena waktu itu sedang melakukan riset tentang Kwee Thiam Tjing, mencoba untuk mengolah cerita dari memoarnya Dalam Api dan Bara. Tapi saya merasa gagal mengerjakan tugas ini, karena saya jadinya lebih banyak menulis soal perubahan sosial dan politik di sekitarnya ketimbang Kwee sendiri sebagai karakter. (Mungkin juga karena di tahap itu saya belum tahu apa-apa soal sepak terjang Kwee secara mendalam).

MENULIS PERISTIWA

Skrip Daniel Greene untuk pameran “Americans and the Holocaust” untuk Museum Holocaust

Inilah pertama kalinya saya melihat skrip yang ditulis dan digunakan untuk pameran museum. Impresi pertama saya adalah: sungguh sebuah pekerjaan yang sulit. Pertama, karena penulis tidak hanya memikirkan cerita, tapi juga sequence pameran dan materi visualnya. Kedua, karena penulis sejarah, yang juga mendapatkan pelatihan hingga jenjang doktoral, harus membuat pilihan-pilihan sulit tentang materi apa yang perlu dan bisa ditunjukkan ke publik. Di diskusi ini beberapa dari kami bertanya cukup banyak ke Daniel Greene, salah satu staf sejarawan di Museum Holocaust: tentang praktik-praktik sejarah publik, kesulitan teknis, diskusi dan negosiasi dengan pihak manajemen museum dan komunitas Yahudi. Di diskusi ini kami kembali ke pembicaraan mendasar tentang peran sejarah naratif sebagai bagian dari sejarah publik (yang kalau dalam konteks Amerika Serikat lumayan kontras perbedaannya dengan sejarah akademik).

Natalia Zemon Davis, The Return of Martin Guerre

Buku ini sudah muncul di postingan Memetakan Disiplin. Untuk kelas ini, kami membaca buku ini untuk melihat bagaimana Natalia Davis menulis rentetan peristiwa kembalinya Martin Guerre melalui sumber dan pembacaan tak langsung. Kami berdiskusi tentang spekulasi, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dan tidak dapat ditulis, seberapa penting kronologi di dalam sejarah naratif.

Workshop Menulis 3

Tugas terakhir adalah cerita pendek tentang persitiwa sejarah, dan kali ini kami diminta menulis tentang peristiwa badai Katrina. Di tugas ini, saya mencoba bermain-main dengan bentuk. Dengan memberi judul cerita “On the Seventh Day,” saya membuat paragraf-paragraf saya seperti countdown enam hari sebelum badai itu datang (semacam referensi terhadap cerita penciptaan di Alkitab). Di tiap harinya, saya menumpuk proses-proses birokrasi pemerintah negara bagian dan negara federal, yang semuanya saya ambil dan susun ulang dari laporan resmi pemerintahan federal dan National Weather Service. Beberapa kolega saya di kelas merasa tulisan ini tidak ada cerita “manusianya” karena saya tidak menceritakan soal korban dan orang-orang yang terkena badai itu. Dan memang itulah tujuan saya, karena saya pikir sebagian orang akan menulis soal itu (dan memang). Kalau kata Prof. Boyle, idenya brilian tapi eksekusinya kurang compelling. Mungkin juga karena cara saya menulis ulang laporan resmi pemerintah kurang luwes dan masih mempertahankan gaya penulisan yang terlalu kaku dan resmi.

Leave a comment