Bibliografi Beranotasi: Orientalisme dan Kritiknya

Dalam bahasa Inggris kelas ini berjudul “Orientalism and Its Discontents.” Kelas ini diampu oleh Prof. Rajeev Kinra, sejarawan/filolog Asia Selatan, dan merupakan course gabungan Departemen Sejarah dan Literatur Perbandingan. Judul coursenya sudah sangat kentara yak huehuehue. Selama satu triwulan, kami membaca dekat karya-karya Said: Orientalism (1994), Culture and Imperialism (1993), dan Humanism and Democratic Criticism (2004). Untuk Orientalism sendiri kami membacanya secara bertahap: dua atau tiga bagian per minggu ditambah dengan bacaan tambahan, dan juga menulis reading respon tiap minggu. Saya pikir cara membaca ini sangat menantang, karena akhirnya kami “dituntut” untuk memahami buku itu secara mendetail dan mencoba untuk menghindari kritik-kritik yang seenak jidat comot kutipan.  Bacaan tambahan yang diberikan juga lumayan tricky karena tidak semuanya melakukan engagement yang produktif terhadap pemikiran Said. Tentunya membaca Orientalism dan menulis catatan tiap minggu memberikanmu cukup bahan untuk melihat bagaimana para akademisi dan jurnalis merespon pemikiran Said.

Sejujurnya, di kelas ini saya cukup mengalami kesulitan karena beberapa bacaan menurut saya cukup membingungkan, dalam arti tidak mudah merangkum atau menentukan posisi para penulis ketika merespon buku Said. Tapi diskusi di kelas yang sangat dinamis (dan jadi ruang untuk kami mengeluh soal narasi sejarah yang sangat putih) membantu mengartikulasikan hal-hal yang sulit saya cerna dan sampaikan. Saya juga sangat mengapresiasi keahlian Prof. Kinra dalam menyilang-sambungkan bacaan (dan di sesi terakhir, ia memberikan penjelasan soal keterkaitan bahasa Urdu, Persia, dan Sansekerta untuk menunjukkan dunia multilingual Asia Selatan di era Mughal). Meskipun ada tendensi di antara kami untuk meluncurkan argumen-argumen pembelaan terhadap Orientalism, yang menurut saya pun salah satu cara untuk memahami nuansa argumen Said, kami juga melihat keterbatasan pemikiran Said dan ruang-ruang kajian berikutnya.

Catatan: Saya tidak memasukkan semua materi, tetapi semoga daftar ini bermanfaat.


Said, Edward. Orientalism. New York: Vintage Books, 1994.

Said, Edward W. Culture and Imperialism. New York: Vintage Books, 1993.

Said, Edward. Humanism and Democratic Criticism. New York: Columbia University Press, 2004.

Tiga buku ini menjadi bacaan utama selama tiga bulan, khususnya Orientalism. Tentu tanpa berpanjang-panjang ria, para pembaca sudah tahu argumen utama Said. Yang perlu saya tekankan adalah tulisan Said sangatlah dinamis: jernih dan ambigu di saat yang bersamaan. Dan membaca ketiga buku ini dengan sangat dekat membantu kami untuk melihat argumen Said sebagai argumen yang kaya akan pengamatan-pengamatan terhadap proses merepresentasikan yang liyan. Dianggap sebagai karya “polemis”, Orientalism sering kali mendapat kecaman yang sangat pedas dari para akademisi dan pembaca publik.

Ahmad, Aijaz. “Orientalism and After: Ambivalence and Cosmopolitan Location in the Work of Edward Said.” Economic and Political Weekly 27, no. 30 (1992): 98–116.

Artikel ini adalah salah satu kritik Marxis yang cukup keras ke Orientalism, baik itu dari cara Said menggunakan pendekatan “diskursus” Foucault yang tidak tepat hingga landasan teori Said tentang sejarah dan swa-representasi yang menurutnya mereproduksi narasi humanisme liberal. Tulisan ini dilandaskan dari bukunya In Theory: Classes, Nations, and Literatures yang juga mengkritik argumen Frederic Jameson soal “Third World Literature”.

Ganim, John. Medievalism and Orientalism: Three Essays on Literature, Architecture, and Cultural Identity. Springer, 2005.

Di buku kumpulan esai ini, Ganim melacak sejarah paralel orientalisme dan medievalisme di era pasca Renaissance, untuk menunjukkan bagaimana temporalitas “abad pertengahan” mengalami proses imajinasi yang serupa dengan yang “oriental” sebagai dunia yang eksotis dan jauh berbeda dari dunia Barat modern. Ganim melihat bagaimana kekaguman terhadap “masa lampau” sebagai “dunia lain”, kekaguman historisis, muncul dan mengubah proses produksi pengetahuan abad pertengahan di abad 17 dan 18.

Herbert, Christopher. War of No Pity: The Indian Mutiny and Victorian Trauma. Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2008.

Buku ini membahas bagaimana dan mengapa peristiwa pembunuhan orang Inggris dan penduduk asli Kristen di Delhi oleh tentara India Hindu dan Muslim pada tanggal 11 Mei 1857 dianggap sebagai peristiwa sangat penting bagi publik Victorian. Dengan melihat teks abad 19, termasuk memoir, penulisan sejarah, surat-surat, penulisan jurnalisme, dan novel, Christopher Herbert menunjukkan bagaimana peristiwa pemberontakan itu memunculkan krisis kesadaran nasional, termasuk posisisi ambivalen publik tentang praktik Inggris di India sebelum dan ketika perang. Kami membahas buku ini dalam konteks bagaimana produksi “orientalisme” atau yang liyan sebagai proses dua arah yang selalu berkelindan. Namun kami tidak sepenuhnya sepakat dengan cara Herbert melihat orientalisme sebagai “dogmatic premise” karena Said tahu betul kegamangan orientalisme yang tidak selalu termanifestasikan dalam bentuk representasi opresif.

Kaplan, Robert D. Imperial Grunts: On the Ground with the American Military, from Mongolia to the Philippines to Iraq and Beyond. New York: Random House, 2005.

Buku ini adalah rekam jejak militer Amerika Serikat dan beban peradaban yang mereka bawa. Melihat dari dekat, Robert Kaplan menceritakan bagaimana tentara-tentara Amerika Serikat, sebagai garda depan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, melihat orang-orang di Mongolia, Irak, dan Filipina. Di satu sisi, ada kritik terhadap kebijakan luar negeri AS, namun di sisi yang lain Kaplan mempertahankan narasi-narasi yang digunakan tentara AS seperti mengidentifikasi negara-negara lain yang mereka invasi sebagai “Injun Country” (Injun adalah salah satu nama kelompok indigenous Amerika). Kami membaca buku ini secara bertahap untuk melihat keberlanjutan orientalisme terutama dalam proyek imperialisme Amerika Serikat. Buku ini menjadi contoh tepat untuk membuktikan perhatian Said terhadap politik budaya dan militer Amerika Serikat yang merupakan topik utama di bukunya, Culture and Imperialism.

Kennedy, Dane. The Highly Civilized Man: Richard Burton and the Victorian World. Cambridge: Harvard University Press, 2009.

Buku ini bercerita tentang Richard Burton, seorang Inggris yang melakukan etnografi dan mengklaim kedekatannya dengan penduduk lokal, mengambil risiko dengan dipanggil “white [n-word]” dan menciptakan persona dan imaji skandal tentang dirinya sendiri. Kennedy berargumen bahwa individual seperti Burton ini menyembuntikan dirinya dan mengambil identitas oriental untuk melawan kode dan konvensi sosial masyarakat Inggris di zamannya. Kennedy melihat orientalisme Burton bukan hanya sekedar permasalahan mengapropriasi yang liyan, tetapi juga menempatkannya dalam konteks Inggris era Victorian, bahwa yang oriental berguna bagi sang orientalis untuk mencari tempatnya sebagai seorang Eropa.

Mufti, Aamir R. Forget English!: Orientalisms and World Literatures. Cambridge: Harvard University Press, 2018.

Buku ini membedah bagaimana orientalisme berlanjut ke diskursus sastra dunia dengan melihat perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa superior sastra nan hegemonik. Selain itu Mufti juga melihat lebih dalam ke perkembangan sastra di India dan Asia Selatan untuk melihat dinamika relasi hegemoni bahasa ini dengan bahasa lokal. Dari diksusi di kelas, terutama untuk mahasiswa Comparative Literature, kritik Mufti ini mengamini kegelisahan mereka khususnya dalam praktik penerjemahan dan analisis sastra perbandungan. Namun pertanyaan lain yang kemudian muncul setelah membaca buku ini

Pollock, Sheldon. “Deep Orientalism? Notes on Sanskrit And Power Beyond the Raj.” In Orientalism and the Postcolonial Predicament: Perspectives on South Asia, edited by Carol A. Breckenridge and Peter van der Veer, 76–133. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1993.

Sebagai filolog yang membaca teks “Oriental” dalam bahasa aslinya, Pollock mencoba untuk mendorong kerangka Said ke arah yang lebih dalam. Dengan melihahat perkembangan indologi Jerman, Pollock mencoba untuk membedah bagaimana “struktur dominasi” di dalam tubuh teks-teks Sansekerta juga mempengaruhi para indolog Jerman. Orientalisme, menurut Pollock, juga adalah proses inward yang mengubah cara orang Eropa melihat diri mereka sendiri.

Satia, Priya. Spies in Arabia: The Great War and the Cultural Foundations of Britain’s Covert Empire in the Middle East. Oxford: Oxford University Press, 2008.

Buku ini adalah sejarah intelijen dan mata-mata Ingrris di wilayah Timur Tengah di era Perang Dunia I. Melalui kerja-kerja mereka, Priya Satia kemudian menganalisis dampak pengetahuan mereka terhadap sastra, budaya politik, dan praktik negara Inggris. Melalui proses produksi dan reproduksi pengetahuan intelijen ini, Satia berargumen tentang cara imperialisme bekerja melalui moda pengetahuan rahasia yang dipandu oleh cara berpikir orientalis. Saya pribadi sangat suka buku ini selain karena argumen Satia menjadi pengingat tentang efek domino yang material maupun imaterial dari pemikiran orientalis, juga karena caranya menulis dan mengupas arsip sangat memikat.

Pollock, Sheldon. “Future Philology? The Fate of a Soft Science in a Hard World.” Critical Inquiry 35, no. 4 (2009): 931–61.

Artikel ini dibaca bersamaan dengan esai kuliah Said “The Return to Philology” di buku Humanism and Democratic Critcism. Dengan pengalaman praktis dan institusionalnya, Pollock memetakan cara-cara memahami teks juga kendala-kendala teknis dan politis dalam perkembangan ilmu filologi. Ia mengambil posisi yang sedikit berbeda dan lebih praktis daripada Said. Jika Said mengimplikasikan pentingnya “pembaca yang lebih baik (kritis)” untuk melihat diskursus orientalis dalam teks-teks produksi Barat, Pollock mendorongnya lebih jauh. Ini bukan cuma soal menjadi pembaca lebih baik tapi juga permasalahan yang lebih mendetail seperti bagaimana meneliti produksi dan sirkulasi manuskrip, bagaimana dengan funding atau dukungan dari institusi pendidikan untuk kajian-kajian teks, juga seberapa banyak orang yang mau melakukan kerja-kerja itu.

Leave a comment