
Memilih novel klasik Osamu Dazai No Longer Human untuk diadaptasi merupakan pilihan yang tidak mudah. Adaptasi animenya Aoi Bungaku Series sudah ada untuk memperkenalkan kanon sastra Jepang secara visual. The anime doesn’t give the whole story, but we can see it as a summary of the complexity of Dazai’s novel. It’s nice for an introduction. Maka, fans Osamu Dazai (*acung tangan*) tentu bersemangat melihat mangaka horor, Junji Ito, yang sering bermain-main dengan kedalaman psikologis manusia, mengadaptasi novel ini.
Sebelum aku membahas manganya, aku akan bahas novel Dazai dulu yang penuh dengan nuansa sepi dan sesak. Lewat suara Oba Yozo, Dazai menghadirkan melankoli ekstrim “manusia modern”. Terlahir di keluarga elit, Oba sedari kecil melihat sekelilingnya sebagai ancaman. Orang-orang menyukai ketampanan dan kepintarannya, tetapi Oba selalu merasa gerah dengan itu semua. Maka ia pun menjadi badut, memainkan kepura-puraan. Bahkan dalam kondisi dia dilecehkan oleh asisten rumah tangganya, Oba menutup pahit pikirannya dengan menjadi badut. Titik poin masa kecil ini menyeret kehidupan remaja dan dewasanya ke serangkaian tragedi dan penderitaan. Pencarian cinta dan kepuasaan yang bertubi-tubi menjerumuskannya ke dalam kesia-siaan. Suara Oba melebur dalam hidupnya yang semrawut, membuatnya terus menjauh dari segala kemungkinan untuk bahagia. Indeed, “sometimes happiness arrives one night too late”. Dan Dazai, dengan sangat elegan, menunjukkan tragedi-tragedi itu juga kesakitan yang hadir bersamanya.
Adaptasi Junji Ito, menurutku, mengambil arah yang berbeda dari cerita Dazai. Meskipun basis ceritanya sama, Ito menginterpretasikan novel itu ke posisi yang lebih “gore”. Ketangkasan Ito memainkan tatapan mata, ekspresi ngeri dan takut, fantasi surreal mental manusia, membuat cerita novel ini berubah banyak–dari kesepian miris nan melankolis menjadi keriuhan tragis penuh ketakutan. Perubahan nuansa ini memang sengaja dilakikan Ito. Di wawancaranya, Ito melihat No Longer Human sebagai cerita horor, ketakutan mendalam seorang manusia terhadap masyarakat, berpadu dengan seks, alkohol, heroin, komunisme, dan kematian.
Satu hal yang sangat aku suka dari manga ini adalah kemampuan Ito menggoreskan psikologi Oba dengan sangat mengerikan. Salah satunya ketika Oba bermimpi memuntahkan segala beban di dalam dirinya, termasuk eksistensinya sendiri. Tidak ada yang lebih ngeri dari psikosomatis yang dilukis secara visual. Jika novelnya bisa membuat pembaca “meromantisasi” keputusasaan, manga ini justru membuat pembaca merasa “mual” dengan segala keberangusan hidup. Oba masih tetap narator yang sulit untuk disukai dan tidak bisa diandalkan. Dan Ito menciptakan dunia kefrustrasian pikiran dan hati Oba ke level visual yang ekstrim. (Kalau baca manga ini hati-hati ya karena cerita dan visualnya bisa triggering).

Di luar reputasi Ito yang memang sudah dibuktikan oleh keahliannya, aku punya posisi ambigu sebenernya. Ketika menutup manga ini, aku merasa sangat “puas” dalam artian manga ini sangat bagus sebagai kerja seni komik! Sebagai pembaca, aku overwhelmed dengan keseluruhan buku yang sanggup membuatku bergidik ngeri. Tapi setelah beberapa hari aku selesai membaca dan mencoba melihatnya lagi, ada beberapa hal yang menurutku ambigu.
Pertama, Ito terlalu melihat No Longer Human sebagai otobiografi Dazai. Ito memulai cerita dari scene double suicide Dazai dengan seorang perempuan (Tomie Yamazaki) di Kanal Tamagawa, yang juga muncul di di No Longer Human (percobaan double suicide Oba dan Tsuneko). Cerita kematian Dazai di awal cerita ditemukan di halaman-halaman sebelum manga berakhir. Ito “mempertemukan” Dazai secara langsung dengan Oba lewat percakapan di rumah sakit. Dan ketika Dazai versi Ito mengunjungi Oba dalam kondisi hidup segan mati nggak bisa, Dazai pulang dengan keputusasaan dan berakhir dengan berita ditemukan mayatnya dan seorang perempuan.
Perubahan ini tidak sepenuhnya gagal, dan menuntut Ito untuk persis plek dengan Dazai malah membatasi keluasan interpretasi (selain karena argumen itu cetek dan membosankan). Ito berhasil menunjukkan posisi Dazai sebagai penulis dan eksistensi Oba yang menjadi alter egonya. Paralel kehidupan mereka menjadikan tubuh No Longer Human, tidak cuma teks novel tapi juga parateksnya, sebuah perdebatan tentang dilema manusia modern. Akan tetapi, jukstaposisi keduanya menurutku menciptakan sedikit distorsi tentang hidup Oba. Kemelut yang dia hadapi seakan-akan menjadi “bahan cerita” orang lain, diapropiasi untuk kepentingan sastra. Dan ini membuat jalinan cerita Oba di bagian akhir manga menjadi terasa hambar.
Kedua, modifikasi Ito terhadap Takeichi, teman Oba (yang kemudian menjadi hantu suara pikirannya), menurutku membuat karakter Oba menjadi punya titik kritis ketimbang serangkaian hidup yang inkonsisten. Ito memodifikasi akhir hidup Takeichi dengan “membunuhnya” dengan cara yang digunakan Natsume Sōseki membunuh kawan K di novel Kokoro: dengan menggorok lehernya sendiri. Modifikasi ini terasa lebih “gore” ketimbang novelnya, dan sejak kematian Takeichi, Oba dihantui oleh sosoknya, dikejar-kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan.
Akan tetapi, kematian Takeichi ini membuat tragedi-tragedi berikutnya (termasuk rentetan kematian para perempuan) seakan hanya menjadi keberlanjutan dari Takeichi, ketimbang punya permasalahannya sendiri. Takeichi seolah menjadi awal itu kemalangan hidup Oba. Ito mencoba melakukan remorse dengan menghidupkan Takeichi di figur sepupu Oba, Setchan, yang awalnya dikira meninggal. Setchan ternyata masih hidup dan kemudian muncul dengan seorang anak yang berwajah mirip Takeichi, membuat Oba harus “mengulang” hidupnya kembali yang berpusat pada Takeichi. Oba adalah karakter yang tidak mudah disukai dan ia adalah narator yang tidak bisa dipercaya. Tetapi cara Ito menghadirkan Takeichi membuat hidup Oba seakan-akan “konsisten” di mana sosok Takeichi selalu jadi sumber keputusasaannya.
Terlepas dari itu semua, manga ini harus diacungi jempol. Keahlian Ito menampilkan visual yang mampu membuat pembaca bergidik ngeri ini memang patut diapresiasi. Ia berhasil menghadirkan kegelapan hati dan pikiran dalam bentuk esktrim, berhasil menangkap tatapan mata, ekspresi putus asa, dan kengerian terhadap hidup. Jika novelnya memberikan kesan melankoli kesepian, manga ini justru menunjukkan betapa riuh dan gaduhnya pikiran manusia di tengah kesepian itu.
PS: Penerbit manga versi Bahasa Inggrisnya memberikan preview manganya yak, siapa tahu ada yang tertarik.