Bibliografi Beranotasi: Sejarah Global Tiongkok

Yaaaay, masuk ke episod terakhir seri Bibliografi Beranotasi (karena musim akademik baru sudah memulai jadi biar tuntas aja gitu wqwq). Saya memutuskan mengambil kelas ini biar belajar uga sejarah Asia yang lain. Dan yang saya suka dari kelas ini, dosen pengampunya Prof. Melissa Macauley juga memiliki ketertarikan di koneksi dan jalur dagang China di Asia Tenggara. Sama seperti di kelas sejarah AsTeng, kami juga selalu bahas sumber yang dipakai, struktur bukunya, juga gaya dan kerangka narasinya, termasuk membahas penulisnya: dari mana school-nya, siapa pembimbingnya. Jadi meskipun minat langsung peserta seminarnya bukan di sejarah China atau Asia Timur, diskusi bedah bukunya super asik, dan saya juga diizinkan membawa beberapa kerangka konsep yang dibahas di kelas Asia Tenggara. (Saya tidak memasukkan daftar buku buat paper bibliographical review karena lelah huehuehue).

Ya demikianlah, semoga berguna. Sampai berjumpa di seri Bibliografi musim berikutnya yaaw.

000002130020.jpg

gang belakang


MUSIM SEMI 2019

Course: Global China

Carol Benedict, Golden-Silk Smoke: A History of Tobacco in China, 1550-2010 (Berkeley: University of California Press, 2011).
Buku ini mencoba menganalisis faktor-faktor historis yang membentuk konsumsi tembaku di China dalam rentang waktu panjang (long durée). Ada dua tema besar di buku ini: (a) adanya keterkaitan dan kesamaan antara China dengan masyarakat wilayah lain di periode “cigarette century”; dan (b) proses sejarah yang dimanis dan tidak pasti di mana praktik merokok Amerindian yang usianya sudah panjang “menjadi [praktik] China”.  Menggunakan sumber dokumen-dokumen gazette dan sekunder, Benedict menjabarkan proses evolusi produksi/konsumsi tembakau ini, bagaimana distribusi benih dan perkebunan berkoneksi dengan jejaring lintasan dagang laut maupun darat, juga karakter-karakter pola konsumsi masyarakat China yang menunjukkan perbedaan dan transformasi kelas.

Eugenio Menegon, Ancestors, Virgins, and Friars: Christianity as a Local Religion in Late Imperial China (Cambridge: Harvard University Asia Center, 2009).
Buku ini merunutkan transformasi lokal Kekristenan di China dan mengilustrasikan pentingnya perubahan ini dalam sejara imperial akhir. Ketimbang fokus pada diskursus Kekristenan sebagai agen aktif modernitas atau “Confucian Christianity”, Menegon memusatkan risetnya di daerah seperti Fuan di mana bukan “Kekristen Konfusius” dan dunia tekstual para literati China, tetapi ritual sehari-hari dan ketaatan personal yang mengokupasi “the place of honor”. Menegon berargumen bahwa di lingkungan seperti itu, masyarakat setempatlah yang menjadi agen aktif dalam menciptakan relung untuk nilai-nilai dan praktik, yang memungkinkan Kekristenan berubah menjadi agama lokal masyarakat China. Buku ini merevisi literatur sebelumnya yang menceritakan sejarah Kristen di China yang hanya menyorot hubungan antara negara dan para misionaris. Oh dan sumber-sumber sejarah yang dipakai Menegon gils ekstensif bet, dari material dinasti Ming/Qing, genealogi keluarga masyarakat Fuan, bahan-bahan doktrinal, surat/laporan misionaris, sampai penulisan sejarah oleh sejarawan Dominican.

Caroline Frank, Chinese Commodities in Early America (Chicago and London: The University of Chicago Press, 2011).
Buku ini, meskipun terkait dengan komoditas dan jalur perdagangan China, dapat dilihat sebagai sejarah Amerika Serikat. Menggunakan komoditas yang banyak beredar di AS seperti porselen dan teh, Frank bercerita mengenai kontak material antar dua budaya yang kemudian persepsi mengenai material (komoditas) tersebut mengubah masyarakat juga dinamika ekopol AS. Ide besarnya bagus banget, dan saya sendiri cukup kagum membaca bagaimana kemudian komoditas porselen terdomestikasikan dalam masyarakat AS yang maskulin. Persepsi dan diskursus mengenai China difeminimkan melalui sifat material porselen yang fragile dan lebih sering digunakan oleh perempuan kelas atas (berlawanan dengan kekuatan maskulin para mine crafters misalnya). Sayangnya, struktur buku ini sedikit membuat bingung. Bab terakhir soal “Manly Tea Parties” sangat menarik, tapi menjadi lepas dari bab-bab sebelumnya. Nonetheless, saya suka dengan perspektif gender Frank yang bikin saya “hoooo bisa gitu ya”.

Matthew Mosca, From Frontier Policy to Foreign Policy: The Question of India and the Transformation of Geopolitics in Qing China (Stanford, California: Stanford University Press, 2013).
Buku ini cocok untuk peminat cerita-cerita soal border/frontier dan geopolitik dengan kacamata forpol analysis yang kuat. Mosca mencoba menjawab bagaimana pemerintah, birokrat, dan intelektuil Qing menerjemahkan kebangkitan Inggris di India tahun 1750-1860 dan bagaimana pemahaman ini memengaruhi kebijakan keamanan kekaisaran. Mosca berargumen bahwa ada perubahan yang terjadi pada hubungan eksternal dinasti Qing setelah berkonfrontasi dengan kekuasaan Eropa, dari “frontier policy” ke “foreign policy” di mana kekaisaran Qing terkunci dalam kompetisi. Perubahan hubungan eksternal juga terkait dengan perubahan internal di dalam tubuh kekaisaran Qing mengenai pengelolaan informasi. Informasi-informasi dari birorat lokal di perbatasan yang terfagmentasi menyulitkan proses transmisi pengetahuan geografis yang koheren. Dengan melihat bahasa dan genre pengetahuan geografis para intelektuil Qing, Mosca membangun narasi mengenai transisi ini di mana pemahaman para aktor tentang dunia juga pengetahuan intelektual mengenai perbatasan dan ancaman menjadi fondasi penting dalam kebijakan Qing.

Anthony Reid (ed.), Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese (Honolulu: University of Hawai’i Press, 1996).
Bisa dibilang, buku ini salah satu 101 soal China Asia Tenggara. Ditulis oleh akademimik dedengkot seperti Wang Gungwu, Anthony Reid, G. William Skinner, Mary Somers Heidhues, Leonard Blussé, dan Claudine Salmon, buku ini didedikasikan untuk Jeniffer Cushman, sejarawan yang membahas Chinese junk trade, yang meninggal secara mendadak di tahun 1989. Secara garis besar, penulis-penulis ini merangkum masing-masing fokus riset mereka, dan menyajikan overview apik tentang studi China Asia Tenggara.

Fa-ti Fan, British Naturalists in Qing China: Science, Empire, and Cultural Encounter (Cambridge: Harvard University Press, 2011).
Melalui buku ini, Fa-ti Fan bermaksudn untuk menjelaskan pembentukan praktik dan pengetahuan saintifik di wilayah batas kebudayaan hubungan Sino-Barat. Penulisnya ingin merevisi dikotomi biner relasi kuasa Barat/non-Brat dan mengeksplorasi bagaimana para aktor menegosiasikan identitas mereka dan menguak “scientific imperialism” itu sendiri. Argumennya besarnya echoing beberapa literatur sejarah sains dan teknologi yang bicara soal sites dan cultural encounter, tapi kalau lihat lebih dalam, kontak tersebut sebenarnya tidak tanpa tegangan. Semisal, soal para naturalis Inggris yang membutuhkan jasa peluksi China, tidakkah itu pun labor relations dan bukan cuma “cultural encounter”?

Lydia H. Liu, Translingual Practice: Literature, National Culture, and Translated Modernity China, 1900-1937 (Stanford, California: Stanford University Press, 1995).
Another buku ntaps yang melihat kompleksitas modernitas lewat literatur dan praktik translasi di awal pertengahan abad keduapuluh China. Dengan menggunakan konsep “translingual practice”, Liu menunjukkan ambiguitas dan kecemasa para penulis dan inteletual China ketika jumpa-budaya dengan modernitas Barat. Liu membangun analisisnya dengan menginvestigasi penggunaan kata-kata terjemahan dan serapan (dari teks misionaris, bahasa Jepang, Inggris, Prancis, Rusia dan Jerman) juga perubahan gaya penulisan sastta, di mana pendekatan sitasi/transnasional membentuk proses legitimasi diskursus sastrawi ini. Sumber-sumber yang dipakai juga luas bet; dari tulisan-tulisan terjemahan, novel, cerpen, Kompendium sastra China modern, dan jurnal kritik sastra, Liu melebarkan pertanyaan historis mengenai area abu-abu modernitas non-Barat. Cairnya bahasa dan diskursus ini, sebagai the “essence” of culture, kemudian terapropriasi dalam project nation-building (i.e., May Fourth Movement). “Translated modernity” tidak lagi menjadi sebuah abstraksi, namun juga pengalaman, “realita” yang siap untuk dijejalkan sebagai bagian dari gerakan New Culture.

Guoqi Xu, Strangers on the Western Front: Chinese Workers in the Great War (Cambridge: Harvard University Press, 2011).
Sungguh ini pun buku yang asik. Xu bercerita tentang perjalanan 140,000 orang China (kebanyakan illiterate peasants) ke Eropa selama Perang Dunia I yang direkrut oleh pemerintah Prancis dan Inggris untuk membantu mereka berperang melawan Jerman (AS juga akhirnya menyusul). Lewat investigasinya ini, Xu berargumen bahwa buruh-buruh China itu tidak hanya memiliki kontribusi penting ke usah perang Sekutu tapi juga sebagai pembawa pesan antar peradaban China dan Barat. Saya pribadi suka bet sama cerita ini, karena, satu, buruh-buruh China itulah yang sebenarnya menjadi pasukan terdepan tentara Prancis dan Inggris dengan membangun trench dan juga bekerja di tambang dan pabrik. Dua, karena urusan perburuhan dan rekrutmen ini tidak lepas dari negosiasi diplomatik antara Inggris-Prancis-AS dengan China, termasuk keinginan pemerintah China untuk berperan dalam konstelasi internasional. Tiga, peran wilayah seperti Kanada yang menjadi area transit para buruh ini juga penting karena wilayah seperti itulah di mana para buruh China mendapatkan sekelimut pandangan terhadap Barat. Dari situ, Xu meneruskan ke peran YMCA dan para intelektual China yang melalui pengalaman para buruh tersebut membangun diskursus tentang identitas nasional. Di sinilah peran buruh sebagai “cultural messenger” (atau kalau bahasa lebih kontemporernya para diaspora) menjadi sangat penting dalam usaha nation-building itu sendiri.

Ruth Rogaski, Hygienic Modernity: Meanings of Health and Diseases in Treaty-port China (Berkeley: University of California Press, 2004).
The ultimate! Buku ini bertujuan untuk menempatkan makna kesehatan dan penyakit sebagai pusat pengalaman modernitas China. Dengan melihat perkembangan ilmu dan praktik medis di Tianjin, yang adalah treaty-port city, Rogaski berargumen bahwa weisheng adalah elemen penting dalam definisi modernitas. Definisi ini bukan hanya terkait individu tapi juga untuk membangun lingkungan perkotaan dan totalitas terbayang sebuah bangsa. Melihat Tianjin selama 100 tahun, Rogaski mengkomplekskan ide “semiolonial” China dan melihat kota itu di dekade awal abad duapuluh sebagai “hypercolony”, yaitu persimpangan sembrawut antara China dan pendatang juga sebuah penampakan imperialisme yang bombastis, yang mungkin terjadi jika ruang urban terbagi-bagi oleh beberapa imperialisme. Keren betlah buku ini. Perpaduan antara local-national-global history-nya paripurna, juga berkelindan dengan history of medicine dan translingual practice. Saya pikir Rogaski, dengan gaya menulis narasi yang sangat  artikulatif juga range waktu yang panjang, berhasil melihat perubahan dan kompleksitas itu. Modernitas, lagi-lagi, tidak berada dalam abstraksi dan diskursus saja; pengalaman, ambiguitas, dan esyelelelelenya (persis, karena sering kali realita tidak seartikulatif itu untuk dijelaskan) juga hadir bersamaan.

Leave a comment