Saya percaya tidak semua dari kita menyukai masa lampau, apalagi memuja-mujanya. Menjadi amnesia, mampu melewati trauma, dan melanjutkan hidup sepertinya memang aspirasi kebanyakan orang (termasuk saya). Toh pun tidak semua kejadian di masa lalu dapat menjadi pelajaran. Tapi jika ada hal yang paling artikulatif untuk menunjukkan kompleksitas dan kontradiksi dalam kelindan realitas ruang-waktu, kita harus mengakui bahwa sejarah, sebagai sebuah disiplin dan narasi, adalah jawaban paling baik sejauh ini (sebelum kita bisa menemukan mesin waktu tanpa mengganggu lini waktu).
Saya tidak tahu apakah usaha-usaha bernarasi melalui sumber-sumber yang ada betul membuahkan sesuatu selain seonggok tulisan dan buku yang hanya dibaca secara insular. Paling tidak, selama setahun trial sistem pendidikan doktoral sejarah ala Mamariki Sarikat, saya lebih yakin bahwa kekayaan literatur sejarah membantu kita untuk melihat dan mengingat kembali sisi-sisi keuripan yang yawla-kita-itu-ngeh-cuman-suka-lupa-aja. Karena masih dalam proses latihan menjadi akademimik sejarah (dan belum bisa baca arsip secara sistematis), saya mau berbagi saja bibliografi beranotasi beberapa buku yang saya baca setahun terakhir.
Karena menulis serius itu lelahnya (hhhhhh) saya menulis keterangan buku-buku ini secara suka-suka pula. Kalau pembaca terhormat ingin tahu bukunya lebih lanjut bisa googling sendiri yak. Oh dan karena saya pemalas, postingan ini akan dibagi menjadi tiga bagian sesuai musim quarter ala kampus saya. Episod kali ini musim gugur dulu yak.
Semoga bisa dinikmati dan berguna ahoy!

MUSIM GUGUR 2018
Course: Mapping the Discipline
Sarah Maza, Thinking About History
Buku ini cem buku sintesis tentang perkembangan historiografi khususnya di Mamariki Sarikat, Inggris, dan sebagian Eropa Barat. Saya menyukai buku ini karena hamlelah membantu rookie sejarah cem daku untuk bisa memetakan pendekatan dan tren-tren dalam penulisan sejarah. Katanya sih ilmu sejarah itu ekletik, ga pernah ada konsensus soal metodologi ataupun teori, dan tentu perkembangan ilmu ini betul-betul didorong oleh hal-hal praktis seperti ada arsipnya nggak ya. Waktu di kelas bahas buku ini, Maza mengajukan pertanyaan-pertanyaan diskusi tentang pemahaman kami nak-nak tahun mula soal bagaimana kami memahami sejarah yang pun berangkat dari pengalaman riset maupun observasi. Buku yang apik untuk memulai kelas analisis sejarah karena survei umumnya yang sangat baik dengan keluasan referensi. Untuk nak sejarah non-Mamariki dan non-Eropa, ada satu pertanyaan general seperti apakah beberapa turning point dan tren pendekatan sejarah itu berlaku seutuhnya untuk historiografi Asia Tenggara misalnya.
E. P. Thompson, The Making of the English Working Class
Sebuah buku wajib dan babon untuk topik class, resistance, and agency. Buku ini tentu tidak asing terutama bagi mereka para Marxist dan pembaca sejarah sosial-ekonomi (kelas). Diterbitkan pertama kali pada tahun 1963, buku ini dinyana sebagai model “sejarah dari bawah” yang cukup paripurna. Thompson menulis sejarah kelas pekerja Inggris dengan kerincian dan kompleksitasnya, untuk menekankan adanya kesadaran kelas. “Kelas” bukan lagi soal kategori ataupun struktur tetapi fenomena historis — realita sejarah yang dialami para pekerja Inggris abad sembilanbelas. “The working class did not rise like the sun at an appointed time. It was present at its own making,” demikian kata Thompson. Bukunya mayan tebel yak, jadi memang perlu komitmen waktu uhuk.
Walter Johnson, Soul by Soul: Life Inside the Antebellum Slave Market
Buku ini menelusuri sejarah perbudakan di Amerika Serikat dengan pendekatan yang sangat humanis. Ketika penulisan sejarah “slave market” seringkali bertumpu pada angka agregat juga berputar di narasi para pemilik perkebunan kapas, Johnson justru beralih jauh dari kekakuan angka dan menceritakan kisah-kisah dari sudut pandang para budak. “Pasar budak” adalah sebuah arena di mana semua aktor manusia di dalamnya berpikir dan mengimajinasikan hal-hal yang harus mereka lakukan untuk baik itu tujuan komersial maupun bertahan hidup. Secara inovatif Johnson menggunakn dokumen-dokumen pengadilan dan rekam narasi para budak untuk melihat bagaimana proses transaksi budak terjadi dalam ruang fisik di mana “pengetahuan soal tubuh” bermanifestasi. Saya secara pribadi SANGAT SUKA BUKU INI KARENA YAWLA NARASINYA BAGUS BANGET KU INGIN MENANGIS.
Margot Canaday, The Straight State: Sexuality and Citizenship in Twentieth-century America
Masuk ke topik gender, sexuality, and power, buku ini dibaca berbarengan dengan tulisan Joan Scott “Gender, A Useful Category for Historical Analysis.” Buku ini menelusuri mesin abad keduapuluh Amerika Serikat untuk menjelaskan bagaimana perhatian pemerintah federal terhadap homoseksualitas berkembang bersamaan dengan berkembangnya negara birokratis. Canaday menjelaskan proses state-building dan kewarganegaraan melalui identifikasi administratif di tiga bidang birokrasi–departemen imigrasi, militer, dan sosial–terhadap perilaku seksual dan karakter gender tertentu untuk memproduksi kategori homoseksualitas. Riset sejarah yang menurutku sangat ekspansif dan koheren, dan mampu menjawab pertanyaan soal perpotongan sex-gender-state. Cerita punya cerita Canaday pakai jalur hukum untuk bisa “memaksa” kantor imigrasi Mamariki Sarikat buka arsip mereka.
George Fredrickson, Racism: A Short History
Masuk ke topik ras, buku ini adalah karya sintesis tentang rasisme dari abad duabelas/tigabelas sampai abad duapuluhsatu. Frederickson menelusuri lahirnya dan berkembangnya rasisme, yang menurut argumennya adalah penemuan rang-rang Barat, juga membandingkan secara detail diskriminasi kelompok kulit hitam Amerika Serikat dan anti-semitisme Nazi. Frederickson berusaha mengkategorisasikan bentuk rasisme sistematis modern, juga memetakan kondisi-kondisi yang memungkinkan rasisme. Buku yang baik untuk memberi gambaran singkat tentang bagaimana ide dan praktik rasisme tereskalasi, tapi juga terlalu menggeneralisasi. Saya pikir usaha mengkategorikan relasi ras dan etnis dalam kotak-kotak tipologis berguna untuk memberi review, tapi tidak cukup menjelaskan kompleksitas interaksinya.
Benedict Anderson, Imagined Communities
Kayanya saya nggak perlu bacot panjang soal buku ini.
Odd Arne Westad, The Global Cold War: Third World Interventions and the Making of Our Times
Monograf opsional yang saya baca untuk memuaskan ke-HI-HI-an yang tersisa wqwq. Westad mengkomplekskan istilah “Perang Dingin” dan “Dunia Ketiga” dengan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di “Dunia Ketiga” dan ideologi intervensionisme AS dan Soviet, dan berargumen mengenai dampak globalnya hingga saat ini. Westad fokus di dekade 1970an dan awal 1980an dan membangun badan sintesis yang sangat ekstensif (tebel juga njir ini bukunya huks). Ketika Perang Dingin di akademek Barat suka amat ngomongin rival AS dan Soviet di bidang militer dan kontrol strategis terpusat di Eropa, Westad bilangnya “Nggak. Justru perkembangan politik dan sosial di Dunia Ketigalah yang jadi linknya.” Mungkin kita bisa bilang kalo argumennya bukan yang baru-baru amat tapi cara Westad menyintesis ceritanya yawla sungguh mutakhir (baca: rang sejarah internasional yang memang referensinya sangat luas).
Natalie Davis, The Return of Martin Guerre
Buku ini adalah panduan untuk masuk ke tema micro history. Buku ini bercerita tentang seorang petani Prancis abad enambelas bernama Arnaud du Tilh yang disidang karena menyamar menjadi Martin Guerre dan tingal di rumah keluarga itu selama tiga tahun. Di persidangan, du Tilh sudah hampir menang: ia berhasil meyakinkan paman, bibi, dan istri Guerra dengan bekas luka di kepala. Eh tetiba si Martin Guerre muncul di persidangan itu dengan kaki kayu, tapi si du Tilh bisa cerita tentang kehidupan pernikahannya dengan lebih detail ketimbang si Guerre. Nah lho. Cerita mikro semacam ini menarik untuk menceritakan banyak hal: mobilisasi petani, hasrat untuk memiliki hidup yang lain, konteks relasi domestik era itu. Juga, buku ini membantu kita melihat metodologi penceritaan sejarah ala detektif dengan berbagai perdebatan empirisnya.
Carlo Ginzburg, The Cheese and the Worms
Nah kalo buku ini kocak uga. Cerita tentang seorang penggiling di Friuli, Italia abad enambelas bernama Domenico Scandella alias Menocchio. Dia dituduh melakukan bidaah karena dia suka berdebat dan beropini tentang praktik-praktik agama Katolik. Setelah dua tahun disidang, jaksa pengadilan akhirnya mengeksekusi Menocchio. Ginzburg pakai transkrip-transkrip jaksa pengadilan juga sumber-sumber teks sejarah dan literatur yang menurut transkrip dibaca oleh Menocchio. Satu hal yang kusuka banget dari buku ini adalah gimana Ginzburg mencoba menguliti substansi transkrip dan menelusuri pernyataan-pernyataan Menocchio tentang buku-buku yang dia baca. Ginzburg nggak cuman cerita tentang kondisi sosial di Friuli, tapi juga budaya literatur dan membaca di konteks gelombang kontra-Reformasi Kristen (aka penegakan kembali aturan-aturan Katolik Roma). Secara umum, permasalahan micro history adalah munculnya spekulasi-spekulasi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan sumber. Tapi mengutip Jorge Luis Borges, “Reality can allow itself to be grey, but hypotheses must be interesting.” Yas!
Robert Darnton, The Great Cat Massacre and Other Episodes in French Cultural History
Masuk ke tema cultural history, kami di kelas membaca buku ini bersama dengan beberapa bab buku Clifford Geertz Interpretation of Cultures khususnya soal “thick description.” Tentu yang sangat terkenal dari buku ini adalah satu cerita tentang para apprentices printing shop di Paris abad delapanbelas yang diperlakukan buruk oleh majikannya, sedangkan kucing-kucing mendapatkan perhatian lebih baik. Sampai akhirnya para apprentices berteriak-teriak meniru suara kucing supaya majikannya terganggu dan menyuruh para apprentices untuk mengusir kucing. Para apprentices itu membunuh dan bahkan “mengadili” para kucing untuk kemudian digantung. Dari peristiwa ini kita bisa melihat cerita soal kondisi dan protes kelas pekerja di era pra-industri Eropa. Kumpulan esai sejarah budaya ini terkenal banget dan bisa kasih banyak contoh tentang bagaimana kita menginterpretasikan kultur.
William Cronon, Changes in the Land: Indians, Colonists and the Ecology of New England
Masuk ke tema terakhir kelas ini: environmental history. Buku ini bercerita tentang bagaimana Native Americans dan rang-rang Yurop sama-sama mengubah tanah dan lingkungan, dan tentu keduanya memiliki pemahaman yang berbeda. Native Americans memahami lingkungan dalam sebuah siklus alam dan punya caranya sendiri untuk merespon kebutuhan pangan. Rang-rang Yurop, misalnya, nggak bisa ngerti kenapa Native Americans memilih untuk kelaparan ketika musim dingin. Dengan menganalisis data-data saintifik yang dikombinasikan dengan dokumen-dokumen court, town hall, juga tulisan para traveler dan surveyor, Cronon berhasil menceritakan paradoks-paradoks dalam proses mengubah alam dan ekologi yang jadi inti cerita buku ini. Oh, dan nggak semua orang bisa kaya Bill Cronon yang paper seminar grad school-nya bisa dikembangin jadi buku kaya gini (menangis mengawhy).
William Cronon, Nature’s Metropolis: Chicago and the Great West
This is another awesome book by Cronon. Buku ini bukan cerita soal Chicago metropolis atau alam liar doang, tapi cerita besar tentang relasi keduanya di abad sembilanbelas: cem sejarah utuh alam pertama dan alam kedua. Buku ini melihat kekompleksan produksi, teknologi transportasi, perdagangan, juga usaha-usaha untuk mengubah nilai komoditas dan pola konsumsi, yang membangun cerita kebangkitan kapitalisme Amerika Serikat. Proses-proses perubahan di “alam pertama” (yang biasa kita asumsikan sebagai yang alami) ini terkonstitusi dalam proses perubahan di “alam kedua” (yang biasa kita asumsikan sebagai yang buatan) di mana arus kapital mengalir ke Chicago dan wilayah Great West. Cronon menggunakan sumber-sumber seperti rekam kebangkrutan federal, data sensus, dan rekam dagang untuk membangun “peta modal”. Jalur kereta api di cerita ini membangun konektivitas dan akselerasi transaksi dan mobilitas, tapi juga menciptakan kompetisi dan persaingan yang tidak semuanya dapat dikelola. Di sinilah konsep “ruang hibrid” alam menjadi muncul pada level paling intensifnya–di mana alam yang “asli” dan “buatan” sudah tidak lagi dapat dipisahkan.
Course: Ethnoscience and Technoscience in Global History
David Livingstone, Putting Science in Its Place: Geographies of Scientific Knowledge
STS 101 ahoy! Sedikit lupa-lupa ingat, intinya buku ini mau bilang kalo ilmu pengetahuan juga bounded to geography lho. Katanya sih ilmu pengetahuan itu universal alias dua atom oksigen di Alaska dengan di Samudera Pasifik ya sama aja. Tapi lewat buku ini, Livingston menekankan bahwa “universalisme” sains itu tidak hadir dalam void; justru sebaliknya, ia sangat terikat pada ruang. Lewat contoh-contoh sejarah, Livingstone menyajikan cerita produksi dan mobilitas ilmu pengetahuan, mengajak pembacanya mengingat kembali proses-proses yang menyertai perkembangan sains.
Pablo Gomez, The Experiential Caribbean: Creating Knowledge and Healing in the Early Modern Atlantic
Buku ini menceritakan perkembangan epistemologi pengetahuan para Mohanes {praktisi ritual kulit hitam) di Karibia pada masa early modern. Gomez pakai istilah “creative strategies” untuk menjelaskan “fenomena pengalaman” yang dipraktikkan oleh para Mohanes. Singkatnya cem melihat lanskap inderawi di mana Mohanes mengakarkan epistemologi dan ontologi tubuh maupun dunia Karibia. Dengan konteks masyarakat transbudaya dan poliglot (maksudnya berhubungan dengan perdagangan trans-Atlantik), Gomez menjabarkan “kosmopolitanisme” sains yang pun direngkuh dan dimanifestasikan oleh Mohanes bersama dengan aktor lain (para Inquisitor). Analytically, buku ini mayan ribet buat menjelaskan kosmopolitanisme yang dimaksud, tapi sangat mencerahkan terutama bagi pembaca yang mencoba melihat posisi aktor non-Eropah Barat dalam perkembangan sains.
Michael Gordin, Scientific Babel: The Language of Science from the Fall of Latin to the Rise of English
Babel babel apa yang berat? Angkat ba(r)bel. Ehekrikehe. Jadi buku ini ditulis oleh Gordin tentang perubahan dan perkembangan bahasa di dunia ilmu pengetahuan Eropah (kurang lebih dari tahun 1870-an). Gimana sih ceritanya para ilmuwan (dalam buku ini para ahli kimia) bekerja lewat keterbatasan bahasa, termasuk usah mereka menciptakan bahasa untuk melampaui sang Babel ntu. Ceritanya macem-macem, dari soal mistranslasi, problem of “silence” (karya-karya ilmiah yang tidak diterjemahkan), persoalan audiensi, sampai dominasi Bahasa Inggris. Saya suka buku ini karena betul menceritakan ilmuwan sebagai buruh yang sehari-hari bekerja untuk terus keep up dengan sains tapi juga mempertahankan identitasnya lewat bahasa. Bukunya juga enak banget dibaca, si Gordin nulisnya kocak bet, terus dia banyak catatan kaki buat naruh bahasa asli dari kutipannya; semacam demonstrasi tentang dunia poliglot ilmu pengetahuan.
Julie Cruikshank, Do Glaciers Listen? Local Knowledge, Colonial Encounters, and Social Imagination
Pertemuan sejarah sains dan lingkungan memang punya daya tarik sendiri oy. Dan judul cem gini (yang pertama kali kutemukan di salah satu bab-nya Timothy Mitchell “Can the Mosquito Speak?”) mengajak pembacanya untuk membayangkan ahensi subjek alam. Lewat studi sejarah oral/etnografisnya, Cruikshank mengeksplorasi perbedaan pandangan soal glasier di sekitar Gunung Saint Elias. Lewat cerita perempuan-perempuan Tlingit, Cruikshank menyajikan kisah gunung, pengetahuan asli (indigenous knowledge) yang kemudian berkompetisi dengan narasi kolonialisme. Buku ini mengajak pembaca kembali mengingat kelindan antara alam dan budaya di mana kategori-kategori tidak sepenuhnya dapat menjelaskan eksistensi, fenomena, dan kelekatan glasier/manusia.
Timothy Mitchell, Rules of Experts: Egypt, Techno-Politics, Modernity
Buku ntap yang kubaca pas lagi gencer-gencernya baca soal produksi pengetahuan di dunia pembangunan. Buku ini cem lanjutan dari buku Mitchell sebelumnya, Colonising Egypt, dengan penjelasan konseptual soal kapitalisme dan economy/economic yang menurut saya mayan ribet (huks). “Keribetan” di buku ini bagian dari argumen Mitchell soal jejaring, praktik, dan institusi kekuasan yang penuh kemungkinan (contingency is everywhere omagah), yang kemudian membentuk kategori-kategori dalam ilmu sosial (ekonomi, ekologi, you name it). Mitchell membuka buku ini dengan “Can the Mosquito Speak?” cem memaksa pembaca berpikir soal keterbatasan human reason dan proyek-proyek modernisasi (baca: pembangunan) di hadapan realitas perang, epidemik, dan “kegagalan” pertanian.
Kate Ramsey, The Spirits and the Law: Vodou and Power in Haiti
Pertanyaan-pertanyaan apa itu sains apa itu non-sains cukup dominan di wacana STS dan sejarah sains. Buku ini salah satu usaha Ramsey untuk mempertanyakan proses terciptanya batas sains/non-sains dengan menelusuri bagaimana vodou menjadi obyek hukum di Haiti selama lebih dari 150 tahun. Ramsey gils bet karena dia nelusurin perubahan-perubahan istilah vadoux di dokumen-dokumen legal berbarengan dan praktik dan representasi politik di Haiti. Keberadaan hukum yang mengilegalkan praktik vodou sekaligus mengakui eksistensinya sejatiya menciptakan batasan pun juga mengkaburkan batasan itu sendiri. Double movement, much?
Sean Lei, Neither Donkey Nor Horse: Medicine in the Struggle Over China’s Modernity
Buku paporit saya di kelas ini! Bercerita tentang bagaimana ilmu pengobatan China mengalami perubahan, dari yang di awal abad keduapuluh adalah antitesis modernitas menjadi simbol dan kendaraan China buat mengeksplorasi modernitas seabad kemudian. Saya suka dengan bagaimana Lei melihat sejarah pengobatan China yang seperti bertumbuh bersama-sama dengan pengobatan Barat juga bangkitnya nasionalisme negara-bangsa. Lei menggunakan istilah “neither donkey nor horse” untuk merujuk ke proses kategorisasi berbasis tradisi murni yang kurang berhasil. Tapi justru pengobatan campuran cem gini berhasil bertahan; ada proses swa-inovasi dan negosiasi, proses menantang dan mencari bentuk yang tidak “tradisional” juga bukan “modern”. Buku ini sebenarnya jadi pembuka penting buat saya masuk ke literatur-literatur sejarah Asia Timur yang temanya cukup banyak soal modernitas ini.
Historiographical Review of Rice and Technology in Asia
Saya milih topik soal beras dan teknologi karena sekaligus buat ngerjain proyek Arryman paper uehehe.
Francesca Bray, The Rice Economies: Technology and Development in Asian Societiess
Di buku ini Bray membahas teknologi dan moda produksi padi/beras Asia. Berangkat dari model perubahan sos-eko Eropa, Bray mencoba melihat perbedaan kontras di antara kedua region ini. Apa yang disebut “teknikal” dalam moda produksi beras di Asia tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang mekanik. Justru orientasi teknis pertanian padi Asia adalah “skill”, singkatnya kebutuhan akan tenaga kerja. Bray mengkomplekskan argumen agronomis era 1970-awal ’80an yang bicara banyak soal transisi mekanik untuk mengganti labor input, dan lebih banyak membahas bagaimana proses pergantian input itu (yang membutuhkan investasi kapital) justru mengubah relasi buruh-modal. (Saya pikir mereka yang baca teks-teks Marx/Maxist mayan khatam soal beginian).
Suzanne Moon, Technology and Ethical Idealism: A History of Development in the Netherlands East Indies
Buku inilah yang sebenarnya memengaruhi saya banget banget banget buat masuk disiplin sejarah. Penelusuran Moon tentang teknologi pertanian di Hindia Belanda tahun 1900-1942 memberikan banyak banget insights soal persoalan pembangunan. Satu elemen yang sangat aku perhatikan di buku ini adalah proses pembuatan dan implementasi kebijakan (so-called) etis a.k.a betapa kompleksnya komunikasi antar para pegawai pemerintah kolonial termasuk debat di antara para petinggi kolonial soal prioritas komoditas (beras atau gula) terutama setelah 1928 (menuju krisis ekonomi 1930an yoy). Teknologi di buku Moon ini memang akhirnya jadi elemen yang sangat fleksibel, tergantung kebijakannya apa, termasuk tegangan soal subsistence crops atau cash crops. Meskipun semakin ke sini saya semakin mengambil posisi yang aga beda dari cara beliau melihat pembangunan, saya berutang budi pada karyanya yang membuat saya banyak berpikir ulang tentang cara “menyajikan” kritik terhadap proyek-proyek pembangunan.
Nick Cullather, The Hungry World: America’s Cold War Battle against Poverty in Asia
Sejarah hubungan luar negeri AS yang berkutat di persoalan pangan internasional. Saya sempat baca buku ini sekilas ketika masih di Manchester dan sedang nulis paper untuk kelas Global Political Economy soal agricultural development. Impresi pertama: narasi yang sangat baik tentang kekuatan AS mendominasi wacana pangan global. Setelah baca ulang (dan lebih detail), pemahaman saya jadi banyak yang berubah. Teknologi, yang digunakan oleh AS, justru memiliki pengertian dan pemahaman fungsional jauh sekedar dominasi wacana. Teknologi jadi “pajangan” modernitas, sebagai alat legitimasi proyek-proyek pembangunan untuk membangunkan petani yang diasumsikan masih “tradisional”. Salah satu yang menjadi catatan utama saya bukan hanya di teknologi berbentuk mesin atau benih persilangan, tapi juga dalam bentuk pengetahuan–peran para antropolog dan sosiolog di era 1960-80an yang juga memungkinkan wacana kemiskinan/pembangunan menemukan arus utamanya.
Franscesca Bray (ed.), Rice: Global Networks and New Histories
Buku editan ini seru banget dibaca buat mereka yang tertarik dengan sejarah komoditas global. Cakupan buku ini mayan luas, dari pembahasan soal jalur perdagangan beras, tenaga kerja, keahlian saintifik dan teknologi, dan lingkungan, termasuk perdebatan soal “black rice” dan rasisme di Amerika Serikat. Buku ini dibagi menjadi tiga tema. Tema pertama, “Purity and Promiscuity”, membahas debat soal program persilangan benih padi dan pembangunan pertanian. Ada eksplorasi yang menarik soal persoalan teknis dan praktis, yaitu soal kombinasi sistem pertanian dengan aktivitas ekonomi yang lebih luas. Salah satu babnya, misal, membahas bagaimana pedagang China awal abad duapuluh memiliki intensi penggunaan teknik tanam yang berbeda dengan para elit teknokrat. Tema kedua berbicara soal aspek lingkungan. Tidak hanya faktor iklim dan cuaca tapi juga soal keterhubungan padi, kelaparan, dan malnutrisi. Tema terakhir berbicara soal politik dan kekuasaan. Area ini bicara banyak soal institusi, daya pasar, juga usaha strukturisasi ekonomi nasional berbasis beras. Padi/beras sebagai salah satu komoditas dalam siklus produksi/konsumsi menjadi objek untuk menentukan model pembangunan top-down.