Hiraukanlah Permohonanku

Diterjemahkan dari cerpen “Heed My Plea” karya Osamu Dazai yang telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh James O’Brien di kumpulan cerita Crackling Mountains and Other Stories (1989).  


Dengarkan aku! Dengar! Biar kukatakan kepadamu, guruku itu adalah orang yang mengerikan. Betul mengerikan. Ia menjengkelkan. Dan licik. Ah, aku tidak tahan! Jauh-jauhlah darinya!

Baik, baik, aku akan tenang. Tapi kalian harus mengakhiri hidupnya—ia melawan para umat. Ya, aku akan menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir. Dan aku tahu di mana ia berada, aku akan segera membawa kalian ke tempat dia berada. Acungkan pedangmu padanya, dan jangan beri ampun. Betul dia adalah guruku dan tuhanku, tapi umurku juga tiga-puluh-tiga; dia cuma lebih tua dua bulan dariku, jadi kami tidak jauh berbeda. Arogansinya, penghinaan itu …. Bayangkan, ia menyuruh-nyuruhku! Oh, cukup! Aku tidak tahan—lebih baik aku mati daripada menahan amarah. Harus berapa kali lagi aku menutupi-nutupi diriku untuknya? Tidak ada yang peduli—ia pun tidak. Aku tarik ucapanku, ia mengetahuinya. Ia sadar sunggguh, dan justru itulah yang membuatnya makin menghinaku. Ia juga penuh keangkuhan, menolak semua bantuan yang aku tawarkan padanya. Ia sangat congkak, sampai-sampai mempermalukan dirinya sendiri. Ia yakin bahwa menerima bantuan dari seseorang sepertiku membuatnya terlihat lemah. Ya itu pun karena ia putus asa ingin membuat orang lain percaya pada kemampuannya yang tanpa batas itu! Kebodohan belaka! Dunia tidak bekerja seperti itu. Kita harus tunduk pada seseorang lebih dulu sebelum melakukan sesuatu. Itulah satu-satunya cara—berusaha satu langkah lebih maju sembari meninggalkan yang lain di belakang. Sungguh, apa sih yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Ia seperti domba yang tersesat di hutan. Tanpa aku dia sudah lebih dulu di padang rumput terlantar, dengan murid-muridnya yang tidak berguna. “Serigala mempunya liang dan burung mempunyai sarang, tapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya.” Sebuah bukti! Kalian bisa melihatnya kan?

Dan apa sih bagusnya Petrus? Atau Yakobus, Yohanes, Andreas, dan Tomas? Mereka itu orang-orang goblok! Mereka hanya mengikutinya dari belakang, menuturkan pujian-pujian mereka yang dingin dan sok manis. Mereka terhanyut oleh wacana gila soal sorga, dan ingin jadi semacam bangsawan ketika hari kerajaan itu sudah dekat. Orang-orang goblok itu bahkan tidak bisa mendapatkan roti sehari-hari mereka di dunia ini. Bukankah aku yang membuat perut mereka kenyang? Bukankah aku yang membuat dia berkhotbah dan membujuk orang-orang di keramaian itu untuk memberikan sumbangan? Bukankah aku yang membuat para orang kaya di desa turut berkontribusi? Aku jugalah yang tiap hari berbelanja dan mengawasi barang-barang bawaan kami. Aku melakukan semuanya dan juga tidak mengeluh. Tapi tidak ada sama sekali ucapan terima kasih yang aku dapatkan, entah dari dia atau dari murid-murid goblok itu. Setiap hari aku memperbudak diriku sendiri. Alih-alih berterima kasih, ia malah berpura-pura tidak tahu. Dan tentu ia akan memberi perintah untuk melakukan hal yang tidak mungkin: “Beri mereka makan!” desaknya, ketika kami cuma punya lima roti dan dua ikan. Aku harus berusaha di balik panggung untuk memenuhi perintahnya. Ah ya, aku mengakui bahwa aku membantunya lagi dengan keajaiban dan trik sulap itu.

Mungkin hal-hal ini membuatku terlihat sebagai orang yang pelit. Aku sama sekali tidak pelit; aku adalah orang punya selera. Aku melihatnya sebagai seseorang yang menawan, juga polos tanpa ada sedikit pun ketamakan. Itulah mengapa meskipun aku berhemat dan menyimpan uang untuk membeli roti tiap hari, aku tidak pernah membencinya karena memboroskan uang kami. Ia seorang pria dengan jiwa menawan, dan aku menghargainya meskipun aku hanyalah seorang pedagang miskin. Aku tidak pernah pusing ketika ia menghabiskan semua uang kecil yang berusaha aku kumpulkan. Anda saja ia memiliki kata-kata yang baik untukku … ketimbang semua kebencian ini.

Ia cuma pernah berbaik hatiku sekali. Waktu itu musim semi dan kami sedang berjalan di sepanjang pantai ketika ia tiba-tiba memanggilku dan berkata, “Kamu telah membantuku dalam banyak hal, dan aku menyadari ketika kamu merasa kesepian. Tetapi kamu tidaklah harus terlihat begitu tertekan. Cuma orang munafik yang membiarkan perasaannya terlihat, berharap orang lain tahu kesedihannya. Kamu mungkin kesepian, tapi cucilah mukamu, rapikan rambutmu dengan minyak, dan tersenyumlah seakan tidak ada sesuatu yang salah. Itulah jalan orang yang sungguh percaya. Apakah kamu tidak cukup mengerti? Dengar, kita mungkin tidak dapat melihat Bapa, tapi Ia dapat melihat ke dalam lubuk kati kita. Tidakkah itu cukup untukmu? Tidak? Betul tidak? Ya, tetapi semua orang kesepian.”

Mendengar kata-kata itu aku merasa ingin berteriak, “Aku tidak peduli apakah Bapa Sorgawi tahu tentangku atau tidak. Juga orang lain. Aku sudah cukup puas selama kau tahu. Aku mencintaimu. Murid-murid lain juga mencintaimu, tapi tidak sepertiku. Aku mencintaimu lebih dari yang lain. Petrus dan dua Yakobus mengikutimu hanya karena mereka menginginkan sesuatu, tapi aku sendiri mengerti dirimu. Dan pun aku tahu tidak ada hal apapun yang akan datang dengan mengikutimu, dan aku juga bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa meninggalkanmu. Tanpa dirimu, aku musnah begitu saja. Aku tidak dapat melanjutkan hidup. Aku menyimpan ini semua sampai sekarang. Kenapa kamu tidak tinggalkan saja murid-murid tidak berguna itu dan berhenti berkhotbah tentang kehendak Bapa Sorgawi. Jadilah manusia biasa dan habiskan sisa hidupmu dengan bundamu Maria dan denganku. Aku masih memiliki sebuah rumah kecil di desa asalku. Anggrek besar itu masih ada di sana, juga orangtuaku yang semakin uzur. Di musim semi seperti ini, bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Kamu dapat menghabiskan sisa hidupmu dalam kenyamanan. Dan aku akan selalu dekat, cemas untuk selalu membantumu. Carilah perempuan yang baik dan pinanglah dia menjadi istri.”

Setelah aku berbicara, ia tersenyum sendu dan berbisik seperti kepada dirinya sendiri, “Petrus dan Simon adalah nelayan. Mereka tidak memiliki anggrek yang bagus. Yakobus dan Yohanes juga nelayan miskin. Mereka tidak punya tanah untuk menghabiskan waktu mereka dalam kenyamanan.”

Ia melanjutkan langkah-langkahnya yang tenang di sepanjang pantai, dan setelah itu kami tidak pernah lagi berbicara secara intim satu sama lain. Ia tidak akan lagi mengungkapkan isi hatinya padaku.

Aku mencintainya. Jika ia mati, aku akan mati bersamanya. Ia adalah milikku—cuma milikku sendiri, dan aku akan membunuhnya ketimbang menyerahkannya. Aku meninggalkan ayahku, ibuku, dan tanahku. Aku mengikutinya sampai sekarang. Tapi aku tidak percaya sorga atau Allah, dan aku juga tidak percaya ia akan bangkit dari kematian. Dia sang Raja Israel? Murid-murid goblok itu percaya dia adalah Anak Allah, dan itulah alasan mereka selalu melonjak tiap ia berbicara tentang Kabar Baik Kerajaan Allah. Aku yakin, tidak lama lagi mereka akan kecewa. Dia bahkan berkata siapa yang meninggikan diri akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri akan ditinggikan. Dia pikir orang-orang di dunia nyata akan percaya dengan tipuan itu? Pendusta! Satu per satu, dari awal sampai akhir, semuanya omong kosong. Oh, aku tidak percaya dengan yang ia katakan, tapi aku percaya dengan keindahannya. Di dunia ini tidak ada keindahan seperti itu, dan aku mencintainya karena itu — bukan untuk upah apapun. Aku bukan salah satu anteknya yang percaya bahwa Kerajaan Sorga segera datang dan berseru, “Hurah! Aku akan menjadi seorang petinggi di bagian tertentu!” Aku hanya tidak ingin meninggalkannya, itu saja. Aku puas berada di dekatnya, mendengarkan suaranya dan memandang dirinya. Andai ia tidak lagi berkhotbah dan hidup panjang bersama denganku. Ah, andai saja itu mungkin, betapa berbahagianya aku. Aku hanya percaya pada kebahagian di dunia ini. Aku tidak takut akan hari penghakiman nanti.

Mengapa ia tidak menerima cinta tulus tanpa pamrihku ini? Ah, bunuhlah dia untukku! Aku tahu di mana dia, dan aku akan membawa kalian ke sana. Ia membenciku, menghinaku. Dicemooh — ya itulah aku. Tetapi ia dan murid-muridnya kelaparan tanpaku. Kenapa dia bisa memperlakukan seperti itu ketika aku menjaga agar mereka semua makan dan memiliki pakaian?

Coba dengarkan! Enam hari lalu seorang perempuan dari desa datang dan tetiba masuk ke dalam ruangan tempat ia makan malam dengan Simon di rumah Betania. Maria, adik perempuan Marta, membawa buli-buli pualam berisi minyak narwastu. Tanpa sepatah kata Maria mencurahkan minyak itu ke kepalanya sampai ke kaki—dan tidak meminta izin padanya. Tidak, Maria hanya duduk di situ, diam tenang, dan mulai mengusap kakinya dengan rambut.

Semua itu terlihat aneh karena ruangan menjadi penuh aroma minyak. Lalu aku berteriak marah pada perempuan itu—ia sangat tidak sopan! Lihat! Kataku, tidakkah kainnya menjadi basah? Dan menghamburkan minyak semahal itu—tidakkah itu sebuah kejahatan? Perempuan goblok! Tidakkah ia menyadari bahwa harga minyak itu tiga ratus dinar? Betapa berbahagiannya orang-orang miskin jika minyak itu dijual dan hasilnya diberikan kepada mereka. Kesia-siaan.

Setelah aku memarahinya, ia menatapku tajam dan berkata, “Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik padaku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi aku tidak akan selalu bersama-sama kamu. Ketika ia mencurahkan minyaknya ke tubuhku, itulah caranya mempersiapkan penguburanku. Aku berkata padamu: sesungguhnya di mana saja Injil diberitakan, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.” Setelah ia selesai berbicara, pipi pucatnya sedikit merona.

Aku biasanya tidak percaya dengan apa yang ia katakan, dan aku bisa dengan mudah mengabaikannya sebagai sesuatu yang berlebihan. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sebuah keasingan dalam suaranya dan juga perawakannya. Sesuatu yang tidak pernah aku lihat. Sekilas aku tidak hirau; tapi aku melihatnya lagi pipinya yang merona dan matanya yang berbinar-binar, dan tiba-tiba aku sadar! Sungguh mengerikan! Terlalu memalukan untuk diceritakan. Seorang perempuan desa kotor—dan ia jatuh cinta pada .. Bukan, bukan seperti itu—tentu bukan seperti itu. Tetapi tetap ada sesuatu yang mirip seperti perasaan cinta itu. Bukankah ini yang ia rasakan? Ia sungguh memalukan, sedikit tergerak karena perempuan desa bodoh itu. Sebuah skandal besar.

Seumur hidupku aku memiliki kemampuan yang telah teruji untuk menangkap emosi-emosi memalukan. Satu pandangan saja dan aku menemukan kelemahan itu. Tidak terlalu kentara memang, tapi perasaannya pada perempuan itu, istimewa. Tidak terbantahkan lagi. Betul ini kebenaran, mataku tidak dapat keliru.

Tidak, tidak bisa seperti itu! Sungguh tidak dapat ditoleransi! Ia terperangkap dalam sebuah jebakan. Tidak pernah ia terlihat sebegitu menggelikannya. Tidak peduli betapa besar cinta seorang perempuan padanya, ia selalu tetap menawan, tenang seperti air mengalir. Tidak pernah sedikitpun ia terlihat gusar. Lalu kemudian ia menyerah, dasar pelasuh. Dia masih muda, mungkin memang alamiah. Tapi aku cuma beda dua bulan darinya, jadi kami di usia yang sama. Kami sama-sama muda, tapi akulah yang menahan diri. Aku memberikan hatiku hanya padanya dan menolak untuk mencintai perempuan manapun.

Marta sang kakak perempuan memiliki perawakan yang kuat; ya ia besar seperti seekor lembu, dan memiliki watak yang keras juga. Ia melakukan pekerjaan rumahnya mati-matian–itulah keunggulannya. Jika tidak, ia hanyalah seorang perempuan desa biasa. Tapi Maria adiknya, berbeda. Ia memiliki tubuh yang halus dan kulit yang mulus. Tangan dan kakinya mungil dan bulat, dan kedua mata besarnya dalam dan jernih seperi danau. Maria seperti sebuah lamunan nan jauh dan mungkin itulah yang membuat orang-orang desa mengagumi keanggunannya. Bahkan aku pun tercengang, sampai-sampai berpikir untuk membelikannya sesuatu di kota, mungkin sutra putih. Oh, aku mulai melantur. Apa yang tadi ingin aku ceritakan … Oh ya, aku muram. Sungguh tidak masuk akal. Ingin rasanya menginjak kakiku sendiri dalam kejengkelan. Jika dia muda, aku juga. Aku juga punya sesuatu dalam diriku, dan aku pria baik-baik dengan sebuah rumah dan anggrek di sekitar. Aku melepaskan semuanya hanya untuk meyadari bahwa tempatku telah direbut. Aku mendapati bahwa ia adalah seorang gadungan.

Tuan, ia mengambil perempuanku. Tidak! Bukan itu! Perempuan itu mengambilnya dariku. Ah, bukan begitu juga. Aku hanya banyak mulut—jangan percaya sepatah kata pun. Aku bingung, dan kalian harus maklum. Tidak ada kebenaran dalam ocehanku. Hanyalah omelan dan racauan—tidak lebih. Tapi aku malu, sangat malu sampai ingin mengoyakkan dadaku. Aku tidak bisa mengerti mengapa ia merasa seperti itu. Ah, kecemburuan adalah kejahatan tak tertahankan, tapi kerinduanku padanya sangat besar sampai-sampai aku meninggalkan hidupku dan mengikutinya hingga saat ini. Tetapi ia tidak pernah menghiburku dengan ucapan baik, ia berkenan kepada perempuan desa licik, bahkan tersipu ketika dekat dengan perempuan itu. Ya, dia memang seorang pelasuh. Tidak ada harapan baginya. Dia medioker—bukan siapa-siapa. Jadi bagaimana kalau dia mati. Mungkin aku kerasukan setan, tiba-tiba aku memiliki pikiran yang menakutkan. Toh ia akan dibunuh, pikirku, jadi kenapa aku tidak melakukannya? Terkadang ia bertindak seolah-olah ia menginginkan seseorang membunuhnya. Jadi aku akan melakukannya dengan tanganku sendiri. Aku tidak mau orang lain yang melakukannya. Aku akan membunuhnya, lalu aku sendiri akan mati. Tuan, aku merasa malu dengan semua air mata ini. Ya, baik, aku tidak akan menangis lagi. Ya, ya, aku akan berbicara dengan tenang.

is-judas-iscariot-in-hell_3.jpg

Hari berikutnya kami menuju ke Yerusalem, kota impian kami. Ketika kami berjalan mendekat ke bait, segerombolan orang tua muda mengikutinya. Ia melihat seeker keledai berdiri sendirian di jalan, dan sambil menunggangi binatang itu ia tersenyum, memandang murid-muridnya dan berbicara tentang kepenuhan ramalan. “Katakanlah kepada puteri Sion, ‘Lihat, Rajamu yang lemah lembut datang kepadamu, mengendarai seekor keledai.’” Kejadian ini membuatku gundah. Figur yang menyedihkan. Apakah ini caranya Anak Daud datang ke Bait Yerusalam untuk Paskah yang dinanti-nanti? Inikah pertunjukan yang selalu ia dambakan? Membuat dirinya sebagai sebuah tontonan dengan keledai tua, tertatih-tatih? Aku cuma bisa kasihan padanya karena melakukan sandiwara menyedihkan ini. Ah, pria itu selesai. Jika ia hidup lebih lama lagi, ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Setangkai bunga tidak akan hidup jika layu—lebih baik dipotong ketika sedang mekar. Aku sangat mencintanya, dan aku tidak peduli jika orang lain membenciku. Aku lebih yakin bahwa aku harus membunuhnya segera.

Kerumunan itu makin lama makin membesar, dan kain-kain merah, biru, dan kuning bertebaran di sepanjang jalan. Orang-orang menyambutnya dengan sahutan dan berbaris membuka jalan dengan tangkai-tangkai palem. Di belakang, di depan, samping kiri dan kanan, kerumunan itu bergerak seperti ombak besar, mendorong mendesaknya dan keledai tumpangannya, sambil berseru, “Hosana bagi Anak Daud. Diberkatilah Ia yang datang dalam nama Tuhan. Hosana di tempat yang Mahatinggi.”

Petrus, Yohanes, Bartolomeus, dan murid-muridnya—para goblok—saling merengkuh satu sama lain dengan gembira dan bertukar tangis cium, seakan-akan mereka sedang mengikuti seorang jenderal yang menang atau melihat Kerajaan Sorga dengan mata mereka sendiri. Petrus si keras kepala memegang Yohanes dan menangis bahagia. Ketika aku melihat ini semua, aku teringat hari-hari kemiskinan dan kesulitan ketika kami berkelana memberitakan injil. Air mata hangat mengalir dari pelupukku.

Lalu ia memasuki bait dan turun dari keledai. Entahlah apa yang merasuki dirinya, tapi ia mengambil sebuah tali dan mulai mengacungkannya ke arah lembu dan domba yang sedang dijual, juga menghancurkan meja-meja penukaran uang dan dipan duduk penjual merpati. “Rumahku adalah rumah doa,” hardiknya, “tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” 

Apakah dia gila? Kenapa orang ini bertingkah seperti pemabuk? Orang banyak yang terheran-heran melihat tingkahnya bertanya apa yang ia bicarakan, dan dengan terengah-engah, ia menjawab: “Aku dapat merobohkan Bait Allah dan membangunnya kembali dalam tiga hari.” Bahkan murid-murid sederhana itu hanya dapat memandangnya, tidak mampu menerima pernyataan itu. 

Tapi aku tahu apa yang sedang ia lakukan—ia sedang pamer seperti bocah. Karena ia terus-terusan bicara bahwa segala sesuatu mustahil dalam iman percaya kepadanya, inilah saatnya untuk unjuk gigi. Tapi masa ia memukul-mukulkan seutas tali dan mengejar para pedagang malang itu, sih? Cara yang sangat bakhil untuk membuktikan sesuatu! Aku hampir menyunggingkan senyum padanya karena kasihan. Kalu bentuk protes dan sanggahan artinya cuma menendang kursi meja pedagang buruh merpati, mampuslah dia. Harga dirinya musnah, ia sepertinya sudah tidak peduli lagi. Dan ia akan ditangkap selama Paskah dan meninggalkan dunia, sebelum kelemahannya makin terlihat. Ketika aku menyadari maksud tindakannya, aku akan menyerahkan dirinya. Sungguh jenaka ketika aku berpikir aku pernah cinta buta pada anak anjing sombong ini.

Saat ini ia sedang menghadapi sekumpulan orang di bait dan memuntahkan caci maki paling kasar. Aku benar—orang ini memang terlihat putus asa. Di mataku ia bahkan terlihat cukup kotor dan kusut. Ia hanya ingin dibunuh.

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu para munafik! Cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan! Hai orang Farisi buta! Bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu para munafik! Kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih; yang sebelah luarnya memang tampak bersih, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebalah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

“Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?

“Oh Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.”

Bodoh dan menggelikan—itulah yang kupikirkan. Perutku bahkan bergejolak mengulang kata-katanya. Mengapa, orang yang mengucapkan kata-kata itu pastinya gila. Ia juga menyampaikan hal-hal omong kosong lain—kelaparan, gempa bumi, bintang-bintang jatuh dari langit, bulan tak bercahaya, burung nasar berkumpul mematuk bangkai yang memenuhi tanah, tangis dan kertak gigi. Ia berbicara dengan cara yang sembrono, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri. Sebuah kegilaan—orang itu tidak tahu tempat. Tapi ia tidak akan berhenti begitu saja. Salib adalah perhentian terakhirnya—itu pasti.

Kemarin aku mendengar dari seorang penjaja di kota bahwa para tetua dan imam mengadakan pertemuan rahasia di pengadilan dan memutuskan untuk menghukum dia. Aku juga tahu kalau mereka ketakutan orang-orang akan memberontak jika dia ditangkap di tempat umum, jadi tigapuluh keping perak akan diberikan pada siapapun yang melaporkan ketika ia sedang sendiri dengan murid-muridnya. Ia toh akan mati, jadi tidak ada waktu untuk menyerah. Pikirku, lebih baik aku menyerahkannya ketimbang membiarkan orang lain melakukannya. Adalah tugasku untuk mengkhianatinya, tanda cinta abadiku yang terakhir. Tapi keputusan ini akan membuatku berada di posisi yang sulit—aku bertanya-tanya, akankah seseorang mengakui pembaktian diriku di balik tindakan ini? Ah tidak ada bedanya, karena tindakanku adalah sebuah cinta murni yang tak membutuhkan pengakuan. Dan jika orang-orang selamanya memandangku hina dan aku berakhir menderita di api neraka kekal, itu pun karena cintaku padanya yang tak terpadamkan. Aku sangat yakin untuk menuntaskan misi ini hingga aku menggigil, gemetar ketakutan ketika memikirkannya. Diam-diam aku mencari kesempatan, dan akhirnya, di hari Perjamuanlah, kesempatan itu datang,

Kami menyewa sebuah ruangan di lantai dua, di tempat makan tua di atas bukit. Tiga belas dari kami, Guru dan murid-murid, duduk di ruangan redup hendak memulai makan malam ketika ia tiba-tiba bangkit dan menanggalkan jubahnya tanpa sepatah kata. Apa yang ia lakukan? Kami bertanya-tanya. Kami memerhatikannya mengambil buyung air dari meja dan membawanya ke pojok ruangan. Lalu, dengan kain lenan putih bersih yang terikat di pinggangnya, ia mulai membasuh kaki kami. Ketika ia sedang membasuh kaki salah satu murid, yang lain hening, diam dalam kebingungang. Aku sendiri merasakan ada sesuatu yang merasuk di kepala Guru.

Ia sendirian—dan sangat ketakutan sampai-sampai ia melekat pada sekumpulan bigot bodoh ini. Sangat disayangkan. Ia tentu menyadari nasib apa yang sedang menunggunya. Bahkan ketika aku memerhatikannya, aku merasakan teriak mencekat di tenggorokanku sampai tiba-tiba aku ingin merengkuhnya dan menangis. Ah, betapa menyedihkan. Siapa yang bisa menuduhmu? Kamu selalu baik dan adil, kawan bagi para miskin, dan selalu bergelimang keindahan. Aku mengerti bahwa kamu benar-benar Anak Allah. Kumohon maafkanku, dua tiga hari ini aku telah mencoba mencari kesempatan untuk mengkhianatimu. Tapi tidak lagi. Berpikir untuk mengkhianatimu adalah sungguh kejahatan! Yakinlah, bahkan jika lima ratus aparat atau seribu prajurit datang, mereka tidak akan menyentuhmu sama sekali. Tapi mereka sedang mengintai, jadi waspadalah. Dan mari kita bergerak juga. Ayo, Petrus. Kamu juga Yakobus. Ayo, Yohanes. Semuanya, ayo! Marilah kita menghabiskan sisa hidup kita melindungi Guru kita yang lemah lembut.

Aku merasakan cinta mendalam padanya, tapi aku tidak mengungkapkannya. Ada keluhuran yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Air mata penyesalan yang mengalir di pipiku sepertinya sepakat. Akhirnya ia membasuh kakiku—sungguh tenang dan lembut, dan ia mengusap dengan kain dari pinggangnya. Oh, caranya menyentuhku! Ah, momen itu membuatku merasa di sorga.

Setelah itu ia membasuh kaki Filipus dan Andreas. Selanjutnya adalah Petrus, dan orang lugu itu tidak dapat menyembunyikan perasaan was-wasnya. Bibirnya mengerut, dengan jengkelnya bertanya, “Guru, mengapa kau membasuh kakiku?”

“Ah, kamu tidak mengerti apa yang sedang kulakukan, tapi suatu hari nanti kamu akan mengerti,” sang guru menegur dengan lembut, berjongkok di sebelah Petrus. Tapi Petrus semakin degil. “Tidak! Tidak akan! Engkau seharusnya tidak membasuh kakiku, karena aku tidak layak,” katanya lalu menarik kaki.

Suaranya sedikit meninggi, sang Guru mengingatkan: “Jika aku tidak membasuhmu, kamu tidak bersekutu denganku.” Petrus terkejut, ia menunduk dan memohon dengan sangat, “Ah, maafkan aku. Jangan hanya kakiku saja, Tuhan, basuhlah tangan dan kepalaku juga.”

Aku tidak dapat menyembunyikan tawaku. Murid lain menyeringai, dan seluruh ruangan menjadi lebih cerah. Ia juga tersenyum dan berkata pada Petrus, “Seseorang yang sudah mandi, tidak perlu lagi membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Bukan hanya kamu. Tapi Yakobus dan Yohanes juga. Kamu semua bersih dan tanpa cela. Semua kecuali …” Ia berhenti dan berdiri tegak. Sekilas matanya memancara penderitaan tak terperi. Mata itu segera menutup dan tidak terbuka. “Kecuali … tidak semua dari kamu bersih…”

Aku segera berpikir—Aku! Akulah yang ia maksud! Ia telah melihat kemurunganku sesaat lalu dan tahu bahwa aku berencana mengkhianati dia. Tapi sekarang semua sudah berubah—aku telah berubah pikiran. Aku telah dibersihkan dan hatiku telah terbaharui. Ah, tapi dia tidak menyadarinya. Ia tidak melihatnya. Tidak! Kau salah! Aku ingin berteriak menangis, tapi kata-kata itu tersendat di tenggoranku dan aku menelannya keras seperti ludah. Aku tidak dapat berbicara. Aku bungkam.

Setelah ia selesai berbicara, sesuatu yang jahat muncul dari dalam diriku. Tanpa perlawanan aku menyerah pada perasaan itu, di mana kecurigaan kecut bahwa aku mungkin kotor berkembang menjadi awan gelap, buruk meliputiku diriku dan meledak menjadi kemarahan akan yang benar. Apa! Celaka? Aku celaka? Ia membuangku dari lubuk hatinya yang dalam. Khianati dia! Kataku pada diriku sendiri. Ya, khianati dia! Aku akan membunuhnya—dan diriku sendiri. Keputusanku yang sebelumnya hidup kembali, dan aku menjadi setan pembalas dendam. Tanpa menyadari goncangan perasaanku yang menjadi-jadi, ia mengambil jubahnya, perlahan mengenakannya dan duduk di meja. Ketika ia berbicara, wajahnya pucat.

“Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu?” tanyanya. “Kamu menyebut aku ‘Guru’ dan ‘Tuhan,’ dan katamu itu tepat, sebat memang akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau aku, yang adalah Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamupun harus saling membasuh kakimu. Aku tidak selalu bersama-sama denganmu, dan aku telah memberikan sebuah teladan kepada kamu. Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” Dengan letih ia mengucapkan kata-kata ini, lalu mulai makan dalam hening. Sambil menundukkan kepalanya, ia berkata sekali lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan mengkhianati aku.” Ada kedukaan mendalan di suaranya, seakan ia menangis sekaligus melenguh.

Para murid mundur terkejut. Mereka berdiri, menjatuhkan kursi mereka, dan mendekatinya. “Apakah aku, Tuhan? Guru, apakah yang kamu maksud itu aku?” teriak mereka. Seperti seseorang yang telah tertuduh, ia bahkan tidak menggerakan kepalanya. “Dialah itu, yang kepadanya aku akan memberikan roti, sesudah aku mencelupkannya. Celakalah ia yang menyerahkan Anak Allah. Akan lebih baik baginya jika ia tidak pernah dilahirkan.” Baginya, kata-kata ini sangat tidak biasa. Setelah ia mengucapakan itu semua, ia mengambil roti, mencelupkannya, lalu meregangkan tangannya, menyuapkan roti itu ke mulutku.

Ketimbang merasa malu, aku merasakan kebencian. Keberanianku tiba-tiba muncul kembali, dan aku membencinya karena sekali lagi menjadi jahat padaku—ia kembali menjadi dirinya yang lama, mempermalukanku di depan yang lain. Dia dan aku seperti api dan air; dan kami akan selalu terpisah. Menyuapkan sepotong roti ke mulutuku seperti ia memberik makan anjing atau kucing—apakah cuma ini yang bisa dia lakukan untuk membalas dendam? Ha! Goblok! Tuan, ia lalu mengatakan padaku untuk segera melakukannya, maka aku pun lari dari tempat itu dan menuju jalan gelap secepat yang aku bisa. Aku sampai di tempat ini sesaat yang lalu, dan aku telah bergegas mengajukan permohonanku. Kalian harus menghukumnya—hukum dia sebisa kalian. Kalian bisa menangkapnya dan memukulnya dengan tongkat, telanjangi dan salibkan dia. Aku sudah muak padanya; sungguh buruk . . . menjijikkan … Sebuah penyiksaan untukku … Ah orang itu memang sialan! Dia akan berada di Taman Getsemani, dekat Sungai Kidron. Makan malam sudah selesai, dan sekarang jam untuk berdoa, jadi dia akan di sana dengan para murid. Tidak akan ada orang lain lagi di sekelilingnya. Jika kalian pergi sekarang, kalian dapat menangkapnya dengan mudah. Oh, burung-burung itu membuat keributan, kan? Aku berpikir kenapa aku mendengar mereka berkicau malam ini? Aku ingat bagaimana burung-burung itu mencicit ketika aku sedang lari di hutan. Aneh sekali burung itu bernyanyi di malah hari. Aku seperti anak kecil yang ingin tahu, dan aku ingin mengintip burung berkicau itu. Aku berhenti dan memiringkan kepalaku, melihat ke atas ke arah pohon-pohon  … ah, maafkan aku, aku membuat kalian bosan. Tuan, apakah semuanya siap? Ah, manisnya—aku merasa girang. Malam ini juga jadi malam untukku, ya kan? Tuan, kalian akan merasa sangat baik ketika melihat kami berdiri berdampingan setalah mala mini. Aku akan menunjukkan kepada kalian, Tuan, kami yang berdiri berdampingan. Aku tidak takut padanya. Usia kami sama, dan aku tidak akan merendahkan diriku sendiri. Aku pria muda berkualitas, sama seperti dia. Ah, burung-burung itu ribut sekali. Menggangu sekali! Kenapa sih burung-burung itu bernyanyi mencicit terus-terusan? Kebisingan macam apa ini? Oh ya, uangnya! Kalian mau memberikannya padaku? Tigapuluh keeping perak—untukku? Ah ya, aku tidak terlalu menginginkannya. Ambil uang itu sebelum aku memukulmu. Aku tidak mengajukan permohonan ini demi uang. Ambil! Eh tunggu, tidak, aku tidak bermaksud demikian. Maafkan aku. Aku menerima tawaran kalian. Ya, aku adalah seorang pedagang. Itulah sebabnya pria menawan itu selalu tak acuh padaku. Tapi aku adalah seorang pedagang, jadi aku akan mengambil uang ini. Aku akan sepenuhnya berkhianat, hanya untuk uang suapan. Inilah pembalasan dendam terbaikku. Mengkhianatinya hanya untuk tigapuluh keping perak—dia layak mendapatkannya! Dan aku tidak akan meneteskan air mata karena aku tidak mencintainya. Aku tidak pernah mencintainya sama sekali. Tuan, semua yang aku katakan ini salah; tak perlu mempertanyakan lagi bahwa aku mengikutinya demi uang. Ketika malam ini aku menyadari bahwa ia tidak mengizinkanku mengumpulkan uang, aku cepat berganti sisi, layaknya seorang pedagang. Uang adalah satu-satunya. Oh, puasnya aku! Aku terima kepingan ini. Aku hanyalah pedagang penyomot uang, dan aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak menjadi tamak. Ya, ya, terima kasih, terima kasih. Ya, ya, aku lupa menyebutkan namaku, tapi aku Yudas sang Pedagang. Ya, ya, Yudas Iskariot itu.

 

Leave a comment