Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 29

Bonsai – Alejandro Zambra

I’m effing struck by the beginning of this novel.

In the end she dies and he remains alone, although, in truth he was alone some years before her death, Emilia’s death. Let’s say that she is called or was called Emilia and that he is called, was called, and continues to be called Julio. Julio and Emilia. In the end Emilia dies and Julio does not die. The rest is literature:

Sebuah cerita diawali dengan akhir tentang dua orang manusia, dan berikutnya adalah tentang mereka. Kisah cinta Julio dan Emilia berputar di sekitar sastra: mereka membaca buku-buku yang mereka suka, membacanya keras-keras sebelum bercinta, dan mereka sama-sama saling berbohong telah membaca Proust. Tapi menuju dewasa, jalan keduanya seperti terpisah, bercabang, dan tidak semuanya berakhir menyenangkan. Novel pendek ini adalah kisah cinta sepasang remaja yang merentet ke banyak hal seperti urusan karir masa depan, sastra dan kepenulisan, juga soal menghadapi krisis-krisis fase urip. Zambra menyajikan semua itu melalui cara yang sebenarnya ringkas dan sederhana saja, tapi mampu memikat pembacanya. Bonsai, yang baru muncul di paruh kedua buku, menjadi simbol untuk banyak hal, untuk cinta, untuk proses menulis, yang perlu dirawat dengan kehati-hatian.

Saya sebenarnya sedikit sedih ketika membacanya. Seperti diingkatkan soal harapan, yang tidak besar apalagi ambisius, tapi pun bisa hancur di hadapan kenyataan. “The end of story should give us hope, but it doesn’t give us hope.” Tentu ada kebahagiaan ketika dapat bertemu dengan seseorang yang dapat membuat kita bisa bertumbuh bersama. Namun tidakkah juga dalam kesempatan yang sama ada kemungkinan untuk hancur bersama? “What’s the purpose of being with someone if they don’t change your life? … that life only had purpose if you found someone who changed it, who destroyed your life.” Idup mah memang gini-gini we, tapi kadang gini-gininya idup tu suka lucu nan bikin yawla-hedeh-atulah-menangos. Novella ini sih berhasil membuat saya hhhhhhhhhhh gitu, dalam konteks yang baik, artinya saya mengawalinya dengan sebuah semangat ketertarikan, dan mengakhirinya dengan suasana yang lebih kalem, tidak menggebu-gebu, dan jadi swa-sadar. Yaa mungkin kita seperti Julio dan Emilia yang berhenti di halaman 373 buku Proust, dan sisanya adalah entahlah, sepertinya bukan sastra.

20180422_123858.jpg

Fiction – Frnss

Versi dijitalnya bisa dibaca di sini.

Kawan saya, Frnss, jika sedang tidak malaz, suka membuat banyak hal. Yang bikin senang (dan sesekali kesal wqwq) adalah karena hasilnya sering kali bagus. Fiction adalah salah satu hasil keisengan Frnss, dibuat dengan metode kolase kata dan gambar. Potongan-potongan kata disusun sedemikian rupa sehingga ditambah gambar, jeng jeng jeng, jadilah zine tipis dengan cerita mini (yang pembuatnya sendiri awalnya bingung ceritanya soal apaan). Tapi tanpa harus mencari-cari apa maksud ceritanya, atau makna dari simbol-simbol, juga alegori-alegori, saya pikir zine ini, sebagai dirinya sendiri, mampu memikat.

“I’m so tired of pork and beans,” he said. He looked so arrogant. I spoke to him rudely, “’cause if you like the way you look that much, oo baby you should go and love yourself.” He broke in, “No. I don’t care for ballet I never go.” “But it would be nice to have five minutes to ourselves now and then.”

Saya nyengir tenteram. Dan sepanjang membaca, tidak lebih dari lima menit, saya seperti membaca shout-out seseorang yang membuat sesuatu memang untuk mengekspresikan diri. Mungkin memang lebih seperti puisi bergambar, karena kalau diperhatikan baik-baik, pembuatnya cukup tanggap dalam menyambungkan kata-kata agar punya makna. Selain itu, Frnss juga lincah menggabung-gabungkan gambar dan tulisan, terus ujung-ujungnya berhasil membuat saya mikir. Misal ada satu halaman bergambar naga dan ksatria sedang bertarung. Tulisan di bawahnya adalah “The fact that we are living in a time of great strain and tension, when two powerful ideologies are struggling against each other, has probably already had some effect on your life and it will undoubtedly have more as time goes on.” Kita bukanlah sang naga maupun sang ksatria itu, kita hanyalah pentonton yang menyaksikan banyak hal di “66 West,” di mana awal, akhir, dan jalan sudah membaur campur aduk, seperti kata-kata yang dalam pemaknaannya kita sering kali terus mencari. Mari kita makan warteg dan jajan es cendol. Oh dan halaman belakang zine syair bergambar ini ada rekomendasi pendek dari para penulis besar tentang Fiction. Sayangnya Aan Mansyur tidak bisa menulis rekomendasinya kali ini, ya sudah Shakspeare saja: “We are such stuff as dreams are made on and our little life is rounded with a sleep.”

Leave a comment