Semacam pembuka:
Saya menyelesaikan buku ini sudah beberapa hari lalu, tapi waktu menulis ulasan ini, saya kembali melihat beberapa highlight yang saya berikan dan makin mendapati kekuatan-kekuatan novel ini yang sempat terlewat ketika membaca. *menangos* :”””” Buku ini bagus banget sih buat materi diskusi tentang feminisme dan politik ras, dan pertanyaan-pertanyaan panduan bisa dicari di internet atau disusun sendiri. Kalau beneran mau baca, bisa klik di sini untuk versi gratis di bawah lisensi creative commons.
Nama Zora Neale Hurston pertama kali saya dengar dari John Green yang menyebutkan Mules and Men sebagai buku favoritnya sepanjang masa. Setelah kepo sikit di Wikipedia, barulah saya sedikit mengenal Zora Hurston. Beliau adalah seorang antropolog dan penulis sastra Afrika-Amerika yang berkarir di era awal 1900-an, ketika isu ras di Selatan Amerika Serikat sedang kritis dengan Jim Crow dan Ku Klux Klan (yang periode itu mulai berkembang juga di daerah Tengah-Barat). Novel Their Eyes Were Watching God muncul pada tahun 1937 dan ditulis oleh Zora Hurston ketika ia sedang melakukan penelitian di Haiti. Karya Zora Hurston sebenarnya dikritik habis-habisan dari internal komunitas gerakan Afrika-Amerika karena tidak mengangkat permasalahan ras dan dianggap tidak politis. Ricahard Wright, salah satu penulis Afrika-Amerika terkenal di era Harlem Renaissance, dalam ulasannya di majalah New Masses, menulis:
Nona Hurston dapat menulis, tetapi prosanya terselubung oleh sensualitas halus yang telah merenggut ekspresi orang Hitam sejak zaman Phillis Wheatley. Dialognya berhasil menangkap gerakan psikologis orang-orang Hitam dalam kesederhanaan murni mereka, tetapi hanya sejauh itu saja.
Dalam novelnya, Nona Hurston secara sukarela melanjutkan tradisi yang dipaksakan kepada orang-orang Hitam di teater, taitu, teknik penyair yang membuat “orang-orang kulit putih” tertawa. Karakter-karakternya makan dan tertawa, menangis, bekerja, dan membunuh; mereka berayun-ayun seperti pendulum abadi di orbit yang sempit dan aman di mana Amerika memang menyukai kehidupan Hitam yang berada di antara tawa dan air mata.
Kritik Richard Wright terhadap Zora Hurston ini adalah salah satu bukti adanya perdebatan antara (a) kelompok yang menginginkan pengangkatan (uplift) kelompok Afrika-Amerika (W. E. B. Du Bois banyak terlibat dalam strategi politik ini) dan (b) mereka yang lebih memilih untuk merayakan komunitas Afrika-Amerika dengan segala aspek di dalamnya, termasuk tidak melulu soal kesengsaraan dan penindasan. Kedua pendekatan ini memang kontras meskipun sama-sama mengandung perhatian tinggi terhadap komunitasnya. (Mungkin kalau pembaca sejawat tertarik bisa browsing sendiri untuk referensi lebih lanjut.)
Novel ini bercerita tentang seorang perempuan Afrika-Amerika bernama Janie Crawford yang berkisah tentang hidupnya kepada kawannya Pheoby Watson. Kilas balik kisah-kisah Janie ada di seputar kehidupan percintaannya. Pertemuannya dengan beberapa pemuda, konfliknya dengan Neneknya yang menginginkan ia segera menikah, juga kehidupan, pernikahan, perceraian, pernikahan kembali, bertahan di tengah badai, dan pembunuhan. Selama pembacaan, banyak hal yang membuat saya berpikir keras karena teknik bercerita Hurston adalah eksposisi mengenai perbedaan atau kontradiksi yang dicampur dengan simbol-simbol. Pembukaan cerita ini bahkan sudah menjadi petunjuk yang penting:
Ships at a distance have every man’s wish on board. For some they come in with the tide. For others they sail forever on the horizon, never out of sight, never landing until the Watcher turns his eyes away in resignation, his dreams mocked to death by Time. That is the life of men.
Now, women forget all those things they don’t want to remember, and remember everything they don’t want to forget. The dream is the truth. Then they act and do things accordingly.
Dalam pembukaan itu kita bisa melihat narator mengontraskan ketidakberhasilan laki-laki melakukan “pelayaran menuju ufuk” dan kebanggannya terhadap perempuan untuk mencapai cita-citanya yang pun adalah kebenaran. Dan sepanjang novel saya bisa menangkap kebanggan ini yang mungkin bagi sebagian besar orang membuat bertanya-tanya. Perjalanan hidup Janie bukan tanpa lika-liku kekerasan. Dengan segala pengertiannya tentang perbudakan yang dialami neneknya, ia menuruti kata-kata neneknya untuk menikah dengan Logan, laki-laki yang tidak ia cintai. Namun kemudian neneknya meninggal dan Janie dalam keadaan kesepian dan tidak bahagia memutuskan untuk pergi dengan Jody Starks ke Eatonville, Florida. Karir Jody memuncak, dan ia menjadi walikota. Dalam kondisi berkuasa, Janie mendapati dirinya kembali dipermalukan. Jody merasa memiliki kontrol atas tubuh dan penampilan Janie: mengkritik bajunya bahkan mengatai Janie “tua” di publik. Sampai akhirnya Janie memutuskan untuk pergi dari Jody hinga pria itu meninggal. Perjalanan terakhir Janie ditutup dengan hubungannya dengan Tea Cake di Everglades. Tea Cake memperlakukan Janie dengan lebih baik ketimbang lainnya, bahkan Janie, yang sempat meragu karena jarak usia pun, perlahan menyayanginya dengan segala kecemburuan dan keraguan. Namun, meskipun hubungan mereka berjalan lebih baik, Tea Cake sempat memukul Janie untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih baik ketimbang pria lain. Akhir cerita Janie dan Tea Cake pun berakhir tragis karena sebuah bencana, yang membuat Janie “memelatuk” sendiri nasib hidupnya.
Lalu di mana keberhasilan Janie dalam cerita ini? Keberhasilan Janie adalah: ia bertahan. Pelayaran Janie ke ufuk, ke cita-citanya untuk dapat memilih apa yang jadi kata hatinya, membuatnya jadi sosok yang teguh. Di tengah-tengah ketegangan politik, rasisme di dalam komunitasnya sendiri (seorang perempuan Afrika-Amerika lain menghina Tea Cake karena terlalu “gelap dan hitam” untuk Janie), ketakutan, kesakitan, juga terpa badai itu, Janie bertahan!

Wah edan, itu yang saya ucapkan ketika mengakhiri buku ini. Zora Hurston berhasil membawa saya ke perjalanan hidup seseorang yang beneran naik turun kaya lift. Namun, justru di situ kekuatan narasi hidup Janie. Perempuan, bahkan dalam kebebasannya memilih pun, tak lepas dari patriarki dan kekerasan ras. Tentu di satu titik pembaca, yang mengharapakan tokoh protagonis heroik, bisa bertanya-tanya mengapa Janie mau saja, misalnya, dipukul oleh Tea Cake. Ini sebenarnya tidak beda dengan komen netijen terhadap kekerasan dalam pacaran. Justru novel ini secara artikulatif memperlihatkan kerumitan posisi individual perempuan, dan perbedaannya dengan posisi laki-laki, dalam masyarakat patriarkis dan rasis.
Satu hal yang membuat saya merasa bahwa Zora Hurston menguasai spektrum narasinya adalah dari penggunaan bahasa. Hurston menggunakan dua bahasa: Inggris standar untuk narator dan Inggris vernakular Afrika-Amerika (AAVE) untuk percakapan. Penggunaan bahasa memiliki kuasa untuk mempertahankan kebudayaan dan identitas satu komunitas, dan Hurston menggerakkan daya kuasa bahasa itu. Oh, dan familiaritas terhadap suasana kota-kota tempat Janie bersinggah juga menunjukkan konteks mengenai komunitas Afrika-Amerika yang berbeda-beda. Seperti misalnya ketika Janie dan Jody Starks berada di Eatonville, dan politik ras di skala lokal mempengaruhi interaksi Janie-Jody.
Sebagai penutup adalah sebuah pertanyaan: apa hubungan judul buku ini Their Eyes Were Watching God dengan keseluruhan cerita? Siapa “their” dan Tuhan apa yang dimaksud di sini? Frasa ini muncul ketika Tea Cake dan Janie mencoba berlindung dari badai Okeechobee:
The wind came back with triple fury, and put out the light for the last time. They sat in company with the others in other shanties, their eyes straining against crude walls and their souls asking if He meant to measure their puny might against His. They seemed to be staring at the dark, but their eyes were watching God.
Saya pikir memang ini adalah gambaran dari puncak konflik novel. Dalam kondisi badai yang mengerikan, Janie, pun Tea Cake, ketakutan. Badai itu di depan mata, dengan kegelapan yang hadir, siap menerjang kapan saja. Janie, dalam pelayarannya, juga ketika itu bersama dengan pria yang dicintainya, justru melihat “Tuhan”: sumber kekuasaan dan kekuatan yang berhasil membuatnya bertahan. Dalam beberapa bab sebelumnya, pembicaraan tentang tuhan berkisar soal pengorbanan dan kekerasan “Half gods are worshipped in wine and flowers. Real gods require blood.” “Darah” Janie telah tercurah. Sebagai perempuan Janie menemukan kekuatannya; kesakitan dan kekerasan tak menghalanginya suaranya untuk terbuka, meskipun ada penantian puluhan tahun agar suara itu sungguh berkuasa. Janie berhasil mencapai akhir pelayarannya ke ufuk itu, dan kepada sahabatnya, Pheoby, ia tak takut suaranya disebarkan dan diceritakan kembali ke banyak orang lain.
Ah know all dem sitters-and-talkers gointuh worry they guts into fiddle strings till dey find out whut we been talkin’ ’bout. Dat’s all right, Pheoby, tell ’em. Dey gointuh make ’miration ’cause mah love didn’t work lak they love, if dey ever had any. Then you must tell ’em dat love ain’t somethin’ lak uh grindstone dat’s de same thing everywhere and do de same thing tuh everything it touch. Love is lak de sea. It’s uh movin’ thing, but still and all, it takes its shape from de shore it meets, and it’s different with every shore.