Sudah lama sekali rasanya tidak membaca buku sejarah Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan diplomasi dan politik global. Terakhir mendengarkan topik-topik diplomasi adalah mendengar bacotan kawan tentang diplomat AS di era Perang Dingin. Maka, membaca buku Wildan Sena Utama ini seperti mengingatkan kembali materi-materi kuliah HI dulu yang tercecer di kepala (halah), dan yang lebih penting lagi, Wildan menyajikannya secara koheren, komprehensif, sekaligus memberikan beberapa wawasan baru. Dalam pengantarnya, Jürgen Dinkel menekankan bagaimana dokumen dan arsip-arsip Indonesia memberikan kontribusi terhadap diskusi mengenai KAA khususnya dari perspektif negara tuan rumah. Poin tersebut menjadi kekuatan buku KAA ini.
Wildan memulai narasinya dengan semangat solidaritas yang muncul dan berkembang di kurun 1880-1914. Khususnya di Afrika, periode ini sering dirujuk sebagai The Scramble of Africa, pembagian teritori wilayah kolonial negara-negara Eropa Barat. Puncak imperialisme ini menimbulkan resistensi. Pertemuan-pertemuan solidaritas anti-kolonialisme dan anti-imperlialisme menjadi terus berkembang, pemikiran-pemikiran intelektual Asia dan Afrika juga makin mendapat perhatian, termasuk terlaksananya beberapa konferensi internasional yang kemudian mendasari gagasan KAA. Wildan kemudian menempatkan konteks Perang Dingin dengan sangat baik: ia mengekspos perbedaan posisi antara negara-negara Dunia Ketiga yang termanifes dalam wacana di KAA itu sendiri, termasuk proses mencapai konsensus hasil juga beberapa warisan gagasan KAA (salah satunya Gerakan Non-Blok). Selain itu, beberapa pembahasan mengenai reaksi publik (diwakilkan oleh media) terhadap pelaksanaan KAA juga menjadi wawasan yang memperkaya historiografi KAA ini. Paling tidak ada dua hal penting yang menjadi perhatian utama saya selama membaca buku ini. Pertama, KAA bukanlah one-man-show Sukarno atau Indonesia saja. Semangat Bandung memiliki cerita mula yang mencakup relasi-relasi sosio-intelektual antara para pemimpin negara dalam konteks politik internasional. Kedua, aktivitas diplomasi KAA menunjukkan bahwa dalam semangat “solidaritas” pun ada kepentingan-kepentingan yang heterogen. Di poin kedua ini, Wildan memang lebih banyak menekankan kepentingan-kepentingan (geo)politik, khususnya negara-negara Asia.
Tentu, dalam studi akademik selalu ada pembatasan dan tidak memungkinkan semua hal tercakup. Namun, ada ambivalensi fokus asal-usul intelektual yang kemudian menimbulkan pertanyaan: oke, KAA ada dalam konteks geopolitik Perang Dingin, tapi memang cuman itu ya? Di sinilah saya pikir perspektif Afrika Sub-Sahara tidak terlalu banyak mendapatkan tempat. Meskipun beberapa nama pemikir seperti Kwame Nkrumah dan semangat Pan-Afrikanisme disebutkan, ia sekedar ditempatkan dalam konteks momen pascakolonial di mana KAA hadir sebagai simbol. Padahal, “anti-imperialisme” Sub-Sahara (yang juga menjadi perhatian negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis) juga memunculkan wacana-wacana tentang skema pembangunan yang lebih baik dan adil (lihat Gerits 2016). Wildan sebenarnya sudah menyadari bahwa selain Afrika Selatan, perhatian Amerika Serikat (dan mungkin juga Uni Soviet dan China) terhadap negara-negara Afrika Sub-Sahara tidak terlalu intensif. Maka beberapa gerakan Pan-Afrikanisme dan nasionalisme Afrika Sub-Sahara ditempatkan banyak di Bab Warisan Bandung. Saya bukan tidak setuju, karena secara periodik memang demikianlah. Tapi, saya pikir perlu ada gestalt shift terhadap konteks Perang Dingin karena dekolonialisasi di Afrika Sub-Sahara tidak hanya cuman urusan geopolitik tapi juga urusan skema pembangunan. Dari perspektif Indonesia pun, hal ini sebenarnya juga menjadi penting untuk dibahas karena Semangat Bandung seperti menunjukkan posisi Indonesia terhadap sistem bantuan internasional (lihat Neelankantan 2014 untuk isu mengenai bantuan internasional di bidang kesehatan publik). Terlepas pertanyaan saya ini (yang mungkin agak jauh), buku ini dapat menjadi pembuka yang sangat baik untuk studi-studi mengenai KAA selanjutnya.
Oh terakhir, setiap saya selesai menyelesaikan satu buku, saya selalu mendiskusikannya dengan Bram. Satu hal yang sangat saya suka adalah Bram sering memantik hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan saya. Salah satunya adalah pilihan gambar sampul buku KAA ini: seorang tukang becak sedang memandang umbul-umbul KAA yang sangat besar. Sebagai nak-HI yang paham mengenai globalisasi dan kosmpolitanisme, Bram tentu melihatnya sebagai sesuatu yang sangat menarik; masyarakat terekspos oleh kebijakan luar negeri Indonesia dan perpolitikan global. Kami sepakat bahwa sampul buku ini sangat baik, dan bisa menjadi bahan diskusi tersendiri. Kerja yang sangat baik untuk Wildan Sena dan tim Marjin Kiri!

Biohackers: The Politics of Open Science – Alessandro Delfanti (Plutobooks 2013)
Open knowledge, freeeeee the knowledgeeeee~ Jika ilmu pengetahuan sekarang dituntut untuk terus semakin terbuka dan seakan para inisiatornya memiliki naluri altruis agar siapapun bisa mengakses pengetahuan, Delfanti mengajak kita untuk hening sejenak dan bertanya: is it really? Delfanti sendiri merujuk biohackers sebagai “para ilmuwan yang secara praktis menampilkan percampuran budaya etos iptek tradisional (Mertonian) dengan elemen peretasa dan perangkat lunak gratis” (hal. 15). Dan dalam buku ini, Delfanti mengeksplorasi relasi kompleks antara ilmu, pelaku, bisnis, dan media; dan memberikan wawasan yang sangat baik bahwa (lagi-lagi) para peretas-bio tidak homogen, mereka punya kepentingannya sendiri meskipun norma hacker-rebel ada di dalam kerja-kerja mereka. Ketika membicarakan perkembangan ilmu biologi pun, menurut Delfanti, kita tidak bisa lepas dari hubungannya dengan masyarakat dan skema pasar.
Buku ini secara garis besar membongkar dua hal besar. Pertama, peran open science dalam kerangka kapitalisme informasi dan digital. Delfanti melihat bahwa peretasan iptek adalah sebuah aksi politik melawan otoritas mekanisme pasar tertutup sains yang kemudian membuka ruang politik lain. Yak tul, mekanisme pasar terbuka sains, di mana semua individu dapat mengakses, bukan hanya produk pengetahuannya, tapi juga laboratoriumnya (misal DIYbio). Kedua, buku ini menunjukkan evolusi kultur ilmuwan dan interaksinya terhadap produksi, distribusi, dan komersialisasi sains. Di narasi ini, Delfanti dengan sangat baik memberikan studi-studi kasus tertentu (khususnya perkembangan teknologi informasi Sillicon Valley) untuk menunjukkan bahwa open science is another form of biocapitalism and science commodification.
Tanpa harus melakukan ranting-butt-hurt, Delfanti berhasil menunjukkan skema politik open science dalam tiga model yang cukup representatif. Pertama, model ilmuwan “gaul”, J. Craig Venter dan human genome project-nya. Delfanti menceritakan bagaimana Venter menggunakan hampir semua skema pendanaan (termasuk media) untuk mempromosikan proyeknya berlayar (harafiah) mencari data-data DNA. Delfanti menarasikan Venter sebagai ilmuwan yang tidak dalam institusi akademik kaku, namun justru berfoya-foya dalam “kemewahan” kebebasannya. Kedua, adalah Ilaria Capua, seorang virolog, yang memberontak melawan kekakuan institusionil lembaga internasional (WHO). Sedikit berbeda dari Venter, keberhasilan Capua bukanlah mendapatkan dana, namun berhasil membuka data tentang flu burung agar negara-negara berkembang dapat mengakses vaksin penyakit itu. Capua tidak melawan mekanisme pasar tertutup, ia melawan institusi tertutup. Model ketiga adalah gerakan DIYbio, di mana sekumpulan mahasiswa dan komunitas akademik membangun laboratorium biologinya sendiri di luar universitas. Model ini pada dasarnya mencoba melawan syarat-syarat gelar doktoral, dan berharap mereka yang menyukai biolog tetap dapat bereksperimen tanpa harus membayar mahal.
Menurut saya, buku ini dapat menjadi referensi dasar untuk memahami kompleksitas wacana-wacana open science. Tentu kita dapat menyambutnya dengan senang hati, bahwa akhirnya masyarakat luas dapat memiliki akses lebih banyak terhadap pengetahuan. Namun, kita juga diperingatkan untuk menjadi waspada soal ini. Karena free software juga memiliki skema profitnya sendiri, dan misi-misi liberalisme juga politis, ia harus disikapi dalam konteknys berelasi dengan masyarakat dan institusi dengan daya yang lebih kuat. Buku ini tidak memberikan gambaran keseluruhan, namun paling tidak dapat menjadi pengantar yang baik kalau para pembaca sejawat tertarik isu ini. (Kalau klik link judulnya, ada PDF gratis yang bisa diunduh)