“Kenapa sih kamu baca novel?” Pertanyaan ini … entahlah bagaimana menjawabnya. Jawaban paling jujur adalah “karena suka”, dan biasanya akan mendapat respon, “Ooo memang hobi ya?” Saya agak mau protes kalau dibilang hobi saya membaca. Hobi saya tidur siang, bukan membaca. Tapi kalau menjawabnya, “Saya baca novel karena berguna”, saya juga sebenarnya tidak tahu pasti apa kegunaannya dalam kehidupan saya secara pribadi selain memberikan kesenangan. Kalau jawabannya, “Saya baca novel biar bisa jadi manusia berbudaya dan bisa merendahkan orang lain yang tidak baca”, mungkin orang yang tanya langsung meludah jijik ke wajah saya (wqwq). Intinya saya tidak pernah tahu pasti mengapa saya membaca novel atau cerpen.
Tapi (sayangnya) kenaifan saya membaca cerita rekaan ini diganggu oleh studi pembangunan. Sebelum saya berangkat ke Manchester tahun lalu, saya iseng-iseng baca buku dan jurnal artikel yang kira-kira menjadi bacaan wajib. Dalam keisengan itulah saya kemudian membaca artikel di The Journal of Development Studies judulnya The Fiction of Development: Literary Representation as a Source of Authoritative Knowledge yang ditulis oleh David Lewis, Dennis Rodgers, dan Michael Woolcock (2008). Tulisan ini pada intinya berargumen tentang bagaimana karya sastra mampu memberikan kontribusi kepada akademisi dan praktisi pembangunan mengenai representasi dan kekuatan narasi dalam menyampaikan ide maupun nilai masyarakat. Artikel ini membuat saya langsung sumringah. Apakah ini yang namanya impian, belajar studi pembangunan tapi ada aktivitas buat baca novel, cerpen, dan puisi? Hehe he he he.

Artikel The Fiction itu sebenarnya mengingatkan saya pada esai Ariel Heryanto di majalah Kolong Budaya tahun 1997 yang berjudul Marjinalitas Sebagai Fiksi. Dalam esai itu, penulis berargumen tentang bagaimana sastra sepertinya baru menjadi penting ketika dibahas oleh disiplin ilmu lain seperti sejarah, sosiologi, etika, politik, dan filsafat. Katanya, “yang terjadi belakangan ini bukannya peng-ilmiah-an wacana kesusasteraan, tetapi justru sastranisasi wacana keilmuan dan intelektual secara makro.” Esai itu secara tegas mempertanyakan posisi sastra sebagai ilmu pengetahuan yang khazanah dan metodologinya sendiri “dijajah” oleh disiplin ilmu sosial. Inilah yang ia sebut dengan “paradoks marjinalitas sastra”: kejayaan wawasan sastra–seperti cara Clifford Geertz dan Benedict Anderson membaca teks–namun juga membuat kesusastraan tidak berkembang di ruang keilmuannya sendiri (salah satu tandanya adalah tidak berkembangnya kritik sastra). Di akhir esainya, Heryanto kemudian menyambungkannya dengan “pembangunan”. Ia menulis: “Jelas istilah seperti ‘Pembangunan’ merupakan sebuah kiasan. Berbagai angan-angan, janji-janji, dan laporan kerja dengan lampiran angka-angka statistik yang diberi label Pembangunan dapat dan seharusnya dibaca sebagai sebuah teks fiksi. Namun para sarjana kesusasteraan tidak melakukan ini, apa pun sebabnya. Dengan demikian mereka ikut bertanggung jawab atas merajalelanya kegagalan masyarakat luas untuk memahami ‘watak fiksionalitas Pembangunan’.”
Saya tidak punya kapasitas membahas esai tersebut dari segi sastra, tapi saya terganggu dengan terma “watak fiksionalitas Pembangunan”. Esai Marjinalitas memfiksikan pembangunan. Saya pikir cara berpikir ini perlu dipahami dulu dalam konteks kemunculan kritik-kritik pembangunan sejak akhir 1980-awal 1990an yang menantang pendekatan positivistik material dan ekonomi. Dalam hal ini, penulis juga berada dalam nuansa pembangunan ala rezim Suharto. Pendekatan budaya dibutuhkan untuk memberikan pemaknaan alternatif terhadap praktik pembangunan arus utama. Di tahun 1988, Heryanto pernah menulis The Development of “Development” (1988) yang memperlakukan pembangunan sebagai bahasa (istilah) dan melucutinya secara detail melalui pendekatan linguistik. Artikel itu ditujukan memang untuk mengisi kesenjangan kajian pembangunan Indonesia yang dianggap melulu “riil.” Saya pikir esai Marjinalitas pun melanjutkan tradisi kritik pembangunan The Development.
Namun, dalam perkembangan studi pembangunan secara umum, fiksionalisasi pembangunan (Indonesia khususnya) seperti ini harus dipertanyakan ulang, khususnya dari pihak pengkritik pembangunan. Mengapa?
Pertama, setelah reformasi, “narasi” pembangunan semakin blur dan kompleks. Dalam konteks global, kita mengenal era milenium pembangunan dengan Millenium Development Goals (MDGs). Kita bisa berdebat sejauh mana institusi internasional mempertahankan status quo-nya dengan diskursus MDGs tapi kita juga tidak boleh menyangkal bahwa pembangunan sebagai “narasi” menjadi semakin cair. Di Indonesia sendiri, pembangunan direngkuh oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil (OMS), dijadikan visi untuk mereformasi proyek pembangunan ala Suharto dengan berfokus pada isu kemiskinan. Selama lebih dari satu dekade, pembangunan dalam level praktik dan akademik ini semakin ekstensif, melebar ke berbagai sektor. Meminjam Tania Li, berbagai macam pihak termasuk OMS sama-sama memiliki will to improve. Cairnya diskursus pembangunan ini harus dipahami dulu agar kita tidak terjebak dalam fiksasi dan esensialisasi istilah “pembangunan” sebagai milik rezim Suharto. Ketika “pembangunan” sebagai istilah pun sudah jadi begitu cair, maka watak “fiksi”-nya pun menjadi tidak tunggal. Kecerobohan kita adalah over-generalisasi “pembangunan” tanpa mau tahu bahwa masyarakat pun menginginkan salah satu dasar utama ide tersebut: “hidup lebih baik”. Tentu, ini pun adalah ranah kontestasi, “Lebih baik seperti apa? Lebih baik untuk siapa? Lebih baik ke arah mana?” Saya pikir, baik itu artikel The Development maupun esai Marjinalitas sebenarnya ingin menunjukkan ketegangan dan kompleksitas itu, namun kedua tulisan itu bagi saya belum berhasil untuk mengekspos kelindan antara yang material dan non-material. Justru, keduanya berpotensi mereduksi pembangunan itu sendiri.
* Sebagai tambahan, perlu diingat juga bahwa artikel itu ditulis hampir dua dekade lalu. Jika dibaca dalam konteks perkembangan studi pembangunan sekarang, ya memang jadinya agak sedikit usang ——> swa kontra-argumen (cry)
Pembredelan kompleksitas itu menjadi landasan poin kedua saya: dimensi waktu pembangunan. Seperti yang tadi sudah disinggung, dalam pembangunan ada ranah kontestasi melalui pertanyaan seperti “Pembangunan seperti apa? Pembangunan untuk apa? Pembangunan ke arah mana” Pertanyaan ini mengandung tiga unsur: bentuk (what), aktor (whom/whose), dan ruang (where to go). Namun ternyata ada pertanyaan yang sebenarnya juga penting–yang saya pribadi juga terinspirasi dari TV series Dark (ehe)–kapan pembangunan (when)? Pembangunan dalam dimensi waktu ini sebenarnya sudah sangat mengganggu saya, ketika dosen saya di Manchester memberikan referensi buku berjudul Re-Envisioning Global Development: A Horizontal Perspective (2013) karya Sandra Halperin. Pembacaan Halperin terhadap sejarah kapitalisme dan modernisasi (juga melakukan referensi terhadap historiografi Braudel yang ya-gusti-tebal-tebal-sekali-itu!) berhasil membongkar mitos “pembangunan global sebagai modernisasi Barat” dan menggeser sudut pandang pembangunan global pada kompleksitas politik horisontal.
Tulisan Halperin ini menguatkan pembacaan saya pada tulisan Suzanne Moon Technology and Ethical Idealism (2007) yang membahas perdebatan ontwikkeling (development) di awal abad ke-20 Hindia Timur Belanda. Pada masa itu, baik politisi metropol, ilmuwan, pejabat departemen, pebisnis, bahkan masyarakat sipil bumiputra saling kritik satu sama lain tentang cara paling tepat untuk mewujudkan kesejahteraan. Kubu perkembangan pertanian padi beradu argumen dengan advokat perkebunan gula, yang di dalam pertanian padi pun berdebat antara skala kecil atau skala besar. Departemen Pertanian dan Pekerjaan Umum juga berkelindan dalam isu “bibit” atau “irigasi”. Para advokat dan ilmuwan pertanian pun berdebat soal bibit padi, bagaimana mengembangkannya, persilangan di laboratorium atau langsung di lapangan.
Contoh lain lagi adalah buku Daniel Immerwahr Thinking Small yang membedah sejarah ide pembangunan komunitas (community development) di Amerika Serikat. Buku ini bagi saya penting dalam memberikan pemahaman bahwa di AS sendiri, negara yang dituduh selalu memaksakan kehendak model pembangunannya, pun memiliki perdebatan internal. Salah satu tulisan sejarah pembangunan yang bagi saya sangat baik adalah buku Vivek Neelankantan Science, Public Health, and Nation-Building in Soekarno-era Indonesia. Dengan memasukkan sejarah bantuan internasional, termasuk momen Konferensi Asia-Afrika, Neelankantan berhasil mempertemukan kompleksitas domestik dengan internasional. Bahkan, artikel ini pun menyimpulkan bahwa Bandung menjadi sebuah momen panggilan terhadap negara Barat untuk memperbaiki praktik proyek pembangunan (pasca PD II) yang sudah berjalan. Intinya, melalui sejarah praktik dan kebijakan pembangunan, kita jadi bisa paham bahwa pembangunan tidak lagi sesederhana narasi otoritatif rezim Suharto. Kita perlu memiliki posisi sedikit kritikyel (uhuk) terhadap terma-terma semacam developmentalism, new-developmentalism, neo New-Order development yang digunakan secara sembrono. Sedikit mengutip Mikael Johani di sebuah acara, kita malah cenderung re-inforcing narasi Orba itu sendiri. Ya memang ya benci kadang-kadang bisa jadi cinta~~~~
Apa Artinya Semua Ini dengan Karya Sastra?
Catatan: Jika dalam bagian di atas saya lebih membahas fiksi dalam pengerti “rekaan”, pada bagian ini saya akan menggunakan kata fiksi dan sastra secara bergantian dengan kesadaran penuh bahwa tidak semua fiksi dapat dikatakan sebagai karya sastra. Agar lebih konsisten, saya akan menggunakan kata fiksi mengacu pada pengertian KBBI (1) Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya), dan definisi Oxford Dictionary untuk fiction: literature in the form of prose, especially novels, that describes imaginary events and people.
Beberapa bulan lalu saya sempat membagi artikel The Fiction ini melalui laman Facebook. Seorang kenalan memberi komentar, “idk actually. The turn towards ‘narratives’ seems to me responsible for the endless personal stories of sadness and woe as justification for development as well as the drive to create stories of success unreal and airbrushed about the impact of donations to NGOs in improving the lives of people.” Saya menyetujui pendapatnya. Proyek Bank Dunia Voices of the Poor adalah salah satu contoh kegagalan usaha menarasikan cerita individu (dan konteks strukturalnya) untuk melanggengkan status quo proyek Bank Dunia semacam paket Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) di awal tahun 2000an. Ya, PRSP adalah salah satu syarat untuk negara (kayak Indonesia) agar bisa mendapatkan hutang dari Bank. Namun saya mempertahankan argumen bahwa justru kehadiran fiksi mampu menjadi kontra bagi “proyek naratif” semacam itu. Saya memberi contoh buku Ahmadou Kourouma Allah is not Obliged yang menggunakan perspektif seorang anak kecil bernama Birahima yang menjadi tentara ketika Perang Liberia I terjadi. Novel itu, tidak memberikan imaji “kasihan” pada seorang tentara anak, tapi justru meletakkan Birahima dalam kompleksitas kekerasan politik. Paling tidak, narasi Kourouma ini bisa memberikan perspektif lain yang berbeda dari narasi OMS HAM misalnya.
Setelah saya pikir-pikir lagi, argumen saya itu sebenarnya argumen yang tidak begitu kuat. Saya, yang biasanya membaca fiksi sebagai kegiatan riang gembira, sepertinya berusaha untuk sesuatu yang lebih; lebih “serius”, lebih berfaedah. Padahal dari sisi keilmuan sastra, karya sastra bukanlah sepenuhnya realitas masyarakat. Dalam kritiknya terhadap konsep “sastra kontekstual” yang pernah dikembangkan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto, Saut Situmorang bertanya: “[S]iapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya?” Menurut beliau, sastra bukanlah sekedar cermin masyarakat dan dokumen sosial belaka. Sebagai karya seni, ia memiliki penilaian estetik dan aturan-aturannya sendiri. Komentar serupa pernah juga dikemukakan oleh Ursula K. Le Guin dalam esainya Fact and/or/plus Fiction. Beliau menyatakan bahwa “the notion that fictional characters are all portraits of actual people probably arises from natural vanity and paranoia … [I]nvolved in such searches for the nonfiction in fiction is, I suspect, a distrust of the fictive, a resistance to admitting that novelists make it up–that fiction is not reproduction, but invention.” Posisi para sastrawan/wati ini menurut saya tepat. Karya sastra memang mengandung ide dan memiliki konteks sosialnya, namun ia tetap memiliki unsur intrinsik dengan teknikalitasnya sendiri.
Dari sisi pembangunan, kedua poin saya tadi sepertinya sudah mewakili kelemahan argumen saya di komentar Facebook itu tentang relasi fiksi dan pembangunan. Kita harus selalu ingat bahwa pembangunan lebih dari sekedar narasi. “Kecairan” terma itu termanifes dalam hal-hal teknis dan material seperti program, kebijakan, dan struktur institusi, yang tidak bisa dilihat sebagai “teks” saja. Pembacaan ulang terhadap artikel The Fiction membuat saya akhirnya berani menyatakan bahwa pendekatan studi pembangunan terhadap karya sastra sebenarnya memang untuk kebutuhan praktis penelitian. Ketiga penulis The Fiction adalah akademisi dengan tradisi sosiologi dan ekonomi-politik, dan artikel itu “seek merely to suggest that there may be a case for widening the scope of the development knowledge base conventionally considered to be ‘valid’”. Mereka ingin melihat kontribusi fiksi terhadap pengetahuan pembangunan, bukan untuk mengganti posisi kerja akademik dan kebijakan, namun untuk menantang akademisi dan praktisi untuk mempertanyakan “apa sih yang dimaksud pengetahuan?” Melalui sastra, khususnya, mereka ingin mencari (a) nilai dan ide masyarakat (kembali lagi soal sastra sebagai cerminan masyarakat), dan (b) gaya dan model narasi agar kerja-kerja riset maupun proyek pembangunan bisa memiliki dampak terhadap publik. Sebagai akademisi, terjun payung dalam epistemologi relatif adalah sebuah no-no, namun melihat dampak produk kebudayaan, ketiga penulis berpikir bahwa studi pembangunan dapat berefleksi terhadap isi dan perlu mengadopsi teknik fiksi (Le Guin sangat kritis terhadap cara berpikir seperti ini).
Saya pikir posisi pragmatis ini dapat menimbulkan penolakan dari kalangan sastra, dan saya juga ragu sejauh mana para akademisi dan praktisi studi pembangunan dapat “memanfaatkan” fiksi selain untuk refleksi-refleksi intelektuilnya dan latihan teknis menulis laporan. Saya pikir, sejarawan jauh lebih berhasil ketimbang sarjana studi pembangunan kontemporer dalam memaknai karya sastra dan kompleksitas kontekstualnya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kawan-kawan sastra(wan/wati), saya harus menyimpulkan bahwa, satu, studi pembangunan secara khusus dan ilmu sosial secara umum memang tidak bisa terlepas sepenuhnya karya sastra sebagai produk sosial-intelektual. Tapi juga, dua, pembangunan bukan hanya narasi dari siapapun itu. Para akademisi dan praktisi studi pembangunan tidak perlu menjadi superior merasa paling tahu sebuah karya hanya karena paham isi dan konteksnya. Sama dengan karya sastra yang tidak bisa direduksi menjadi dokumen sosial saja, pembangunan pun tidak bisa dikecilkan menjadi narasi saja. Narasi hanyalah satu elemen dari kelindan luar biasa rumit antara sistem, struktur, kebijakan, institusi, termasuk hal-hal administratif seperti prosedur penyediaan logistik, manajemen proyek, dan transaksi jual/beli hasil penelitian. Lebih lagi, “pembangunan” bagi banyak orang adalah kenyataan. Kemiskinan, kerusakan ekologi, you name it adalah kenyataan, bukan hanya “representasi” atau “lukisan” yang ditujukan bagi para “pembaca” untuk dinikmati.