Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 10

Seseorang yang Berteriak Teresa – Italo Calvino dalam Numbers in The Dark and Other Stories (terjemahan bahasa Inggris oleh Tim Parks 1995)

Episode kali ini tidak ada rekomendasi buku karena buku yang selesai saya baca di minggu ini adalah textbook yang lumayan membosankan. Sesungguhnya buku yang lebih asik masih setengah jalan dibaca uhuk. Sebagai bonus saya kasih salah satu cerpennya Calvino yang saya terjemahkan dari versi Bahasa Inggrisnya. Cerita yang sangat pendek ini cukup membuat saya ngikik sendiri dan bertanya-tanya “what the.” Inilah penggambaran singkat dan oye soal efek keramaian dan budaya ikut-ikutan wqwq.

Why C.S. Lewis Never Goes Out of Style – Aaron Cline Hanbury (The Atlantic, 17 Desember 2013)

Tanggal 29 November adalah hari kelahiran penulis The Chronicles of Narnia ini, dan 22 November adalah hari ia meninggal. Hari kematian C.S. Lewis di tahun 1963 itu bertepatan dengan hari meninggalnya Presiden AS John F. Kennedy, Aldous Huxley penulis asik itu, dan juga entah berapa ribu orang lain yang meninggal di seluruh dunia hari itu. Media AS heboh dengan pembunuhan JFK, dan negara bagian California pun sibuk dengan Aldous Huxley. Kematian C.S. Lewis di Oxford tidak mendapat perhatian, tidak sampai tanggal 25 November. Artikel ini mengawali kisah Lewis dengan trivia yang sangat menarik. Penulis kemudian mencoba melihat sekilas bagaimana ketiga tokoh itu merepresentasikan nilai-nilai yang bersinggungan, sebelum kemudian membahas karya dan pemikiran Lewis dengan lebih detail.

Saya selalu punya ruang kekaguman tersendiri kepada Lewis yang sedikit berbeda dari Tolkien. Tidak seperti Tolkien, kawan dekatnya, yang sepertinya lebih terobsesi dengan dunia Middle Earth, Lewis juga sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya tentang Kekristenan. Salah dua yang sering menjadi referensi adalah Mere Christiniaty dan Four Loves. Saya suka bagaimana penulis artikel ini membawa kita pada perjalanan Lewis yang dalam dunia kepenulisan fiksi pun sering mendapat kecaman. Pullman menganggap Narnia sebagai propaganda agama, atau juga bagaimana orang selalu mengunggulkan Huxley dan idenya yang lebih brilian ketimbang Lewis. Terlepas dari itu, saya pikir tidak ada salahnya menengok sedikit tentang Lewis dan kontribusinya dalam dunia fantasi, termasuk dalam kerja-kerja Tolkien. Saya membayangkan serunya pembicaraan-pembicaraan Tolkien dan Lewis di pub Eagle and Child yang ramah itu. Saya cukup yakin mereka berdua sama-sama berlomba untuk membuat cerita bagus. Siapa pemenangnya, terserah pembaca budiman.

Quotidian Vision – Aldous Huxley 

There is a sadness in the street,
And sullenly the folk I meet
Droop their heads as they walk along,
Without a smile, without a song.
A mist of cold and muffling grey
Falls, fold by fold, on another day
That dies unwept. But suddenly,
Under a tunnelled arch I see
On flank and haunch the chestnut gleam
Of horses in a lamplit steam;
And the dead world moves for me once more
With beauty for its living core.

Sama seperti Lewis yang bukan hanya tentang Narnia, Huxley juga bukan hanya tentang Brave New World. Ia juga menerbitkan beberapa novel, cerita pendek, puisi, dan naskah drama. Tentu pembaca budiman bisa memilih lebih suka karya beliau yang mana, tapi sejauh ini puisi-puisi Huxley cukup menarik disimak. Saya sendiri secara garis besar sama sekali tidak familiar dengan puisi dan bagaimana membacanya, tapi puisi Quotidian Vision ini cukup membekas. Mungkin karena cukup literal dan tidak lebih seperti perbincangan dengan kawan (dengan tambahan nuansa romantis), jadi saya cukup mengerti. Lalu, saya iseng sedikit cek tentang pembahasan puisi ini. Jerome Meckier dalam bukunya Aldous Huxley: From Poet to Mystic berargumen bahwa puisi ini “memberikan alasan yang tak terduga bagi sang penyair murung untuk ceria … Visi yang biasa saja (quotidian) mengembalikan kepercayaan penyair terhadap nilai spiritual yang didapatkan melalui pengalaman sehari-hari yang sekular” (2011: 39). Saya suka cara Meckier juga membicarakan puisi ini sebagai puisi yang bisa secara instan menyadarkan pembacanya (khususnya publik Inggris) tentang pergeseran latar dari latar cem Lake District ke jalanan London. Buat yang suka puisi-puisi urban lyfe nan sad nan mendung-gloomy-ena-buat-peluk-guling, mungkin bisa menyimpan puisi ini. (Dan kalau nanti mau dijadiin captiobuat foto instagram juga kayanya Huxley nggak akan bangkit dari kubur lalu marah-marah).

20171201_165729.jpg

The Women of Oscar Wilde – Eleanor Fitzsimons (Literary Hub, 18 Februari 2016)

Oscar Wilde juga adalah penulis yang meninggal di bulan November, tapi saya tidak terlalu ingin membahas karya-karyanya yang sudah sangat terkenal itu (Dorian Gray menurut saya menakutkan grrrh). Saya malah tertarik pada artikel Fitzsimons ini yang membahas perempuan-perempuan di hidup Wilde. Judul tulisan ini memang sepertinya memberikan kesan jargon bleh “di balik pria sukses ada perempuan kuat.” Tapi menurut saya kontennya baik sekali karena mengembalikan kumpulan fakta tentang perempuan yang hilang justru karena kejayaan seorang pria itu. Jika pembaca budiman membacanya, pembaca akan menemukan cerita-cerita menarik tentang para perempuan yang justru menurut saya lebih dinamis ketimbang urip Oscar Wilde (wqwq). Salah satunya adalah perempuan-tanpa-nama yang diizinkan oleh Jane Wilde, ibu Oscar, untuk duduk di sebelah ayah Oscar ketika hampir meninggal (jeng jeng jeng jeng).

Leave a comment