Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 09

Fantomas versus the Multinational Vampires: An Attainable Utopia – Julio Cortázar (Semiotext(e) 2014)

Ketika Mas Ronny Agustinus memposting penggalan buku ini di Facebook beberapa bulan lalu, saya langsung bertanya-tanya buku macam apa yang bisa menggabungkan fiksi, penggalan komik, juga reportase secara bersamaan. Cerita novella (jika bisa disebut demikian?) bermula dari “the narrator of our fascinating story” (tentu ini Cortázar sendiri) yang sedang dalam perjalanan kereta menuju Paris sehabis menghadiri Russel Tribunal kedua di Brussels. Dalam perjalanan itu narator membeli komik superhero Meksiko The Mind on Fire. Pahlawan utama dalam komik itu–Fantomas, the elegant menace–memiliki misi untuk mencari penjahat jenius yang menghancurkan perpustakaan-perpustakaan di seluruh dunia dan mengancam akan membunuh para penulis jika mereka berkarya. Dalam komik, Fantomas menghubungi penulis-penulis termasuk, Julio Cortázar dan Susan Sontag, kritikus Amerika. Dalam novella, Sontag pun akhirnya berkomunikasi dengan narator, dan bersama dengan Fantomas, mereka bekerja menemukan kejahatan yang ternyata lebih besar ketimbang penghancuran buku yang ada di komik.

Membaca buku ini adalah pengalaman tersendiri. Cortázar tidak puas dengan temuan tribunal pelanggaran HAM di Brussels itu, dan dengan buku ini ia menyampaikan hasil pengadilan sekaligus menyatakan kekecewaannya. Yang menurut saya jenius dalam buku ini adalah montase-montase yang dipakai untuk membangun, tidak hanya cerita, tapi juga posisi politik Cortázar. Sebagai contoh, kita akan menemukan potongan memo dari International Telephone and Telegraph Company, gambar gedung-gedung tinggi Amerika dan Gedung Putih, dan lukisan. Saya pikir buku ini tidak hanya soal menyoal usaha politik dalam mewujudkan keadilan HAM, tapi juga situasi “membingungkan” yang terjadi di antaranya. Diskusi Cortázar dengan Sontag misalnya membuka ruang diskusi tentang gerakan dan kelindan antara kenyataan dengan yang utopis. Sampai hampir menuju ujung buku, Cortázar menulis:

“I’m asking myself if you fucking intellectuals weren’t right,” said Fantomas. “Days and days of international action and it looks like things are hardly changing at all.”

“Tell him he did very well,” advised Susan, who must have heard the window explode. “Tell him it’s a good start and that with luck people will begin to understand.”

Oh ya, dalam buku ini pun ada Appendix tentang hasil pengadilan Russel Tribunal dan kata penutup yang sangat bagus dari penerjemahnya, David Kurnick. Saya jadi berpikir apakah mungkin bentuk buku seperti ini bisa dijadikan salah satu cara diseminasi riset HAM di Indonesia?

20171123_194750.jpg

The Empire of Cotton – Sven Beckert (Penguin Random House 2015)*

Not gonna lie, I read this for a class. Tapi bukunya tidak mengecewakan, kaya data, dan tidak apologetik terhadap kapitalisme global di era kolonial. Kapas adalah cerita dominasi dan eksploitasi, bahkan hingga hari ini (pernah nonton film True Cost?). Saya kira membuat buku sejarah soal komoditas saja sudah cukup sulit, apalagi merangkainya dalam relasi perdagangan global, dan itu yang dilakukan Beckert. Buku ini jauh dari membosankan untuk ukuran sejarah yang panjang dan rumit mengenai traktat dagang, perbudakan, masyarakat adat di Andes sana, hingga poster Maois di selatan Cina. Dia juga tidak melihat proses perdagangan kapas hari ini dengan sebutan dangkal (karena gagal menteorisasikan apa yang terjadi) dengan sebutan neo-anuinu, yang terjadi adalah, “berlanjutnya dan menajamnya perdagangan kapas yang kita tahu di era kolonial, dengan perbaikan kapitalisme industri di sana-sini” (hl. 436). Walau saya rasa penekanannya terhadap “kapitalisme perang” terlalu berlebihan, narasi Beckert bisa dipakai untuk teman-teman yang senang mempelajari sejarah global di bidang tertentu secara spesifik.

My Favorite Thing is Monsters – Emil Ferris (Fantagraphics 2017)*

Waktu pindah ke Evanston/Chicago, saya ngegaul di Barnes and Nobles dan bertanya ke si mbak penjaga toko buku komik apa yang ia rekomendasikan. Tanpa ragu dia menenteng My Favorite Thing is Monsters karya Emil Ferris. “Dia akamsi loh,” terang si Mbak. Ferris adalah seorang Chicagoan yang kena demam akibat gigitan nyamuk (nama penyakitnya Nil Barat, tapi gak tahu deh ini apaan). Tubuhnya langsung lumpuh total dari pinggang ke bawah, dan tangan kanannya gak bisa gerak sama sekali. Selama proses fisioterapi, tangannya gemetaran sampai berapa lama. Tidak menyerah dengan keadaan, selama rehabilitasi dia justru membuat debut komik yang didaku karya novel grafis terbaik tahun 2017 oleh Ignatz Award (penghargaan bergengsi di Mamarika untuk komik grafis). National Public Radio (NPR) memasukkan novel grafis Ferris ini sebagai salah satu karya wajib baca untuk penggemar novel visual.

Dan semua penghargaan dan pujian itu benar. My Favorite Thing Is Monsters adalah buku pertama dari (rencananya) trilogi kehidupan Karen Reyes, seorang perempuan Latin Amerika yang jago gambar; anak SD yang kerjanya nulis diary visual (format komiknya adalah diari visual si Karen ini!!!!!!!!!!). Suatu hari, tetangga kesayangannya tewas ditembak dan Karen pun berusaha menggali jejak-jejak kehidupan Anka, si korban yang juga penyintas Holocaust, untuk mencari tahu siapa pembunuhnya. Banyak plot twist di dalam novel dan dikemas dalam gaya menggambar ala film horror kelas murahan (pulp fiction dan B-rate). Karen selalu menggambarkan dirinya sebagai werewolf. Ini adalah novel grafis coming-of-age, orang-orang yang selalu cemas dengan krisis eksistensial pasti suka.

MonsterCover_FINAL.png
Sumber: http://www.fantagraphics.com/images/thumbnails/400/494/detailed/7/MonsterCover_FINAL.png

Leave a comment