Siapa Tahu Kamu Mau Baca, Ep. 01

Lima bacaan rekomendasi saya pekan ini:

Manifesto Flora oleh Cyntha Hariadi (Gramedia Pustaka Utama, 2017)

20170930_122016.jpg

Pekan ini saya menghabiskan buku terbaru Cyntha Hariadi, kumpulan 23 cerpen dengan judul Manifesto Flora. Entah karena terpengaruh review Eka Kurniawan, atau memang demikianlah, memang saya menangkap kesan dingin dan diam dalam cerita dan tidak sedikit beberapa cerita menghentak, seperti dikagetkan oleh sesuatu. Saya pribadi tidak memiliki cerita favorit karena melihat kumcer ini sebagai satu kesatuan yang dipotong-potong, melihatnya secara terpisah satu dengan yang lain bagi saya jadi kurang berarti. Dari sini  perhatian-perhatian Cyntha, salah satunya tentang relasi keluarga, dalam tiap ceritanya dapat saya pahami secara utuh. Saya suka penggambaran kesempurnaan keluarga yang berpadu dengan keimanan namun berujung pada keseharian hidup yang ironis dalam cerita Tante Tati dan Putrinya, Temanku. Cerita ini kemudian bisa menjadi sangat dekat dengan cerita Telepon dari Luar Negeri, soal perselingkuhan yang sunyi, juga dalam cerita Tuan dan Nyonya di Jl. Abadi, carut marut selingkuh setengah berteriak. Bersamaan dengan cerita-cerita lain, Cyntha melahirkan dunia sehari-hari yang miris, manis yang sepet, juga kesulitan tanpa solusi berarti, dibiarkan klimaks begitu saja. Mungkin juga karena Cyntha adalah seorang penulis puisi yang baik, cerpennya pun terasa demikian, seperti membaca prosa yang mendayu tapi tidak dibawa hanyut tanpa arah.

Bagi saya premis-premis cerita Cyntha jelas meskipun dari segi penokohan saya sering mendapati karakter-karakternya memiliki sifat yang serupa. Pembeda satu tokoh dengan tokoh lain tidak terlalu kontras sehingga terlintas imajinasi bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya persona yang sama. Cerita-cerita Cyntha juga terasa sisi konservatif-nya, mungkin juga karena banyak dipengaruhi oleh latar belakang agama Katolik, namun eskplorasi atau tegangan antara sisi konservatif dan moderat yang berusaha disampaikan sering kali terlalu linear dan hitam putih. Cerita Bayang misalnya, memberikan konsekuensi akan nafsu/gairah yang tak tertahankan dan menjadi-jadi namun kemudian berujung pada menghilangnya pemilik gairah ini. ‘Diskusi’ tentang tubuh (perempuan khususnya) antara perspektif konservatif/progresif sepertinya tidak terjadi dengan terbuka, cenderung tertutup. Cerita Dua Perempuan di Satu Rumah, sebagai cerita penutup, menjadi bukti dari dialog setengah hati ini. Mungkin interpretasi ini bisa salah secara saya bukan kritikus (huehehe) tapi saya pikir cerita Cyntha berpotensi menghadirkan dialog yang lebih tegas tentang konflik tertutup. Rasanya memang seperti mengintip tapi pun kadang tidak menjadi paham ada apa di balik lubang itu, melihat tapi tidak mendengar. Mungkin juga ada sedikit efek dari cerita Cyntha yang minim dialog langsung antar tokoh. Tapi saya pikir hal ini tidak cuman soal dialog tapi juga dari alur dan penggambaran tokoh. Ya demikianlah. Terlepas dari itu, buku ini asik untuk dibaca karena cerita-ceritanya bisa membikinmu terkaget (tapi tetap tenang).

The Conventional Mr. Hefner oleh August Kleinzahler (LRB Blog, 28 September 2017)

Pendiri Playboy, Hugh Hefner, baru saja meninggal, dan media-media besar dengan heboh menyiarkan berita ini. Tidak sedikit kemudian ada argumen-argumen ‘absurd’ bahwa Hefner seorang feminis (what?).  Tidak sedikit komentar-komentar di media sosial yang saya baca pun menjadi apologetik ala-ala membela ‘visi’ Hefner membebaskan ekspresi terhadap tubuh. Di antara keramaian opini, tulisan Kleinzahler ini bagi saya memberikan kritik yang sangat baik. Kleinzahler memberikan biografi singkat tentang Hefner/Playboy termasuk kritik kerasnya terhadap Hefner. Memang, beberapa Playboy Bunnies memiliki karir yang baik di luar industri pornografi, dan Kleinzahler tidak menyingkirkan fakta bahwa Hefner seorang pekerja keras. Namun Kleinzahler menolak tegas anggapan bahwa Hefner memiliki visi yang brilian terhadap perempuan-perempuan Playboy.  Yang dilakukan Hefner adalah membuat majalah Esquire yang dibacanya menjadi lebih vulgar, ditujukan untuk para tukang masturbasi yang menganggap dirinya oke. Di penghujung artikel Kleinzahler mengatakan, “He was the happiest, richest, oldest 14-year-old jerk in America.” 

Manuscript of P B Shelley’s ‘The Masque of Anarchy’

shelley-percy-masque-ashley_ms_4086_f001r.jpg
Sumber: British Library

Artikel ini bukan bacaan panjang namun tetap menarik terutama yang pernah mengikuti sejarah Peterloo Massacre di Manchester atau sepak terjang pemimpin Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, sepanjang tahun 2017. Puisi ini ditulis Shelley tepat setelah kejadian Peterloo dan digunakan Corbyn dalam kampanye pemilu tahun ini. Dalam merayakan Hari Puisi Nasional, Perpustakaan Inggris membagi versi digital manuskrip puisi ini, termasuk memberikan penjelasan apa perbedaan konten manuskrip dengan yang dipublikasikan, juga bentuk dan arti puisi itu.

Manajemen Belok Kanan oleh B. Herry Priono (Kompas, 28 September 2017)

Saya selalu suka tulisan-tulisan Romo Herry Priyono. Menurut saya beliau adalah salah satu intelektual berkepala dingin, tidak banyak cuap-cuap kemaki, dan analisa beliau tajam. Tulisan ini menanggapi soal isu PKI yang beberapa minggu terakhir ramai kembali. Mungkin juga karena bulan September selalu jadi bulan ‘panas’ terkait G30S/PKI. Media sudah ramai membahas isu ini, memberikan klarifikasi-klarifikasi sejarah, beberapa akademisi juga sudah memberikan analisa-analisanya termasuk berbagi referensi literatur-literatur. Mungkin insights dari Romo Herry bukan yang sangat baru bagaimana, namun penekanan beliau pada transisis fenomena sangat tepat. Beliau bicara tentang pemikiran Marx (sebagai landasan komunisme) yang ditabukan malah membuat orang penasaran, menjadi seduktif, juga tentang ironi paranoia yang berubah menjadi guyonan olok-olok lewat meme media sosial. Penekanan ini kemudian mengantar pada kesimpulan pada level intelektual: perlunya pembelajaran dan studi yang serius mengenai isme-isme itu.

Kesal Tak Diperbaiki, Warga Lepaskan ‘Buaya’ di Lubang Jalan (Tribun Jabar, 26 September 2017)

artist-crocodile-pot-hole-2.jpg
Sumber: Tribun Jabar

Artikel ini bukan esai. Lebih ke berita singkat tentang seniman lokal yang membuat buaya-buayaan di sekitaran jalan rusak. Jalan itu tidak dibetulkan selama satu bulan dan warga kesal, maka nongkronglah si buaya itu di pinggir jalan. Setelah kejadian itu, pemerintah langsung membetulkan jalan yang rusak. Mungkin berita ini terdengar konyol, tapi saya malah jadi berpikir tentang binatang dalam grassroot resistance. Mengingat beberapa hari lalu ada video beredar tentang warga yang membawa ular berbisa ke pengadilan sengketa tanah karena kesal, saya jadi bertanya-tanya soal ini. Buaya di jalan itu memang bukan buaya asli, tapi kemudian asosiasi kekesalan disimbolkan dengan menghadirkan binatang ini bagaimana bisa dipahami? Binatang memang sudah lama jadi simbol sifat manusia–entah itu kekuatan, kecerdasan, kemegahan, kebijaksanaan, juga kejahatan. Namun kemudian mana yang sebenarnya lebih bekerja: behavior binatang untuk bertahan hidup yang dilekatkan pada manusia ATAU malah sebaliknya, sifat manusia yang dilekatkan pada binatang? Dan bagaimana proses asosiasi itu kemudian mempengaruhi masyarakat untuk melawan ‘penguasa’ yang dianggap tidak becus? Question question question. Ah tapi pendeknya, artikel ini membuat saya tertawa geli jadi layak untuk disebarluaskan.

Leave a comment