Pohon Mangga di Halaman

Halaman rumah kami tidak besar, tapi banyak sekali tanaman, Ibu memang sangat suka sekali merawat tanaman. Bukan hanya suka, tapi beliau juga sangat berbakat. Petugas gereja sering kali menitipkan benih tanaman kepada ibu. Untuk dibesarkan, katanya, kalau ditanam di gereja malah tidak tumbuh. Jadilah beliau sering membawa pulang pot-pot tanaman untuk dibesarkan, paling tidak sampai setengah dewasa. Kalau dianggap sudah kuat tanpa rawatan beliau, nanti tanamannya dikembalikan lagi ke gereja. Satu deret hijau-hijau di pintu masuk gereja, itu semua Ibu yang membesarkan.

Aku tidak tahu persis kunci keberhasilan Ibu. Yang ku tahu persis tiap pagi dan sore, beliau selalu bernyanyi-nyanyi atau menggugam kecil di depan tanaman-tanaman itu. “Tumbuh besar ya, kamu, tumbuh besar,” bisiknya kecil seperti mantra. Kata orang tua memang begitu, tumbuhan itu makhluk hidup jadi tentu bisa diajak berbicara. Meskipun entah punya kesadaran atau tidak, yang jelas mereka mendengar. Dengan kata-kata yang setia itu, tanaman-tanaman jadi tumbuh sehat di tangan Ibu.

Hanya saja ada satu yang menjadi risau, yaitu Pohon Mangga menjulang besar di ujung halaman depan. Batang Pohon Mangga ini sangat kuat, ranting-rantingnya pun kokoh, daun-daunnya lebar, hijau tidak termakan penyakit. Tapi Pohon Mangga ini sama sekali tidak pernah berbuah. Bertahun-tahun ranting dan daunnya terus tumbuh menjadi banyak dan besar sampai ibu beberapa kali harus merapikannya agar tidak menjalar ke halaman tetangga. Pohon Mangga seperti enggan membagi dirinya.

tumblr_inline_ovckto9SBH1qahhvq_500

Karena Ibu adalah seorang yang perasa, beliau sempat menjadi sedih karenanya. Ibu jadi bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan dirinya. Apakah ada hal yang tidak ia ketahui sampai-sampai Pohon Mangga itu tidak mau berbuah?

Melihat hal ini Bapak juga jadi turut sedih. Ibu selalu ceria merawat tanaman, bunga, dan pohon di halaman rumah, tapi karena satu Pohon Mangga pemalas, ada kekecewaan hebat di raut wajah Ibu. “Apakah kamu mengucap hal yang sama kepada pohon mangga seperti ke yang lain?” tanya Bapak suatu pagi ketika sedang membantu Ibu memasak di dapur. “Ya. Tapi karena ia sudah tumbuh besar aku lebih banyak berkata ‘berbuah ya Nak berbuah.’ Sepertinya tidak berhasil. Ia tetap saja tidak mau berbuah,” kata Ibu lemas.

Bapak kemudian berinisiatif menggunakan caranya sendiri. Pohon Mangga ini berbeda dengan tanaman-tanaman yang lain. Mungkin memang tidak bisa diberi kata-kata halus, pikir Bapak. Maka sore hari ketika ibu sedang latihan paduan suara di gereja, Bapak menghabiskan waktu di depan Pohon Mangga. Beliau tidak geram, juga tidak marah, hanya memegang badan pohon dan berkata tegas, “Kalau dalam sebulan kamu tidak berbuah, kamu akan kutebang, ya.”

Kata-kata itu diulang terus oleh Bapak terus menerus tanpa sepengetahuan Ibu. Setiap Ibu sedang ada acara di luar dan Bapak sedang tidak sibuk bekerja, Bapak pasti meluangkan waktu sekitar 5 menit untuk berkata hal yang sama kepada si Pohon Mangga. Terkadang sambil memegang badan pohon, atau membelai-belai daun yang tunduk ke daratan.

Aku seperti melihat dukun sakti sedang menjampi-jampi pasiennya untuk disembuhkan. Tentu saja kata-katanya seperti mengancam dan menyeramkan. Sayangnya dukun sakti ternyata tidak sakti-sakti amat. Bertahun-tahun dimantrai Bapak, Pohon Mangga masih keras kepala. Ancamannya tidak membuahkan hasil. Bapak menjadi lebih sedih karena tidak mampu menyenangkan Ibu dengan berbuahnya Pohon Mangga itu. Di satu sisi lain, Bapak tidak tega juga menebangnya. Dan toh beliau tetap harus meminta izin Ibu jika ingin menebangnya.

“Mungkin memang tidak semua Pohon Mangga ditakdirkan untuk berbuah,” pikir Bapak kemudian menjadi simpati dengan pohon malang itu. Beliau memutuskan untuk membiarkan saja. Toh tidak menjadi predator bagi tanaman-tanaman di sekelilingnya.

Tahun demi tahun, Ibu terus membesarkan banyak pohon. Bapak sesekali membantu. Ibu pernah berinisiatif memanggil tetangga yang fasih sekali soal Pohon Mangga. Katanya, pohon kami tidak ada masalah sama sekali dan seharusnya bisa berbuah bahkan setahun dua kali. Jenis pohonnya pun adalah yang premium, yang buahnya manis sekali.

Sebetulnya pernah sekali seperti ada harapan, sebongkah buah kecil tumbuh di salah satu ranting. Waktu itu mereka menyambut dengan sangat gembira. Bahkan mereka sudah merencanakan akan membagi-bagi ke tetangga kalau buahnya sudah banyak. Tapi beberapa hari kemudian buah itu membusuk tanpa sebab. Tidak ada ulat, tidak juga jatuh dari pohon. Membusuk seperti sudah terlalu matang, padahal usianya masih sangat muda.

Dari situlah mereka kemudian memutuskan untuk menyerah. Jika memang ingin berbuah mereka akan senang, jika tidak ya sudah. Mereka lelah juga mengharapkan hal-hal yang tidak pasti untuk kepuasan sendiri. Meskipun berbuah bagi sebuah tanaman layaknya sebuah prestasi, Pohon Mangga seperti tidak ingin.

Pohon Mangga di halaman depan terus bertambah tua tanpa pernah berbuah. Sampai Ibu dan Bapak meninggalkan hidup, Pohon Mangga tetap teguh dengan dirinya. Kakak tertuaku memutuskan untuk menjual rumah orang tua kami karena tidak ada yang menempati. Memang, rumahnya dibeli oleh sepupu jauh kami sendiri tapi ia tidak tahu cerita Pohon Mangga. Aku sempat berdebat dengan kakak-kakakku untuk tidak menjual rumah. Mereka menganggapku bodoh karena yang ku pertahankan adalah tumbuhan Ibu dan Pohon Mangga tidak berbuah itu. “Kalau kamu memang mau tinggal di sini ya tidak apa-apa,” kata kakak tengahku. Aku diam saja. Aku ingin sebenarnya tapi tidak sekarang. Aku nego apakah paling tidak bisa dipertahankan kurang lebih lima tahun lagi. Mereka menolak. Maka ketika sepupuku memutuskan untuk membeli, mereka senang. Paling tidak masih sanak sendiri. Namun yang dilakukan pertama olehnya adalah menebang si Pohon Mangga.

Aku menangis keras-keras di dalam kamar ketika tahu Pohon Mangga itu sudah tidak ada. Aku menangis lebih keras daripada ketika Ibu meninggal dan Bapak menyusul setahun kemudian. Aku tahu mereka kecewa pada Pohon Mangga tidak berbuah, tapi toh tetap tidak sampai hati menebang. Bahkan ketika Ibu meninggal, Bapak masih sibuk menyiangi daun-daunnya kadang dibantu tetangga. Cerita Pohon Mangga habis sampai di sini bersamaan dengan menguapnya cerita Bapak Ibu dan hutan kecil mereka di rumah. Aku masih menangis sambil memeluk guling.

Leave a comment