“Ajak Kami Bicara”

Distrik Amuru, Uganda Utara, 2012. Tidak kurang dari 60 perempuan menelanjangi tubuhnya di depan pegawai pemerintah dan perwakilan dari Grup Madhvani sebagai bentuk protes. Madhvani adalah sebuah perusahaan yang berencana mengakuisisi kurang lebih 30,000 hektar tanah untuk perkebunan dan pabrik gula. Sejak melakukan proses aplikasi sewa tanah melalui badan tanah distrik pada tahun 2008, Madhvani sudah beberapa kali dituntu ke Pengadilan Tinggi Gulu. Alasannya, tanah itu adalah tanah adat milik klan Lamogi bagian dari wilayah Acholi. Meskipun Madhvani telah mendapatkan lampu hijau dari Presiden Museveni, perusahaan itu tetap gagal mengamankan proyek mereka di Amuru. Sampai akhirnya proyek ini dibatalkan pada tahun 2015 melalui perjanjian antara pemerintah dengan komunitas Lamogi.

Cerita Madhvani dan aksi perlawanan ini menjadi perhatian saya dalam persiapan kunjungan belajar satu bulan lalu. Beberapa artikel jurnal membahas cerita ini secara lebih mendetail, termasuk proses negosiasi antara Madhvani dan Museveni. Sebagian membahas melalui perspektif ‘akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession), sebagian lagi dalam konteks praktik land grab. Namun dalam perjalanannya, ada hal yang menjadi perhatian lebih saya, yaitu istilah praktik neo-adat (neo-customary) dimana praktik adat diinterpretasi ulang dalam sistem formal maupun informal.

Secara tradisional, masyarakat di Amuru dan sekitar utara Uganda terikat dengan tanah melalui praktik adat. Baik itu dalam bentuk warisan, hadiah, maupun untuk tujuan komunal, nilai sebidang tanah di wilayah ini diapresiasi oleh pemilik sekaligus penggunanya. Formasi kerajaan Acholi adalah proses konsolidasi antar klan, dimana tiap klan memiliki wilayahnya sendiri dan diatur oleh pemimpin keturunan yang didampingi para tetua. Ketika kami berbincang dengan ketua adat, beliau bercerita bahwa tiap tanah di Acholi memiliki tujuannya sendiri. Tiap kaka (klan), baik itu level rumah tangga maupun keluarga tambahan, mengalokasikan tanah pada tiap anggotannya melalui kekerabatan. Biasanya tanah pada tingkat ini digunakan untuk tempat tinggal, bertani, atau beternak. Sedangkan wilayah perburuan dan hutan menjadi tanggung jawab pada tingkat kerajaan.

1-nnswB47wZrCqItr_sKZRkQ

Namun status kepemilikan tanah di Acholi berubah ketika konflik terjadi selama lebih dari 20 tahun sejak dari tahun 1986. Strategi Museveni (presiden Uganda sekarang) untuk menahan gerak Lord’s Resistance Army(LRA) pimpinan Joseph Kony waktu itu adalah dengan melakukan pemindahan paksa masyarakat Acholi. Tidak hanya di sebelah Utara, masyarakat Karamoja di sebelah Barat pun terkena dampak dari strategi militan ini. Di Gulu sendiri, 30,000 orang terpaksa meninggalkan tanah dan rumahnya untuk tinggal di kamp darurat yang disediakan oleh Museveni. Sampai akhirnya pada tahun 2006, pemerintah melakukan negosiasi pedamaian dengan LRA dan akhirnya pemerintah mengumumkan proses pulang para pengungsi (istilah lebih tepat adalah internally displaced person — IDP). Proses pemulangan ini tidak selalu berjalan mulus. Ketika kembali, banyak tanah yang sudah ditempati oleh orang lain atau dijual, garis demarkasi sudah banyak yang terlupakan, para tetua adat juga sudah banyak yang meninggal akibat perang sehingga tidak bisa menjadi penengah. Inilah yang kemudian memungkinkan praktik neo-adat terjadi dimana terdapat tumpang tindih antara tanah yang telah dikomodifikasi dengan praktik pemberian secara adat. Praktik ini sendiri pun sulit untuk diidentifikasi karena rasa percaya masih menjadi salah satu kunci dalam proses pindah kepemilikan.

Misalnya, seorang petani R di Gulu, distrik yang tak jauh dari Amuru, bercerita bahwa ia bukan orang asli Gulu. R pindah ke Gulu pada tahun 2008 dan mendapatkan sebidang tanah dari salah satu keluarga yang bersedia menjualnya. Dalam kesempatan lain, ia mendapatkan tanah dalam bentuk hibah dari kawannya, karena R dianggap sebagai orang baik. Cap ‘orang baik’ ini secara garis besar dapat dimengerti, karena meskipun bukan penduduk asli, R banyak bercerita soal pentingnya peran tetua adat setempat dalam memediasi sengketa tanah. Ia pun paham bagaimana harus bersosialisasi dengan masyarakat dan telah menghidupi cara berpikir komunal dalam kesehariannya. Secara pribadi kepada saya, R mengatakan, “Kalau kamu mau sebagian tanah saya tidak apa-apa. Saya akan berikan asal kalian bisa buktikan ke saya kalau kalian orang baik. Jangan seenaknya datang minta e. Nanti kalau kalian sudah terbukti baik, nih secomot tanah untuk kalian untuk ditempati atau jadi kebun” (01 April 2017). Namun dari percakapan-percakapan lanjutan dengan R, mengidentifikasi proses serah-terima kepemilikan tanah ini tidak mudah. Prosesnya berubah-ubah tergantung pemiliknya. Jika pemilik menginginkan, ia bisa saja menjual sebagian tanahnya.

Dengan perubahan praktik tanah adat di Acholi ini, relasi antara pemimpin klan dengan komunitas menjadi elemen yang relevan untuk diperhatikan. Di satu sisi, pemimpin klan memang masih memiliki peran sebagai mediator konflik dan memiliki peran administratif. Bersama dengan komite tanah pada tingkat parish (kalau Indonesia adalah wilayah paroki yang digunakan oleh gereja Katolik), Rwot Kweri bertanggung jawab mengalokasikan dan memverifikasi batas wilayah, dan Rwodi Kaka bertanggung jawab dalam sistem resolusi konflik berkolaborasi dengan pengadilan lokal. Dalam hal ini praktik hukum adat bekerja sebagai fungsi formal dalam masyarakat. Namun di sisi yang lain, otoritas tradisional mencoba untuk memperkuat peran mereka (Branch 2013). Ketika kami berbicara dengan ketua dan tetua adat, mereka menyampaikan perhatian yang serupa. Kemiskinan pasca-perang membuat generasi Acholi yang lebih muda lebih fokus pada pendapatan dalam bentuk uang. Aktivitas ekonomi baru yang melibatkan transaksi uang, seperti boda-boda (ojek), menjadi kekhawatiran mereka karena uang memberikan kesempatan bagi individual untuk merusak tatanan masyarakat Acholi. Sikap mereka yang menolak komersialisasi dan komodifikasi tanah menjadi salah satu contoh bentuk untuk menguatkan kembali praktik adat yang sudah runtuh ketika perang.

Hubungan antara pemimpin adat dengan komunitas menjadi signifikan ketika Madhvani berinisiatif membuka proyek gula di Amuru. Tuntutan pertama ke Pengadilan Tinggi Distrik dilakukan oleh anggota parlemen lokal dan beberapa ketua adat sebagai perwakilan komunitas. Studi Martiniello (2015) menjabarkan proses tuntutan ini dimana komunitas memenangkan kasus pada tahun 2008, namun kemudian ditarik lagi status tanah adatnya pada tahun 2012. Alasannya, karena dalam jangka waktu empat tahun itu, tanah tersebut tidak digunakan untuk tujuan agrikultur sehingga kepemilikannya menjadi tanah publik di bawah tanggung jawab badan tanah distrik. Puncaknya adalah protes perempuan di Amuru dan akhirnya pembatalan proyek di tahun 2015.

Namun ceritanya tidak berhenti di sini. Ketika saya menanyakan kasus ini kepada ketua adat, beliau menyebutkan bahwa Madhvani menggunakan ‘strategi yang salah’. Proses akuisisi tanah yang dilakukan Madhvani dianggap tidak menghormati masyarakat setempat. Masyarakat pada dasarnya tidak bermasalah jika ada perusahaan ingin berbisnis di wilayah Acholi selama ada percapakap dengan anggota komunitas. Pendapat yang sama diluncurkan juga oleh R bahwa yang dilakukan Madhvani tidak dapat diterima oleh pemilik tanah. Katanya, “Orang-orang tidak suka cara seperti itu. Mereka bicara ke pemerintah satu [Museveni] lalu minta ke pemerintah yang lain [badan tanah distrik]. Jangan, jangan. Jangan begitu. Ajak kami bicara. Orang-orang tidak masalah memberikan tanah mereka. Kamu boleh punya [proyek] gula di sini tapi pastikan juga kalau masyarakat bisa jadi pekerja, bangun sekolah dan rumah sakit” (komunikasi personal, 01 April 2017). Kedua pernyataan ini, ternyata mengacu pada perjanjian tanah baru di tahun 2016 antara Amina Moghe, CEO perusahaan investasi Horyal, dan pemerintah untuk membuka proyek gula di Atiak (masih bagian Amuru). Beberapa media lokal melaporkan bahwa perwakilan masyarakat Acholi, yang direpresentasikan oleh anggota parlemen lokal, menyambut baik perusahaan dan proyek ini sudah mulai berjalan di awal tahun 2017.

Pertanyaannya, jika Madhvani gagal, kenapa Moghe berhasil?

Kita sudah melihat bahwa hubungan antara pemimpin adat dan komunitas menjadi lebih kuat dalam kasus Madhvani. Masyarakat Acholi berusaha melindungi kepemilikan komunal mereka terhadap tanah, dan pemimpin mereka memfasilitasi proses tuntutan ini melalui jalur formal. Tentu ini menjadi sebuah legitimasi. Mereka berjuang bersama untuk mengklaim kembali tanah adat yang ingin ‘dirampas’ oleh perusahaan. Dengan hubungan yang semakin erat ini, Moghe memutuskan untuk mencari ‘strategi’ baru untuk mendapatkan akses 6,000 hektar tanah di Amuru. Moghe menggunakan hubungannya dengan Presiden Museveni sekaligus meminta saran dari ketua Partai Demokratik (oposisi), Norbert Mao, yang dulunya pernah menjadi tetua di Gulu pada tahun 2006–2011. Media lokal bahkan menunjukkan kegiatan Moghe di Atiak yang tidak hanya melibatkan ketua adat dan pemilik tanah selama negosiasi, namun juga berbincang dengan kelompok petani perempuan. Ia menjelaskan kepada para ibu-ibu Atiak, bahwa proyek ini akan menguntungkan masyarakat lokal dalam bentuk pekerjaan, sekolah, dan rumah sakit.

Cerita ini bukan cerita baru dalam isu tanah khususnya bagaimana perusahaan mencoba untuk mendekatkan diri pada kelompok adat untuk meluncurkan proyeknya. Rasa-rasanya tidak mungkin mengambil kesimpulan yang sepenuhnya baru, apalagi dalam kunjungan belajar yang sangat singkat dan sempit ini. Namun cerita ini jadi pengingat bahwa pertarungan antara masyarakat lokal versus perusahaan adalah proses politik yang panjang, baik itu dalam bentuk jejaring patron-klien atau perlawanan. Sampai saat ini investasi Moghe di Amuru belum jelas juga seberapa menguntungkan bagi masyarakat lokal karena informasi terkait proyek ini masih terbatas. Hanya dari berita terbaru yang saya baca, Moghe meminta pemerintah untuk mencairkan dana talangan (bailout) agar konstruksi proyek dapat segera diselesaikan. Saya mengulang saja kata-kata R di dekat pohon jeruknya yang sedang bertumbuh, “Kalau kamu ingin punya tanah di sini,” sambil tersenyum, “Ajak kami bicara e”.

Referensi

Branch, A. (2013) ‘Gulu in War … and Peace? The Town as Camp in Northern Uganda’, Urban Studies, 50(15), pp. 3152–3167.

Cotula, L. (2013) The Great African Land Grab? Agricultural Investmens and the Global Food System. New York: Zed Books.

Helmke, G., Levitsky, S. (2004) ‘Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda’, Perspectives on Politics, 2(4), pp. 725–740.

Lauth, H.-J. (2000) ‘Informal Institutions and Democracy’, Democratization,7(4), pp. 21–50.

LCMT (2013) Land Conflict Monitoring and Mapping Tool for the Acholi Sub-region, Uganda: LCMT. Available at: http://www.lcmt.org/pdf/final_report.pdf (Accessed: 07 April 2017).

Mabikke, S. B. (2013) ‘Escalating Land Grabbing In Post-conflict Regions of Northern Uganda: A Need for Strengthening Good Land Governance in Acholi Region’, International Conference on Global Land Grabbing, Sussex, United Kingdom.

Martiniello, G. (2015) ‘Social struggles in Uganda’s Acholiland: understanding responses and resistance to Amuru sugar works’, The Journal of Peasant Studies, 42(3–4), pp. 653–669.

NBSTV (2015). Acholi Leaders in Amuru Sugar Production Deal. Available at: https://www.youtube.com/watch?v=1YOo4oD_8s0 (Accessed: 09 April 2017).

NTVUganda(2015). $50M sugar plant to open in Amuru District. Available at: https://www.youtube.com/watch?v=VgXPCx8TC1A (Accessed: 09 April 2017).

Sserunjogi, E. M. (2013) Amina Omusementi: The Somali woman building an empire in Kampala. Daily Monitor. Uganda. Available at:
http://www.monitor.co.ug/artsculture/Reviews/Amina-Omusementi–The-Somali-woman-building-an-empire-in-Kampala/691232-2068154-344262z/index.html (Accessed: 09 April 2017).

State House (2015) Amuru Community signs agreement with Government for Sugar Factory Development; President says that land is for production not for settlement and mere prestige. Available at: http://www.statehouse.go.ug/media/news/2015/01/13/amuru-community-signs-agreement-government-sugar-factory-development-president (Accessed: 7 April 2017).

Zeemeijer, I. (2011) Who gets What, When, and How? New Corporate Land Acquisitions and the Impact on Local Livelihoods in Uganda. Utrecht University, Leiden.

Leave a comment