Tentang yang Terlewat dari Ilmu Pengetahuan

Peringatan: Catatan ini adalah tulisan nyaman alias ditulis tidak dengan struktur-struktur baku layaknya tulisan akademik yang sebenar dan sesungguhnya. Ini untuk menumpahkan isi kepala yang sedang penuh-penuhnya dan hampir meledak. Demikian.

Saya pribadi selalu tertarik dengan relasi antara sains, pengetahuan, dan proses produksinya. Mungkin tidak selalu, tapi selama lebih dari satu setengah tahun terakhir, saya mencoba mengejar ketertinggalan di studi sosial tentang sains. Biasanya, pemahaman awam mula adalah berusaha mengenal nama-nama ilmuwan dan pemikirannya, baik itu ilmuwan besar yang lahir di wilayah Eropa pada era Pencerahan maupun yang sering kali luput dari cerita arus utama seperti ilmuwan Persia atau Arab. Tapi semakin ke sini, ternyata asik sekali memahami sebuah masa dimana ilmu itu berinteraksi dengan macam-macam agensi atau elemen di dalamnya; menyimak rentang waktu di mana para ilmuwan itu dapat hadir, ‘berkarya’, dan membuat pemikirannya imortal (meskipun tidak selalu relevan). Proses belajar sains yang cenderung linier terkadang bisa membuat take science for granted, dan tidak sedikit menjadi lupa bagaimana segala pengetahuan, metodologi sains, dan perkembangan-perkembangan itu sebenarnya ya tidak hadir dalam ruang vakum.

1-WmZoj7gUbY9gKmn8CzEBaw

Studi sejarah sains sudah sangat berkembang dan dalam konteks Indonesia, isu ini sedikit demi sedikit mulai terungkap, khususnya studi sejarah. Salah satu buku tentang sejarah ilmu di Indonesia yang baru saja selesai saya baca adalah The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia karya Andrew Goss. Floracrats sendiri adalah modifikasi dari istilah ‘teknokrat’ (technocrats) yang banyak dipakai untuk menjelaskan sistem pemerintahan yang berbasiskan pengetahuan dan teknikalitas. Goss memadukannya dengan flora untuk mengacu pada posisi dan peran ilmuwan biologi dan para naturalis di Indonesia sejak pertengahan tahun 1800an. Buku ini terdiri dari sembilan bab, termasuk pendahuluan dan kesimpulan, dengan sub-judul yang tertata sesuai dengan temuan penulisnya. Melalui narasi semi-kronologis, kita akan dibawa menuju perjalanan ilmu biologi (natural) beserta dengan aktor dan ruangnya, sekaligus menemukan jalinan waktu yang saling terhubung dan berkelindan.

Saya tidak akan membahas satu per satu temuan dan kajian Goss, namun saya menaruh perhatian pada satu dua hal yang menarik untuk kemudian ditelusuri dan digothak-gathik-gathukan, dicari kemungkinan-kemungkinan eksplanatifnya dengan perjalanan sains di masa kontemporer Indonesia.


Sotoy pertama, passion to science is almost nothing, my friends

Mungkin sebagian akan “d’uh!” tapi poin ini menurut saya tetap menjadi kunci. Pada perkembangan awal sains di era kolonial, ketegangan muncul antara (a) mereka yang melalukan kerja saintifik dengan sikap kepahlawanan cem “mencerahkan” dan “memajukan” masyarakat dengan (b) mereka yang tidak secara eksplisit menunjukkan gairah keilmuannya, malah cenderung menunjukkan profilnya sebagai administrator dan birokrat yang efektif. Ketegangan ini nyata dalam proses perkawinan sains dan negara, dimana ilmuwan terikat dengan kepentingan negara. Dari kajian Goss, saya menangkap keberhasilan para naturalis tidak berhenti pada temuannya, tapi juga kemampuan manajerialnya, negosiasi dan komunikasi dengan pemerintah, juga kesanggupannya menyusun strategi promosi dan pembangunan reputasi institusi. Saya jadi sedikit mengerti mengapa kemudian terjemahan buku ini, yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu, menggunakan kata “belenggu” dalam mendefinisikan hubungan ilmuwan/pengetahuan dengan negara. Seperti tidak ada kebebasan murni bagi ilmuwan (negara) dalam melakukan kajian dan riset.

Tapi belenggu ini, menurut saya, tidak dapat dipahami secara linear siapa-membelenggu-siapa. Mengingat ilmuwan sendiri pun memiliki kepentingan pribadi dan kehendak untuk mendiseminasi pengetahuan, dimana apa yang ia temukan dan kaji membutuhkan audiensi di luar komunitasnya. Perhatian saya kemudian tertuju pada fenomena bahwa gairah terhadap sains tidak selamanya terbebas dari kebutuhan akan audiens ini. Dan jika ilmuwan gagal mendekatkan dirinya pada penonton yang lebih luas (Goss menggunakan istilah ‘masyarakat sipil’), maka ia akan menarik penonton yang lebih kecil dimana konsentrasi kekuasaan lebih kuat. Ya, negara. Apakah itu kemudian dimanfaatkan oleh negara untuk ekspansi kekuasaan dan hal lainnya, ya it comes in sort of parallel mechanism. Maka kemudian inovasi untuk mengkomersilkan dan menghubungkan sains dengan proyek negara atau bisnis adalah bagian dari satu lingkaran besar proses produksi dan distribusi pengetahuan.

Maka menjadi pertanyaan, apa artinya semangat ‘pencerahan’ dan gairah saintifik ini, jika ia tidak berhasil mengakar pada masyarakat luas malah asik bermanuver mencari audiens kecil penuh kuasa yang dianggap bisa ‘mengapresiasi’ pengetahuan?

Saya merefleksikan ini dari satu fakta kecil bahwa Ekshibisi Sains tahun 1853 yang diakomodir oleh administrasi kolonial di Batavia terinspirasi dari Great Exhibition di London pada tahun 1851. Yang perlu dicatat di sini adalah Great Exhibition di London dilaksanakan di Inggris DAN untuk penduduk Inggris atau audiens Eropa Barat, menciptakan reputasi soal kejayaan dan ekspedisi memberi dampak positif terhadap pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan tidak menyingkirkan fakta bahwa Kerajaan Ottoman dan China pun ikut berkontribusi, Great Exhibition memiliki audiens yang lebih plural. Berbeda dengan Ekshibisi 1853 di Batavia, yang menurut saya, sedikit tidak jelas. Memang, ekshibisi ini dicatat oleh Goss sebagai sebuah keberhasilan karena sifatnya yang less authoritative. Artinya dalam proses kurasi objek pameran, komite tidak memberlakukan aturan dan hirarki yang kaku, semua dapat berpatisipasi memberikan sumbangan dan masukan, dan pada hari H-nya bisa berhasil menarik pengunjung.

Namun saya bertanya juga sebenarnya siapa pengunjung Ekshibisi 1853? Goss dengan mudah menyebutkan ‘civil society’ sebagai target dari ekshibisi yang membuat saya bertanya-tanya masyarakat sipil mana yang dimaksud, orang-orang Belanda di Batavia atau termasuk para penduduk lokal? Sejauh mana penduduk lokal terlibat dalam ekshibisi ini tidak dicatat secara jelas. Jika sedari awal perkembangan sains di wilayah Indonesia tidak melibatkan secara aktif, maka memang naif sekali untuk mempertimbangkan kemungkinan berhasilnya sains mengakar pada akar rumput. Meskipun kemudian gerakan nasionalisme dimana para cendekiawan muda melancarkan aksi penolakan terhadap pemerintah kolonial, rasa-rasanya memang sains selalu bertarung di ranah elit dan birokratif. Bahkan setelah Indonesia merdeka, Goss menaruh banyak poin penting tentang kelanjutan integrasi ilmu pengetahuan dengan negara yang administratif ini, sekaligus merujuk pada apa yang kemudian disebutnya sebagai desk science alias ilmuwan banyak ngurusuin paperwork di meja. Namun lagi-lagi sulit mengidentifikasi sejauh apa jarak antara masyarakat ‘biasa’ (laypeople) dengan ilmu itu sendiri.

Pada titik ini saya jadi bertanya-tanya memang soal kecintaan dan gairah terhadap sains yang seakan tidak ada artinya jika dalam proses produksi sudah ada segregasi, apalagi distribusinya. Tentu tidak dapat mengekspektasi semua orang memiliki ketertarikan dan kesempatan untuk memahami ilmu pengetahuan. Akan selalu ada necessary elites (atau kelompok) yang memiliki gairah dan kemampuan khusus terhadap ilmu pengetahuan. Namun sejauh apa para elit dan sekolompok orang ini sekaligus bergairah membuka ruang, bekerjasama langsung dengan dunia pendidikan dasar dan menengah, mendekatkan diri pada kami-yang-tidak-semuanya-paham-bagaimana-pohon-kina-bekerja? (Kalau diteruskan ini bisa berlanjut pada dunia internet yang memungkinkan orang biasa mendekatkan diri pada sains DAN pseudo-sains)


Sotoy kedua, teknokrasi ini sungguh semakin layak untuk dipertanyakan, jangan-jangan Indonesia yang (so-called) teknokratik ini hanyalah sebuah ilusi. WK.

Ya memang, istilah teknokratik lebih populer asosiasinya dengan masa Orde Baru. Tapi kalau mau ditelaah-telaah sok-oke-less-empirical-dan-cuman-kepo, apakah kita pernah sepenuhnya teknokratis? Curiga saya, tidak. Ini sebenarnya mengacu pada rujukan Goss ke tulisan Van Doon yang berkata bahwa Hindia Belanda itu incomplete technocracy, dan Goss kemudian mengelaborasinya sebagai technocratic dreams. Apakah mewujudkan sebuah negara yang sepenuhnya berjalan seperti mesin dan teknikal ini memang tidak pernah selesai, yang kalau dalam bahasa saya, lebih cocok unfinished technocracy?

Poin ini yang agaknya perlu dielaborasi lebih, mengingat semangat untuk menggunakan model saintifik dan data empiris selalu ada, dan yang berbeda adalah di level institusionalisasinya. Beberapa ilmu pengetahuan di Orde Baru mungkin lebih efektif, tapi toh kita lebih mengenal bagaimana kebijakan-kebijakan masa itu lebih banyak adalah visi sekelompok figur. Di era sekarang pun, penggunaan sains, model saintifik, dan solusi teknis disanjung dan didorong sedemikian rupa, tapi apakah kemudian sudah-pasti-yes ‘negara’ beroperasi murni dari sini? Jika jawabannya tidak, maka apa yang kita maksud dengan negara teknokratik? Dan apakah negara ini tidak termasuk masyarakat dan penduduknya, yang saya yakin tidak semuanya perlu membedakan mana yang teknis dan non-teknis?

Tulisan Goss tentang kelindan dan ketegangan antara birokrasi, gairah keilmuan, politik, dan gerakan masyarakat ini yang membuat saya sangat menghargai studi sejarah yang mengungkap ketidakmurnian ilmu pengetahuan. Sains tidak suci dan netral (kalo kata kawan saya, yang netral hanyalah band). Sains tidak hanya bisa ditantang dari sisi temuan (dengan dibalas dengan metodologi serupa) tapi juga secara sosiologis dan historis (mungkin filosofis juga politis, ah semuanya aja wkwk) baik itu proses produksi, diseminasi, integrasi dengan kekuasaan, dan lain sebagainya. Jika fenomena bumi datar, anti-vaksin, dll dll itu selalu ada (tidak hanya di Indonesia tentu), tidakkah kita bertanya tentang apa-apa saja yang terlewat selama ini?

Catatan akhir: Bagi yang tertarik dengan Floracrats boleh lho coba cari bukunya atau terjemahannya bisa cek di Komunitas Bambu. Kalau mau pinjem saya juga boleh asal dikembaliin huehe (promosi).

Leave a comment