Supartono dan Kesedihan di Taman

Supartono bercerita lagi tentang dia. 

Suatu siang di minggu yang mendung, saya dan Supartono berjalan-jalan di sebuah taman tak jauh dari daerah kos kami. Taman cukup ramai orang namun tidak sepadat yang kami perkirakan. Saya melihat cukup banyak komunitas-komunitas hobi berkumpul, termasuk para skate boarder melatih gerakan meluncur dan manuver mereka. Tak sedikit juga yang hanya duduk membaca atau bermain-bermain dengan telpon pintarnya.

tumblr_inline_ohz97cWuJx1qahhvq_500

Supartono pernah bilang, taman adalah salah satu tempat yang cukup menyenangkan untuk menceritakan hal-hal sedih. Saya bertanya kenapa kok aneh, kalau sedih lebih baik di kamar jadi tidak terlihat orang dan bisa menangis sendiri. Justru itu, katanya, karena di taman banyak orang kita akan berusaha mengontrol diri kita untuk tidak menangis sesenggukan. Sebenarnya, jawaban Tono membuat perdebatan kami soal ini jadi panjang. Tapi bukan ini yang mau saya ceritakan.

Supartono masih menikmati es krim yang dia beli di restoran cepat saji. Saya ingin bertanya hal sedih.

“Tono, aku boleh bertanya soal Tini tidak?”
“Ya boleh. Ah, kamu ingat percakapan kesedihan di taman ya?”
“Ya demikian. Dan kamu juga lagi makan es krim jadi tidak ada alasan buat kamu menjadi sedih karena pertanyaanku,”
“Haha. Betul juga,”
“Jadi?”
“Aku masih tidak paham,”
“Soal alasannya putus?”
“Ya. Padahal kami tidak pernah telepon tiap hari. Berkomunikasi lewat teks pun jarang. Setiap bertemu pun membicarakan hal-hal yang dia anggap penting. Tiap aku melempar bahan candaan, jawabannya hanya dua kali anggukan dan ‘haha’,”
“Tidak ada respon lain?”
Supartono menggeleng pelan.
“Hmmm. Dan Tini masih menganggap kamu terlalu bawel?”
“Ya. Padahal ketika awal kita dekat dia cukup banyak berbicara. Soal apapun yang dia suka termasuk sejarah bakpao dan bakcang. Tapi setelah dia bilang ‘ya’ jadi semakin diam,”
“Kamu pernah bertanya?”
“Pernah. Jawabannya karena ‘sudah terlalu nyaman’ kehadiranku saja cukup,” Supartono menghabiskan es krimnya, mengusapkan jari di celana jeansnya.
“Itu manis sekali,”
“Ya. Aku tidak ada masalah sama sekali. Kamu tahu aku kan?”
Saya mengangguk pelan, “Lalu di mana masalahnya?”
“Itu pun ku ajukan. Jawabnya saya terlalu banyak bertanya dia tak nyaman,”
“Memang kamu sering bertanya apa?”
“Apa kabar kamu hari ini?”

Saya kembali tidak paham dan tidak bisa membayangkan kesedihan macam apa yang bisa lahir dari keputusan-keputusan semacam ini; keputusan yang kita tidak pernah pahami bagaimana alur logikanya. Jenis komunikasi seperti apa yang harus dicapai ketika bertanya sesederhana ‘apa kabar’ pun dapat menjadi masalah. Mungkin Tini sedang mengembangkan keahlian bertelepati.

“Dia lebih suka bercerita tentang dirinya ketika dia merasa perlu. Dan pertanyaan apa kabar ternyata membuatnya terpaksa bercerita,” kata Supartono lagi. Wajahnya mulai berubah. Bergumam hmmm pelan. Sebagai orang yang sering mendapat cerita dari banyak kawan betapa mereka ingin sekali mendapat perhatian sekedar apa kabar, ini anomali.

“Tapi kalian bertahan tiga tahun,”
“Ya, dalam keheningan. Selama tiga tahun saya bertanya, Tini tak pernah bilang apa pun. Sama sekali. Dia selalu menjawab dengan cerita sehari-harinya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk tidak menghubungiku lagi. Mungkin lelah terus-terusan bercerita tentang dirinya,”
“Tapi kamu … pasangannya …. bukan?”
“Ya. Mungkin. Entahlah. Terlalu banyak hal yang tak bisa dibicarakan memang, tapi aku sendiri berpikir ini kecurangan.”

Saya hanya diam. Supartono pun langsung menjadi diam. Saya tak bisa menilai apa yang dia rasakan sekarang. Ketika saya menengok melihatnya, pipi sebelah kirinya basah.

Leave a comment