Supartono dan Keluh Kesah Seorang Kawan

Tulisan ini bukan cerita milik Supartono, tapi jika boleh memberikan konteks, Supartono mendengarkan keluhan ini. Dalam diam, dalam tenang, dalam pemahaman bahwa tiap orang boleh dan berhak untuk menentukan ke mana dirinya sendiri hendak dibawa.

Saya tak suka dengan romantisme kehidupan. Ini semua hanya buang-buang waktu, tidak ada yang signifikan, dan apa pula itu sebuah arti. Pertarungan dan tensi antara diri sendiri dan sekitar seperti terus-menerus berulang, melelahkan. Ada kenyataan bahwa ‘diri ini’ tak bisa hadir dengan sendirinya, maka sekitar dan orang lain dan komunitas dan yang sosial perlu hadir menjadi kompi. Jadi sejauh apa harus dikorbankan? Tentu sejauh saya tidak menjadi gila karenanya.

tumblr_inline_oh4nmm2ZfQ1qahhvq_500

Saya harus berargumen bahwa meskipun ada seseorang yang mampu menyenangkan banyak orang, keterbatasan itu hadir, pun sebaliknya. Saya tak mau berasumsi soal sifat alami manusia. Siapa pula yang paham artinya jika yang alamiah dari kita terus berubah oleh lingkungan dan faktor-faktor relatif lainnya. Tapi saya pikir ada esensi yang dimiliki manusia, yaitu kemampuan untuk menggunakan potensinya secara utuh. Dan sejauh mana lingkungan sosial dan masyarakat mengakomodasi ruang ini?

Saya tak suka jika ketidaksepakatan membatasi ruang praktik dari esensi manusia untuk mengerjakan potensinya. Sebuah argumen dan prinsip bisa melebihi alasan, “Karena demikianlah seharusnya.” Apakah memang ini semua—aturan dan nilai sosial—adalah penemuan yang mengantar pada bencana? Dalam kehidupan praktikal, kita sulit untuk paham dari mana ini semua berasal, kenapa kita hadir dalam kultur dan kondisi seperti ini, dan tentunya kita harus menghadapinya tanpa pernah mengerti apakah ini yang alami dari manusia.

Saya kesal. Kesal dengan aturan dan nilai-nilai yang ambigu, tidak jelas, dan membuat saya terbatas untuk melakukan sesuatu. Tak sedikit pula yang menolak untuk mendengarkan. Bangsat. Belum lagi sensitivitas tanpa batas yang membuat orang semakin mudah merasa tersinggung. Seakan dirinya begitu penting hingga butuh tameng hidup. Darimana akarnya? Kembali lagi, nilai-nilai buram yang tak jelas darimana asalnya.

Apakah kita memang tak pernah bisa jadi tuan atas tubuh dan diri kita sendiri? Apakah saya harus terus menerus berinvestasi pada interaksi banal yang memaksa saya untuk menjadi bagian dari komunal yang saya tak pernah setuju? Berapa dan ongkos seperti apa yang harus saya keluarkan untuk bisa, paling tidak, menjadi tak serupa? Mengapa kesombongan komunal ini muncul dalam individu bahkan dalam situasi ketidakpahaman akan diri sendiri? Siapa yang bisa paham diri sendiri?

Lalu Supartono menyerahkan segelas teh hangat pada kawannya. Teh prenjak kiriman ibu dari kampung dengan sedikit gula untuk menenangkan. Semoga kawannya bisa tidur nyenyak malam ini. Selamat malam.

Leave a comment