Supartono menemani kawan kecilnya naik kora-kora.
Di minggu-minggu perayaan hari raya, Supartono sedang bersantai-santai di rumah. Lenggang kangkung membaca komik sambil sesekali mencomot perkedel kentang buatan ibunya. Pukul empat tiga puluh sore dan langit biru di ujung timur masih ramah sambil sesekali angin menghembus ke ruang tengah. Tetiba badannya berat, ada sekian kilogram buntalan daging menindih tubuhnya.
“Om Tono!” teriak suara nyaring di samping telinga Supartono. Ah, si kawan kecil rupanya baru bangun dari tidur siang.
“Aduh, kok kamu sudah bangun? Tidur lagi sana. Kurang lama kamu tidurnya,” kata Supartono sambil menyingkirkan badan kawannya itu.
“Nggak mau. Om Tono! Ayo kita ke pasar malam,” kata kawan kecil sambil menepuk-nepuk pipi Supartono lumayan kencang. Wajah Supartono pura-pura meringis.
Kawan kecil Supartono ini usianya baru enam tahun tapi ada-ada saja kelakuannya. Pernah suatu kali Supartono dibuatnya pusing. Spidol hitam berceceran di mana-mana dan Supartono mencari si kecil ke seluruh kompleks. Ternyata dia bersembunyi di balik semak samping rumah, dengan wajah coreng moreng, upaya berkamuflase. Padahal sedang tidak bermain petak umpet tapi memang si kecil punya kesenangan bersembunyi. Atau pernah suatu hari dia melempar parfum baru ibunya dari balik pagar rumah. Tentu saja setelah dia menggunakannya sebagai alat menumbuk lem kertas. “Aku lagi membuat es krim,” katanya sambil mencampur-campur lem dengan biji-bijian yang entah dia dapat dari mana.
Maka ketika si kawan kecil menarik-narik Supartono dari atas sofa, Supartono menurut saja. Ya tentu sebelum si kecil berteriak-teriak dan kemudian melumuri tangannya dengan tanah. “Om Tono ayo ayo. Aku mau beli es krim juga,” si kawan kecil masih bersemangat memaksa Supartono menemaninya. Supartono melangkah gontai, perkedel kentangnya masih setengah habis.

Saya sedikit keheranan dengan Supartono. Selalu merasa dekat dengan anak kecil, padahal belum tentu anak-anak itu mau bermain dengannya. Mungkin di balik usianya yang sudah semakin tua (bukan dewasa, karena dewasa itu istilah/permainan mental), dia pun sedang berkamuflase. Ingin terus dekat dengan masa kecil yang tanpa beban pikiran. Konflik permasalahan hanyalah antara memilih bermain atau tidur siang. Ah, andai kurcaci-kurcaci itu tahu betapa nikmatnya memiliki jam tidur siang di tengah kepadatan kantor.
Urusan menjadi tua ini pun sebenarnya saya tak tahu. Buat kamu pembaca cerita Pangeran Kecil atau komik-komik Bill Waterson pasti sedikit paham apa yang saya maksud. Supartono … entahlah. Seakan dia menghidupi cerita-cerita itu. Bermain-main dalam jumlah waktu yang setara dengan jamnya mencari penghidupan. Terkadang menyanyi di tengah jalan dengan nada sumbangnya yang membuat pengendara motor di ujung pertigaan menengok, mencari suara apa gerangan.
Saya pernah menanyakan satu hal pada Supartono jika dia bisa bertanya pada dirinya di masa depan, pertanyaan apa yang akan ia ajukan. Dia sedikit berpikir kemudian menjawab tenang, “Apakah kamu sudah bersenang-senang?” Entah harus menanggapi apa dengan jawaban model demikian. Apakah perlu saya pikirkan juga? Atau jangan-jangan kamu pun jadi berpikir. Yah, mungkin Supartono tak takut menjadi tua dan dewasa, dia lebih takut tak bisa lagi melihat dunia dengan segala signifikansi dan keremehannya lewat kacamata seorang anak.
Maka berangkatlah Supartono dan kawan kecilnya ke pasar malam. Tidak terlalu ramai ternyata. Si kawan kecil sesekali melepas genggaman tangan dan berlari menuju arena permainan yang dia inginkan. Sesekali bermain adu kecerdasan dengan Supartono agar dia bisa mendapatkan kembang gula sebesar tas sekolahnya. Sampai akhirnya si kecil ingin bermain kora-kora.
“Kamu yakin mau naik itu?” tanya Supartono sedikit memberi peringatan.
“Yakin, Om. Kan aku pemberani,” jawab kawan kecil dengan kepercayaan dirinya.
Supartono hanya menyengir pasrah dan membayar tiket bermain kora-kora. Binar mata kawan kecilnya cerah sekali, seperti menemukan peta harta karun yang siap dijelajahi. Sepuluh menit kemudian …. “Om, aku pusing,” sahut kawan kecil memegang kepalanya dan mengeluh berat. Supartono hanya tertawa kecil. Menggendong kawan kecilnya di belakang punggung dan berjalan pulang. Sesekali kawan kecilnya membelai-belai alis hitam Supartono dan berkata, “Om, aku pusing. Cepat pulang,”