Supartono dan Jalan Sepi

Satu malam yang cukup dingin saya dan Supartono menghangatkan diri di sebuah kedai kopi 24 jam. Bukan kedai, saya ralat. Warung kopi 24 jam. Kami berbincang ini itu demi menghabiskan tanggal yang sebentar lagi habis.

“Aku kemarin sempat adu mulut dengan teman kantorku,” kata Tono tiba-tiba.

Saya sedikit terheran, karena Supartono jarang sekali berdebat atau sejenisnya. Dan sungguh tidak umum melihatnya sampai beradu mulut.

“Lalu?”

 “Ya jadi dia menganggap bahwa aku mencla mencle,” kata Supartono sambil sedikit tertawa.

“Mencla mencle gimana?”

“Ya dia bilang aku tidak tegas,”

“Memang kalian berdebat apa?”

“Lebih baik nasi putih atau nasi merah,”

“Nggg oke. Lalu?”

“Aku bilang saja, tergantung dia mau melihat baik itu dari mana. Kalau soal ketersediaan dan kenyamanan ya jelas nasi putih, kalau soal hidup lebih sehat dan jika memang berkebutuhan khusus, diabetes misalnya, ya nasi merah. Tapi dia bersikeras, aku harus memilih salah satu,”

“Lalu?”

 “Menjadi sedikit besar ketika dia mulai bertanya ke hampir semua orang di kantor. Yang pendukung nasi merah ikut dia, lalu ternyata ada orang lain lagi yang garis keras nasi putih,”

“Hmmm. Lalu akhirnya kamu?”

“Dimarahin banyak orang?”

“Hahaha. Memang kenapa kamu tidak bisa memilih salah satu?”

“Kenapa aku harus memilih salah satu dan menjadi kaku karena itu? Masakan aku harus selamanya makan nasi putih atau selamanya makan nasi merah. Jadi miskin pilihan dong,”

“Tapi paling tidak kamu punya hmmmm massa … ya massa yang mendukungmu entah itu nasi putih atau nasi merah,”

“Ya tapi dari dulu pun kalau ditanya soal nasi aku akan jawab itu. Paling tidak aku pun ….”

“… konsisten,”

“Ya, konsisten.”

Saya tertawa sedikit. Supartono memang aneh. Saya jadi pernah ingat dia pun pernah di dalam posisi yang sama ketika diminta untuk memilih cinta atau persahabatan, telur ceplok atau telur dadar, stensil atau komik, lagu rock atau dangdut, hidup atau mati, kanan atau kiri.

tumblr_inline_oiollmHLQE1qahhvq_500

Saya bisa membayangkan bagaimana suasana di kantornya saat itu. Sekelompok orang beradu pendapat dengan kelompok yang lain, bersitegang membahas nutrisi nasi putih dan nasi merah, mendiskusikan pula proses produksi dan lain-lain dan lain-lain. Lalu Supartono hanya diam mendengarkan dulu. Kemudian dia berbicara dengan kelompok nasi putih bahwa nasi merah baik di sisi a b c d dan bercakap dengan nasi merah bahwa nasi putih pun baik dalam situasi e f g h.

“Aku sempat bertanya-tanya kenapa orang sering kali bersikeras berada pada satu sisi?”

“Hmmm. Aku tidak tahu. Mungkin bisa jadi lebih fokus? Bisa jadi lebih … apa ya, idealis?”

“Ya mungkin. Tapi keduanya tidak harus dipertentangkan yang bagaimana kan? Masing-masing pun selalu ada kontradiksinya dan kontradiksi juga tidak selamanya negatif. Pertanyaannya bagaimana nanti akhirnya kamu harus memilih untuk bisa bertahan hidup. Misal, kamu memilih nasi merah, lalu suatu hari di hutan belantara kamu tersesat sudah hampir mati dan hanya ada nasi putih tergeletak teronggok dekatmu, masa kamu mau menjadi bodoh dan mati hanya karena tak mau makan nasi putih? Ya tidak apa-apa juga sih kalau mau memilih mati,”

“Kamu terlalu menyederhanakan kalau analoginya demikian,”

“Ya memang. Tapi kamu tahu maksudku apa kan?”

Saya hanya mengangguk pelan. Tidak mudah memang untuk bisa berdiri di persimpangan, di tengah ketegangan antara dua, tiga, empat pilihan. Antara narasi di kepala dan kenyataan memang sering kali berbeda, gagasan surgawi perlu bercakap-cakap juga dengan tanah bumi. Supartono menenggak cepat tehnya. Wajahnya sedikit kesal tapi juga menahan geli hal yang baru saja diceritakannya.

“Kamu tidak merasa sendirian dengan selalu berpikir demikian?” tanya saya lagi. Supartono hanya mengangkat bahunya lalu bersiul-siul nada tidak jelas.

Saya pikir kesendirian itu terasa. Satu masa pasti ada kesakitan. Entah itu hal-hal yang dianggap penting ataupun banal. Tapi toh, saya jadi ingat seorang Romo bijak pernah berkata, jika ingin setia pada kebenaran ya hiduplah dalam tegangan.

Supartono mungkin memilih jalan sepi itu, tak ramai riuh di tengah banyak orang yang bersikeras mempertahankan apa yang diyakininya. Mungkin juga Supartono hanya ingin berdamai di tengah jembatan penyambung langit dan bumi. Dan bisa jadi Supartono ingin jadi kaya soal banyak hal, tidak terkekang oleh semangat garis keras dan kekakuan yang justru tidak membebaskan.

Ah tahu apa saya. Saya pun tak bisa memilih nasi merah atau nasi putih. Keduanya sama-sama enak saja.

——————————————————————————————-

Tulisan ini dibuat atas hasil membaca sebuah percakapan 49 menit. Terima kasih untuk Bramantya Basuki yang sudah pernah menulis di tautan ini.

Leave a comment