“… uncertain whether it was the magic of the night which lay like silver on the snow or whether it was the light of dawn …”
Dan Emil mengakhiri satu cerita pendek itu dengan mengangguk-angguk tanpa komentar. Artinya suka. Ia menutup bukunya, membalik, kemudian melihat ke sampul belakang. Translated from the Polish. Oh ternyata pengarang aslinya orang Polandia. Emil memainkan halaman-halaman bukunya sampai mengeluarkan bunyi “trererrrerrrt”. Suara tumpukan kertas yang ditarik dan dilepas bersamaan. Dia tersenyum pelan sambil menghirup sedikit bau apek yang keluar dari gerak kertas itu. Tanpa melanjutkan membaca, ia meletakkan buku di atas tumpukan buku lainnya dan berlari keluar kamar.
Emil tidak pernah membaca buku sampai selesai. Dia hanyalah pembaca daftar isi dan kata pengantar. Jika buku itu beruntung akan terbaca hingga halaman ke dua puluh. Lebih beruntung lagi, maka setengah buku. Buku yang habis dibaca tidak bisa dihitung karena memang tidak ada. Berkali-kali ia menggumam dan berjanji pada dirinya sendiri untuk menyelesaikan satu atau dua, tidak pernah berhasil. Mama Emil pernah bilang kalau dia adalah anak yang kreatif dan banyak energi, suka melakukan banyak hal dan berlari-lari. Jadi tidak apa-apa kalau tidak membaca buku sampai habis, atau tidak selesai menulis, juga tidak bisa tidur malam.
“Mama, aku tadi menghabiskan satu cerita lho.” Emil menghampiri ibunya yang sedang membaca koran di ruang tamu. “Oh ya? Buku yang Mama kasih ke kamu?” tanya mamanya. “Iya. Bruno Schulz. Aku baru tahu dia orang Polandia,” kata Emil lagi sambil memainkan ujung koran yang dipegang ibunya.
Mamanya tersenyum, meletakkan koran, dan segera menatap Emil dengan mata yang ingin tahu. Ingin tahu bagaimana Emil bercerita meskipun hanya satu cerita pendek, cerita Schulz yang diterjemahkan dengan bahasanya sendiri, bahasa Emil yang tidak banyak orang mengerti. Berantakan, lebih terdengar seperti racauan, tidak berbunga atau berstruktur ranting. Lebih seperti dedaunan yang rontok tertiup angin atau bolong dimakan ulat, terkadang basah oleh air pagi, juga kering di hari kemarau. Selalu berubah-rubah tergantung suasana hati, tergantung peri imajinasi genre apa yang sedang menghinggap di kepalanya.
“Jadi kamu baca cerita yang mana? Cerita dong,”
Tanpa diminta dua kali Emil langsung memperagakan cerita yang baru dibacanya. Tentang malam yang mengundang puisi, juga deretan toko kayu manis. Aroma rempah, juga sepi dan sunyi jalan. Seekor kuda berkata, “Aku tadi sudah memberi tahumu” dan kelas Profesor Arendt. Emil bergerak sesuka hati menceritakan kembali Toko Kayu Manis. Mama Emil mendengarkan dengan seksama dan tersenyum-senyum sendiri.
“Sudah selesai ceritanya. Bagus ya. Aku suka. Nanti kalau ada waktu aku mau acak pilih ceritanya lagi,” kata Emil kemudian seketika berlari menuju ke luar rumah. Mamanya mengangguk pelan sambil kembali melanjutkan membaca koran.
Matahari sore itu masih sedikit terik. Suara kipas angin dari ujung ruangan masih berputar dan sesekali berbunyi meringkik. Mata Mama memandang tulisan di koran tapi pikirannya pergi menjelajah, mengingat-ingat kira-kira buku cerita apa lagi yang bisa dibaca oleh Emil yang lincah ini. Sesekali melihat layar ponsel menengok daftar buku yang tersedia di gudang kawannya yang menjual buku cerita bekas. Dokter bilang, mudah terdistraksi bukan berarti tidak bisa mencerna informasi dan cerita. Karena Emil tidak bisa membaca cerita panjang, Mama Emil berlangganan majalah anak supaya Emil bisa membaca cerita-cerita pendek atau cerita bergambar. Sesekali juga menunjukkan pada Emil cerita pendek atau strip komik di koran. Tapi terkadang Emil cepat bosan. Cerita di majalah anak begitu-begitu saja, tidak ada tema baru dan jumlahnya makin sedikit tertumpuk iklan. Cerita pendek di koran terkadang terlalu susah dibaca apalagi koran nasional. Satu paragraf membuatnya terlalu banyak berpikir dan Emil tidak suka. “Aku ingin cerita yang beneran bercerita, Mama. Aku tidak mau main petak umpet, soalnya susah menemukan di mana intinya bersembunyi.”
Dalam diam di ruang tamu dan suara Emil yang bermain di halaman depan, tetiba ada suara seperti barang jatuh dari kamar Emil. Mama Emil tersentak pelan, mencari sumber suara itu. Ia mencoba mengacuhkannya dan kembali fokus pada ponsel yang sedang dipegangnya. Sampai kemudian suara itu berbunyi lagi. Dua kali. Mama Emil masih meragukan apakah memang ada sesuatu di kamar, atau telinganya saja yang salah mendengar. Belum sempat mengalihkan pikiran, suara itu berbunyi lagi. Kali ini seperti menggedor pintu kamar Emil. Mama Emil sedikit ketakutan. Jangan-jangan ada penyusup. Ia mengintip keluar sebentar, memastikan Emil masih baik-baik saja. Pelan-pelan ia meletakkan koran dan melangkah, mengendap-endap menuju kamar Emil. Mama berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya, langsung membuka begitu saja atau mendengarkan terlebih dulu dari balik pintu.
Begitu sampai di depan pintu kamar, Mama masih belum menentukan pilihannya. Sampai kemudian suara itu berbunyi lagi. “Mama, Mama, Mama tolong keluarkan aku dari sini,” sahut suara itu setengah berteriak dari balik pintu. Mama terkejut. Itu suara Emil. Lalu siapa yang berada di luar? Mama masih ragu dan ketakutan, masakan ini seperti cerita-cerita horor tengah malam seperti yang pernah dibacanya di laman Facebook. “Mama, mama, ini Emil, Mama. Yang sedang di luar juga Emil. Buka dulu, aku jelaskan,” kata suara itu lagi dari balik pintu. “Hai kamu, bagaimana aku tahu kalau kamu Emil. Jangan-jangan kamu penyusup,” kata Mama. “Aku lahir tanggal 5 Mei, Papa sudah meninggal ketika aku SMA. Aku tidak melanjutkan sekolah karena aku anak yang kreatif dan bisa melakukan apa saja,” kata suara itu. Itu Emil, gumam mamanya. Penekanan pada alasan tidak melanjutkan sekolah membuatnya yakin kalau itu Emil.
Mama mulai membuka pintu dari luar. Seorang Emil berdiri di hadapannya memakai baju yang sama dengan Emil yang berada di halaman. Tidak ada yang berbeda sama sekali. Rambut pendeknya, matanya yang hitam, kelopaknya yang tipis, semua-muanya sama. Mama Emil masih terdiam, mencoba mencerna penampilan fisik Emil ini. Emil menghela nafas lega, beruntung Mama percaya padanya. Ia memberi waktu mamanya untuk menjadi bingung sebelum kembali membuka mulut.
“Mama, Mama tahu darimana Mama mendapatkan buku Schulz itu?” tanyanya kemudian. Mama menggeleng pelan. “Mama menemukannya di tumpukan buku milik Papa kamu dulu dan baru ingat untuk memberikannya ke kamu hari ini,” kata Mamanya mencoba menjawab namun tetap dengan penuh kebingungan. “Hmmmm……”
Emil berjalan ke pintu ke luar. “Eh anu, jangan ke sana,” Mama melarangnya menemui Emil yang di halaman. “Tidak apa-apa, Mama. Aku hanya ingin mengecek Emil. Sepertinya dia tidak sadar apa yang sedang terjadi,” kata Emil kemudian sambil segera menarik Mama masuk ke kamar. Mama hanya menurut sambil masih kebingungan.
“Mama. Buku Schulz yang Mama berikan itu … aku tidak tahu bagaimana menyebutnya selain aneh. Sewaktu Emil yang di halaman bercerita, cerita apa yang dia sampaikan ke Mama?” tanya Emil lagi seperti tidak sabar. Nadanya penuh pikiran curiga, seperti detektif yang sedang melakukan investigasi. “Toko Kayu Manis,” jawab Mama. Pikiran Emil seperti penuh dengan kepingan yang acak, tercerai berai, persis seperti orang yang hilang ingatan dan berusaha mencari tahu ada apa dan di mana dia sekarang. “Aneh sekali. Aku tidak membaca cerita itu. Aku membaca cerita pertamanya, Agustus,” kata Emil lagi kali ini sambil berdiri dan mengambil buku Schulz yang terletak di atas tumpukan. “Aku curiga dengan buku ini. Jangan-jangan ia menyimpan benda keramat yang dulu diburu oleh Hitler,” katanya kemudian. “Eh?” Mamanya kali ini bertanya dengan nada yang sedikit lebih keras tanda keheranan dan juga protes tidak setuju. “Kamu jangan sesuka hati bikin teori konspirasi. Mana ada cerita benda keramat Hitler sampai di sini?” tanya Mamanya.
Emil menatap Mamanya tajam. “Mama. Mama tahu siapa Schulz?” tanya Emil. Mamanya mengangguk pelan. “Tapi bukan berarti ….” “Bukan berarti bagaimana, Mama? Dia menyimpan cerita buruk dengan tentara Gestapo. Hampir dua ratus orang, Mama, dua ratus orang Yahudi dibunuh pada malam yang bersamaan dengan Schulz dibunuh. Tubuh mereka bahkan tergeletak di jalan semalaman, sampai kemudian dikubur massal. Masakan Mama tidak mau percaya ada yang mistis dari buku ini?” kata Emil berapi-api, seakan karena dia tahu segalanya opininya adalah kebenaran. Mama diam saja mendengarkan sampai setelah Emil sedikit reda, Mama berkata, “Tapi yang kamu baca kan bukan manuskrip asli. Itu terjemahan. Coba kamu baca bagian belakang.” Translated from the Polish by Celina Wieniewska.
Emil termenung dan segera terduduk, “Oh iya”. Teori yang berusaha dibangunnya selama beberapa jam langsung runtuh. Ia tidak berhasil mendapatkan jawaban kenapa tubuhnya bisa ada di kamar dan di luar rumah dalam waktu yang bersamaan. “Lalu kenapa aku bisa menjadi dua seperti ini?” tanya Emil kemudian sedikit sedih. Rasa percaya dirinya hancur karena ia tidak berhasil menjelaskan ke Mamanya mengapa Emil-halaman bercerita Toko Kayu Manis sedangkan yang di kepalanya adalah cerita Agustus. Pertanyaan itu pun kemudian jadi mengganggu Mama, sampai akhirnya Mama meminta Emil menceritakan seluruh kejadian dari awal sampai akhir.
“Aku membaca daftar isi, Mama, seperti biasa. Ini aku duduk di sini. Lalu aku seperti ingin melanjutkan karena aku penasaran, maka aku membaca cerita pertama. August judulnya. Aku sangat suka cerita tentang musim yang beralih dan salah satu nama tokohnya sama sepertiku, Emil, dengan kumis dan pandai bermain trik kartu. Aku suka ceritanya dan segera menutup buku itu dan memainkan halamannya. Treeeet seperti ini. Tapi kemudian aku terhenti, hah ada apa kok seperti ada yang mengganjal. Ternyata di salah satu halaman aku menemukan selembar potongan koran tahun 1992 tentang Bruno Schulz dan penembakan di ghetto Drohobycz. Setelah membaca sekilas aku membayangkan sebentar ngerinya waktu itu. Malam dingin dan tubuhku tergeletak begitu saja. Aku segara menyelipkannya lagi di halaman buku. Dan memainkan halamannya lagi. Treeeeet. Setelah itu aku tidak tahu, Mama, seingatku aku tertidur dan terbangun dengan pintu kamar yang terkunci dari luar. Aku mendengar suaraku sendiri di bawah bercerita tentang Toko Kayu Manis. Aku bahkan tidak tahu ceritanya, aku tidak membaca cerita itu. Yang kubaca cerita Agustus.”
Emil menceritakan situasinya pada Mama dengan penuh ekspresi. Tubuhnya bergerak mempraktikan caranya dia memainkan halaman-halaman buku, ekspresinya ketika menemukan potongan koran, dan juga kebingungannya ketika tahu ada Emil lain berbicara pada Mamanya. Mama mendengarkan cerita Emil dengan seksama. Sama seperti mendengarkan Emil yang sedang bermain di halaman tadi. Sama ketika Emil sedang bercerita tentang cerita pendek Budi Darma atau Edgar Allan Poe di waktu-waktu yang lalu. Mama bahkan hampir lupa kalau saat ini sedang ada dua Emil berada di rumah dan entah apa yang terjadi jika mereka bertemu di waktu yang sama.
“Mama, jangan melihat seperti itu. Ini cerita beneran, bukan mengambil dari buku atau koran,” protes Emil melihat Mamanya malah tersenyum-senyum.
“Eh oh iya, maaf. Hmmmm… Coba mana potongan koran itu?” tanya Mama kemudian. Emil segera mencari potongan koran yang terselip di halaman buku dan menyerahkannya pada Mama. Sampai kemudian Emil menyadari sesuatu. “Mama, Mama. Potongan koran itu ada di halaman cerita Toko Kayu Manis. Ini, ini lihat Mama, tadi potongan koran itu ada di sini. Berarti waktu aku menyelipkannya, aku tidak sadar kalau terselip di halaman cerita itu. Mama, mungkin ini petunjuk,” kata Emil kembali berapi-api. Mata Mama ikut bersinar dan mencoba memeriksa potongan koran itu.
Koran The Guardian, Kamis 19 November 1992. Tulisan tentang Bruno Schulz dibuat dalam rangka 50 tahun setelah tragedi penembakan itu. Ditulis oleh W. L. Webb and di bagian bawahnya ada gambar potret Bruno Schulz. The Booke of Idolatry, yang membuat potret itu, menggambarkan Schulz sebagai seniman yang kesepian di tengah keramaian. Mama kemudian membalik halaman koran itu. Potongan foto keramaian Odeonsplatz tahun 1914 ketika Jerman menyatakan untuk ikut berperang. Hitler saat itu berusia 25 tahun dan dia berada di kerumunan itu. Di bagian lain ada kumpulan surat pembaca tentang ulasan karya sastra di koran itu, ada yang berkata, “Hanya Tuhan yang tahu kapan terakhir aku menulis surat ke koran. Daftar novel dan responmu sangat mengganggu sampai-sampai tidak bisa melihat bahwa kayu terbuat dari pohon. Sebagi permulaan, aku akan mengecam aturanmu tentang ‘novel terbaik’. Novel terbaik seharusnya adalah buku-buku yang sudah diuji oleh waktu, tidak hanya masa sekarang tapi juga periode-periode yang lain. Buku yang dibaca ulang untuk mencari penjelasan dan bukan hanya sebagai pelarian, kemewahan, atau pedagogi. Karya yang memenuhi syarat itu juga seharusnya tidak melulu karya penulis Amerika yang menggunakan bahasa Inggris dan terbit di abad ke-20.” Mama malah tersenyum lagi.

“Mama, ayo fokus, fokus, sebelum Emil yang di halaman menyadari bahwa ada Emil lain. Aku tidak ingin menjelaskan kondisi ini dua kali,” kata Emil lagi sambil mendorong bahu Mama, memaksanya untuk berkonsentrasi. Mama segera melipat potongan koran itu dan menyerahkannya pada Emil.
“Emil, jangan panik. Coba potongan koran ini kamu letakkan di halaman cerita yang lain. Mama sepertinya sudah bisa menebak kenapa kamu bisa ada dua,” kata Mama kemudian.
“Yang benar Mama? Oke,” Emil memilih-milih halaman di buku Schulz itu dan meletakkannya di halaman cerita The Comet. “Sudah Mama. Lalu?” tanyanya penasaran. “Coba kamu mainkan lagi halamannya treeeeet begitu,” kata Mamanya lagi.
Kali ini Emil yang terlihat lebih bingung tidak tahu apa yang ada di kepala Mamanya. Tapi ia menurut saja. Ia memainkan halaman itu lagi treeeeeeeet. Seketika itu juga seorang Emil yang lain berdiri di sebelahnya. Keduanya terkaget. “Eh oh kamu! KAMU EMIL?!” Teriak Emil Agustus. “Eh aku Emil. Kamu juga Emil? Kok? Mama?” Teriak Emil yang baru. Mama mengikik perlahan. Yang tidak terduga oleh Mama dan kedua Emil di kamar adalah bahwa Emil yang sedang di halaman sedang berdiri di depan pintu kamarnya dan melihat dengan penuh kebingungan, setengah ketakutan. “I…i…ni apa-apaan?” kata Emil.
Mama merangkul Emil dan menjejerkannya bersama kedua Emil yang lain. Mama menjelaskan kembali bagaimana Emil bisa terbagi-bagi juga bagaimana Emil menemukan potongan koran dan memainkan halaman.
“Ehem. Jadi kamu Emil Kayu Manis, kamu Emil Agustus, dan kamu Emil Komet,” kata Mama kemudian.
“Eh kenapa aku Emil Komet, Mama?” “Coba kamu ceritakan cerita Schulz apa yang kamu baca?”
“Wah seru sekali ceritanya. Jadi dia memulai dengan akhir tahun yang dingin, Adela yang sedang berdiri di balkon dan …..” seketika Emil Komet terdiam. “Oh baiklah. Sekarang aku tahu,” katanya lagi.
“Tapi Mama, kenapa aku bisa tertidur dan tidak sadar?” tanya Emil Agustus.
“Hmmm. Mama tidak tahu. Bisa jadi karena semacam pembelahan perdana, maka membutuhkan energi yang sangat besar. Tapi di pembelahan kedua, sepertinya kamu sudah terbiasa. Ini dugaan saja. Belum tentu benar,” kata Mama mencoba menebak-nebak. Ini misteri yang Mama tidak punya kapasitas untuk menjawab hanya bisa mencari cara berdamai dengan trik mistis ini. Tapi kemudian Mama terpikir sesuatu.
“Anak-anakku, sepertinya memang buku Schulz ini menyimpan sesuatu yang bisa membelah tubuh dan pikiran kalian. Mama tidak tahu trik macam apa ini dan Mama juga tidak berminat mencari alasannya. Mumpung kalian bertiga sedang bersama, apakah kalian tidak mau berbincang soal potongan cerita yang kalian baca?” tanya Mama kemudian. Tiga Emil berpikir. Selama ini mereka tidak pernah menghabiskan satu buku, mungkin dengan cara saling bercerita bisa tahu cerita-cerita Schulz yang lain. Bahkan mungkin bisa tahu semua cerita Schulz dalam satu buku itu.
“Mama,” kata Emil Kayu Manis. “Apakah kami boleh memanggil Emil-Emil lain, yang membaca The Age of Genius¸juga yang membaca The Street of Crocodiles, juga yang tahu tentang Sanatorium Under the Sign?”
Mama tersenyum, “Tentu saja boleh.” Seketika itu juga Emil Agustus meletakkan potongan koran di halaman cerita, memainkan halaman-halamanya treeeeeetdan muncul Emil lain. Meletakkan potongan koran di cerita lain, memainkan halaman treeeeeet dan muncul Emil yang lain lagi. Sampai akhirnya semua Emil dengan masing-masing judul muncul. Kamar Emil penuh sesak. Mama kemudian mengajak semua Emil berkumpul di ruang tengah. Satu per satu menceritakan kembali cerita yang mereka baca, yang lain mendengarkan. Jika ada yang tidak konsentransi mendengar atau mulai kebosanan, Mama akan mengajak semua Emil bermain atau sekedar makan cemilan. Lalu berlanjut lagi berceritanya. Begitu terus sampai semua Emil berhasil bercerita.
“Mama, terima kasih. Kami akhirnya bisa tahu semua cerita Schulz. Apakah bisa dibilang ini buku perdana yang kami habiskan?” tanya Emil Jalan Buaya. Mama menggangguk. Semua Emil tersenyum dan Emil Ayah Kabur meletakkan potongan koran di halaman paling belakang, memainkan halaman-halamannya treeeeeeeeet dan Emil kembali menjadi satu orang saja, yang sudah tahu semua cerita Schulz. Ia tersenyum dan memeluk Mamanya.
*Cerita ini dibuat karena saya mengagumi tulisan Bruno Schulz yang sungguh menyenangkan.