Sebuah Catatan Siswa ‘Pembangunan’

Kunjungan belajar ke Uganda beberapa waktu lalu membuat saya kembali berpikir tentang proses produksi pengetahuan dalam studi pembangunan. Keberuntungan (atau mungkin kemewahan) sebagai siswa untuk dapat berkunjung ke Uganda tidak dapat serta merta saya ambil sisi positifnya. Sebagai individu yang menghabiskan sebagian besar proses belajar di Indonesia, saya terus membandingkan proses produksi pengetahuan selama di Manchester. Bagaimana kontestasi pengetahuan antara Utara dan Selatan terjadi? Bagaimana pemikiran pasca kolonialisme mendekati konsep pembangunan? Sejauh apa biner antara Barat dan Timur, Utara dan Selatan ini mempengaruhi proses belajar mengajar? Dan kunjungan ke Uganda kemarin menjadi puncak sekaligus akumulasi pertanyaan: di mana posisi siswa studi pembangunan dalam proses produksi pengetahuan?

Posisi siswa muncul di satu bagian dalam buku Postcolonialism and Development yang ditulis oleh Cheryl McEwan (2009). McEwan secara eksplisit dan singkat membahas perdebatan soal siswa dan aktivitas studi lapangan, baik itu kesadaran soal representasi kultural maupun wisata pembangunan. Kritik tajam terhadap studi lapangan adalah tendensi siswa dari bagian Utara/Barat untuk datang berombongan dalam jumlah besar dan sering kali menggunakan paket pariwisata. Namun di lain sisi, studi lapangan dilihat sebagai proses ‘pertukaran budaya’ yang sifatnya dua arah. Belum lagi memberi kontribusi ekonomi bagi jasa pariwisata di negara tujuan. Isu etika menjadi penting dalam perdebatan ini.

Namun beberapa waktu yang lalu, sempat ramai isu soal dekolonisasi yang dideklarasikan oleh siswa School of Oriental and Africa Studies (SOAS) yang berbasis di London. Deklarasi ini menuntut pihak kampus untuk melakukan diversifikasi kurikulum yang selama ini didominasi oleh pemikir ‘kulit putih’. Isu ini tentu kemudian memicu berbagai opini dan kritik, khususnya juga bagaimana kemudian membedakan kritik terhadap ide dan identitas. Salah satu dosen saya di kelas pernah mengangkat isu ini dan menantang kami dengan bertanya, “Berapa banyak buku dari daftar bacaan satu semester ini yang tidak kulit putih?” Saya sekilas juga jadi mencoba mengingat-ingat. Selain Edward Said dan Chinua Achebe di sesi tentang kolonialisme, Arturo Escobar yang memang salah satu pemikir babon postdevelopmentalism, juga Uma Kothari dan Bina Agarwal yang memang sudah sangat berpengaruh dan keduanya adalah Profesor di Manchester, saya hanya bisa mengingat Amartya Sen, Daron Acemoglu, dan Mahmood Mamdani. Mungkin sebenarnya masih banyak lagi, hanya dalam waktu singkat nama itu saja yang bisa saya sebutkan. Sedangkan penulis kulit putih lainnya bisa saya sebutkan dengan lebih lancar.

Maka, perjalanan ke Uganda kemarin membuat saya makin sadar pentingnya proses memposisikan diri. Karena, seperti kecurigaan saya, hal ini menjadi isu ketika studi lapangan terjadi. Seperti misalnya soal nilai atau sikap narasumber tentang gender yang tidak sesuai dengan prinsip liberal beberapa orang. Atau juga bagaimana merespon cerita pasca konflik melalui pernyataan ‘sesi paling mencerahkan’. Tentu ini bukan untuk menghakimi benar dan salah. Bukan juga menyatakan bahwa pembahasan soal posisi ini absen sama sekali. Di kelas tentang penelitian kami sudah diingatkan bahwa penelitian adalah permainan kekuasaan, menggunakan terma ‘miskin’ dan ‘kemiskinan’ pun berbeda maknanya, posisi dan pengakuan soal identitas yang memungkinkan bias juga penting.

Namun menurut saya, kami sebagai siswa tidak secara intensif memahami relasi kuasa antara ‘pengamat’ dan ‘yang diamati’. Sebagai ‘pengamat’, kunjungan belajar ini terkesan jadi sekedar pemenuhan kewajiban, ekstraksi informasi untuk tugas mata kuliah, atau mentoknya meningkatkan kemampuan pribadi yang berguna bagi masa depan, mungkin juga bisa dimasukkan ke CV. Tapi di sisi lain, ini juga bukan ajakan untuk berlomba-lomba memainkan misi ‘penyelamatan’, tanggung jawab moral yang berujung pada moda governmentality yang lain. Seperti tidak ada bedanya dengan ‘misi pengadaban’ zaman kolonial yang menjustifikasi eksploitasi. Tanpa disadari, kita pun bisa mengeksploitasi informasi dan cerita demi sebongkah pengetahuan, tanpa kemudian berusaha mengembalikan informasi yang sudah kita ambil.

Pertanyaan berikutnya apakah kemudian etika — yang sering kali dimengerti secara subyektif — cukup? Apakah pemahaman soal relasi kuasa tidak bisa diproses secara sistemik dalam kegiatan belajar mengajar di tubuh universitas? Perlukah semua pengajar secara eksplisit menyatakan dirinya di kelas bahwa ia pun memainkan kuasa atau siswalah yang harus menyadarinya sendiri? Perlukah juga di tiap akhir kelas siswa diperingatkan dengan kalimat, “Jangan pikir karena kalian lulusan universitas bagus kalian bisa mendikte orang harus berbuat apa”?* Ataukah kita perlu membuka forum antar siswa untuk membicarakan kunjungan belajar macam apa yang lebih demokratis, tidak sekedar jargon partisipatoris atau pemberdayaan? Perlukah juga memikirkan bagaimana informasi yang sudah diambil tidak hanya jadi tulisan untuk tugas dan nilai tapi juga bisa dikembalikan pada pemiliknya?

Sungguh pada tahap ini saya terlalu banyak bertanya dan masih belum menemukan jawabannya. Saya hanya teringat pada salah satu inovasi diseminasi hasil penelitian melalui teater lokal di Bangladesh, dan di Bengal Barat, pertunjukan teater menjadi salah satu basis inisial untuk gerakan sosial politik. Mungkin ide-ide sejenis ini bisa jadi ruang baru dalam narasi studi pembangunan dan siswa bisa ikut terlibat di dalamnya, mungkin.

Catatan dan Bacaan Lanjut:

*Di mata kuliah analisis kebijakan, dosen saya bilang hal ini, harafiah.

Artikel tentang dekolonisasi kurikulum oleh siswa SOAS
https://www.theguardian.com/education/2017/feb/19/soas-philosopy-decolonise-our-minds-enlightenment-white-european-kenan-malik

Diseminasi penelitian tentang perubahan iklim di Dhakka melalui pertunjukan lokal Pot Gan http://blog.gdi.manchester.ac.uk/innovative-new-research-reveals-lived-experience-climate-change-dhaka-pot-gan-performance-jol-duari-2/

Tentang teater politik di Bengal Barat sebagai salah satu moda produksi pengetahuan kapitalisme: Liberating development from the rule of an episteme by Dia Da Costa in Beyond Colonialism, Development, and Globalisation (2016)
http://press.uchicago.edu/ucp/books/book/distributed/B/bo22553351.html

Leave a comment